Hingga kini berbagai kasus korupsi masih bermunculan dan terungkap. Dibutuhkan sinergi dari pemerintah dan penegak hukum agar para koruptor dapat merasakan efek jera, bukan lantas diberikan pembebasan bersyarat.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS Dalam mengatasi korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi mengharapkan peran serta pemerintah dan aparat penegak hukum untuk bersinergi memberikan efek jera terhadap koruptor. Pemberian remisi bagi narapidana korupsi pun diharapkan dapat mempertimbangkan perbuatan para koruptor yang merugikan rakyat. Terlebih korupsi yang melibatkan penyelenggara negara di pemerintah pusat dan daerah masih terus terjadi.
Harapan KPK itu, menurut Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, perlu didukung seluruh aparat penegak hukum. Sejak Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dibatalkan oleh Mahkamah Agung, maka tak ada lagi yang aturan yang dapat memperketat pemberian remisi.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum perlu bersepakat menentukan proporsi bobot dan krititeria indikator penuntutan yang relevan untuk profil koruptor tertentu. “Penting untuk memposisikan korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Karena itu, perlu mempertimbangkan bobot tuntutannya. Tuntutan yang relevan untuk kasus korupsi adalah pemberian sanksi tambahan,” ucapnya, Jumat (16/9/2022).
Pentingnya sinergi antar penegak hukum itu berkaitan dengan keputusan Direktorat Jenderal Pemasyarakat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memberikan pembebasan bersyarat kepada 23 napi korupsi, salah satunya bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari. Fasilitas itu diberikan dengan mengacu Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali berhak mendapatkan salah satunya pembebasan bersyarat.
Bagian dari sistem
Sebelumnya Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan, KPK memahami bahwa UU Pemasyarakatan memberikan hak untuk mengajukan remisi dan pembebasan bersyarat kepada para narapidana. Namun, ia menegaskan, pemasyarakatan adalah subsistem dari proses peradilan pidana.
“Jadi, tidak bisa berdiri sendiri bahwa seakan-akan penilaiannya hanya penilaian ketika di dalam lapas (lembaga pemasyarakatan). KPK ingin dan berharap pemberian remisi dan pembebasan bersyarat itu juga harus mengapresiasi dan memerhatikan bagaimana perilaku pada saat penyelidikan, penyidikan, bahkan di sidang,” kata Ghufron, Kamis (15/6) malam.
Menurut Ghufron, tidak logis apabila pemberian remisi hanya dalam perspektif masa pembinaan di lapas. Sebab, perbuatan korupsi yang dilakukan narapidana terjadi sebelumnya pada saat proses peradilan pidana, penyelidikan, dan penyidikan. Para koruptor tersebut telah merugikan uang rakyat dan kepentingan orang banyak.
Ghufron mengungkapkan, pemberian remisi berdasarkan Pasal 10 UU Pemasyarakatan harus proporsional yakni seimbang antara perbuatan yang mencederai dan merugikan publik dengan proses pembinaan yang kadang hanya 4 tahun.
Ghufron pun berharap agar ada proses keterbukaan dalam pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Sebab, proses peradilan pidana dilakukan secara terbuka. KPK menghormati dan taat bahwa narapidana memiliki hak untuk mendapatkan remisi serta pembebasan bersyarat. Meskipun demikian, kata Ghufron, harus taat juga pada prinsip-prinsip pemasyarakatan yaitu proporsional, artinya seimbang dengan perilakunya. Keseimbangan itu juga menyangkut pada keterbukaan.
Kompas sudah meminta tanggapan kepada Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej serta Koordinator Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti terkait permintaan Ghufron, tetapi tidak direspons.
Agar bisa memberikan efek jera terhadap koruptor, jaksa dalam dakwaan dan tuntutannya perlu menghilangkan pertimbangan pemberian remisi.
Pencabutan remisi
Ditambahkan oleh Alvin, agar bisa memberikan efek jera terhadap koruptor, jaksa dalam dakwaan dan tuntutannya perlu menghilangkan pertimbangan pemberian remisi. Alvin mengungkapkan, di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Australia, jaksa penuntut umum sudah biasa mencantumkan tuntutan seperti itu. Sanksi tambahan lain yang perlu diberikan pada kasus korupsi adalah pengembalian kerugian negara.
Pencabutan remisi itu sebelumnya juga pernah disampaikan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata. Ia mengatakan, pemberian remisi atau pembebasan bersyarat itu memang hak narapidana. Namun, lanjutnya, hak itu bisa dicabut. Pencabutan hak tersebut hanya bisa oleh hakim.
”Atas apa? Atas tuntutan dari JPU (jaksa penuntut umum). Mungkin, ke depan, kalau ada terdakwa yang tidak kooperatif, tertib, dan lain-lain, dalam tuntutan mungkin akan kami tambahkan,” kata Alexander.
Hingga Jumat, sejumlah dugaan korupsi tengah disidik KPK. Salah satunya, KPK menetapkan Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin sebagai tersangka dugaan korupsi penerimaan gratifikasi dan turut serta dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, sebagai bukti permulaan, diduga Terbit menerima gratifikasi puluhan miliar rupiah. KPK akan terus mengembangkannya pada proses penyidikan. Adapun Terbit sebelumnya sudah didakwa menerima suap Rp 572 juta sebagai imbalan atas pengadaan barang dan jasa di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang serta Dinas Pendidikan Langkat.
Sementara itu, KPK juga tengah menyidik dugaan korupsi penyaluran dana oleh Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (LPDB-KUMKM) di Provinsi Jawa Barat. Untuk kasus ini, KPK menetapkan empat tersangka, yakni Direktur LPDB-KUMKM periode 2010-2017 Kemas Danial, Ketua Pengawas Koperasi Pedagang Kaki Lima Panca Bhakti Jawa Barat Dodi Kurniadi, Sekretaris II Koperasi Pedagang Kaki Lima Panca Bhakti Jawa Barat Deden Wahyudi, serta Direktur PT Pancamulti Niagapratama Stevanus Kusnadi.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat, bekas Bupati Kabupaten Kolaka Timur Andi Merya untuk kedua kalinya diadili untuk kasus korupsi. Ia didakwa memberikan suap sebesar Rp 3,4 miliar ke sejumlah pihak, salah satunya bekas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian Noervianto, untuk pengurusan persetujuan usulan dana Pemulihan Ekonomi Nasional atau PEN untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Kolaka Timur pada 2021.
Pada April lalu, di Pengadilan Negeri Kendari, Sulawesi Tenggara, Andi Merya divonis 3 tahun penjara untuk kasus penerimaan suap terkait proyek perencanaan rehabilitasi dan rekonstruksi yang anggarannya berasal dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Andi Merya didakwa bersama dua terdakwa lainnya, yakni LM Rusdianto Emba selaku pengusaha dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, serta Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Kabupaten Muna Sukarman Loke. Ketiganya didampingi penasihat hukumnya masing-masing.