Malas Ditanya soal Wacana Jadi Cawapres, Presiden Ogah-ogahan Menjawab
Presiden Jokowi enggan jawab pertanyaan dirinya disebut berpeluang maju jadi cawapres di Pemilu 2024. Deputi Protokol menyebut, didorong-dorong perpanjang jabatan dan tiga periode saja menolak, kok, turun jadi cawapres.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo enggan menerangkan ketika ditanya mengenai dirinya yang disebut berpeluang maju sebagai calon wakil presiden di Pemilu 2024 mendatang. Presiden justru memberi pertanyaan balik mengenai asal dari wacana peluang dirinya maju sebagai calon wakil presiden tersebut. Pasalnya, didorong-dorong memperpanjang jabatan dua tahun lagi dan diperpanjang tiga periode jabatannya saja Presiden Jokowi menolak, apalagi hanya menjadi calon wapres.
”Sejak awal saya sampaikan bahwa... ini yang menyampaikan bukan saya, lho, ya. Urusan tiga periode sudah saya jawab. Begitu (urusan tiga periode) itu sudah dijawab, muncul lagi yang namanya perpanjangan. (Urusan perpanjangan ini) Juga sudah saya jawab,” kata Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (16/9/2022).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Presiden Jokowi menuturkan hal tersebut saat menjawab pertanyaan media di sela-sela acara penyampaian keterangan Presiden RI bersama Menteri Ketenagakerjaan dan Menteri Sosial. Keterangan pers tersebut membahas soal penyaluran bantuan langsung tunai bahan bakar minyak dan bantuan subsidi upah.
Deputi Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey T Machmuddin yang menghadiri keterangan pers tersebut menyatakan, ”Presiden itu sudah capai menjawab soal-soal begituan, Mas. Apalagi, Presiden sedang menjelaskan soal percepatan penyaluran bantuan langsung tunai bersama Ibu Mensos dan Menteri Tenaga Kerja (Ketenagakerjaan). Itu yang sebenarnya jauh lebih penting ditunggu masyarakat.”
Sebelumnya, dikutip dari Kompas.com, Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI-P Bambang Wuryanto saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (13/9/2022) lalu, menuturkan, Jokowi dapat saja menjadi wapres kalau seandainya bersedia. ”Kalau Pak Jokowi mau jadi wapres, ya, sangat bisa,” kata Bambang.
Muncul lagi, muncul lagi
Lebih jauh, Presiden Jokowi pun menanyakan asal-usul wacana dirinya akan menjadi cawapres. “Ini muncul lagi, jadi wapres. Itu dari siapa? Kalau dari saya, akan saya terangkan. Kalau enggak dari saya, saya enggak mau nerangin,” ujar mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Ini muncul lagi, jadi wapres. Itu dari siapa? Kalau dari saya, akan saya terangkan. Kalau enggak dari saya, saya enggak mau nerangin.
Ketika dimintai tanggapan, pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, menuturkan, semestinya Presiden Jokowi membantah saja dengan tegas perihal wacana peluang dirinya menjadi cawapres tersebut. Hal ini agar tidak ada lagi orang-orang yang mengarahkan Jokowi, yang telah dua kali menjabat sebagai presiden, kemudian menjadi cawapres.
”Dari segi ketatanegaraan, terutama kebiasaan atau tradisi ketatanegaraan, tidak elok ketika seorang presiden yang sudah dua periode lalu memilih menjadi calon wakil presiden. Kesan yang didapat adalah presiden sangat tamak dan ingin terus berkuasa, terus berada di lingkaran kekuasaan,” kata Feri.
Dari segi ketatanegaraan, terutama kebiasaan atau tradisi ketatanegaraan, tidak elok ketika seorang presiden yang sudah dua periode lalu memilih menjadi calon wakil presiden. Kesan yang didapat adalah presiden sangat tamak dan ingin terus berkuasa, terus berada di lingkaran kekuasaan.
Dan, menurut Feri, menjadi aneh ketika seorang presiden mencari jabatan yang ada di bawahnya. Padahal, harus dipahami dalam tradisi ketatanegaraan, seorang presiden mungkin tidak menjabat lagi, tetapi nama panggilan sebagai presiden itu tidak akan hilang. ”Dia akan terus menjadi presiden yang tidak (lagi) berkuasa. Tidak ada sebutan mantan presiden. Oleh karena itu, dia adalah presiden sekaligus warga negara yang baik, yang harus memberikan contoh,” ujarnya.
Kalau memilih turun menjadi wapres, lanjut Feri, maka dia akan disebut sebagai wakil presiden sebab itulah jabatan terakhirnya. ”Kecuali ada motif lain, seperti Presiden Putin yang turun jabatan, lalu nanti akan berupaya kembali lagi (menjadi presiden). Nah, ini, kan, penyesatan-penyesatan yang bisa berbahaya bagi ketatanegaraan,” katanya.
Kedua, Feri menambahkan, presiden yang sudah menjabat dua periode tidak mungkin dan tidak diperbolehkan mencalonkan sebagai calon wapres. Pembacaan pasal konstitusi harus utuh. Pasal 7 UUD 1945 pun harus dibaca secara utuh dengan Pasal 8.
Di Pasal 7 disebutkan bahwa presiden dan wapres memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. ”Kesannya, dia (presiden) bisa mencalonkan menjadi calon wakil presiden. Tapi tidak demikian, (karena) di Pasal 8 disebutkan, ’Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya’. Syarat menjadi presiden itu hanya boleh dua periode. Kalau seorang wapres itu mantan presiden dua periode, maka dia tidak bisa menggantikan presiden di masanya ketika presiden tersebut mangkat atau berhalangan tetap,” kata Feri.
Melalui pembacaan konstitusi secara utuh seperti itu, ujarnya, menjadi diketahui bahwa seorang presiden yang telah menjabat dua periode tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri lagi menjadi wapres. ”Dengan sendirinya, di KPU, dia nanti akan dinyatakan tidak memenuhi syarat,” ujarnya.