Pesan Tak Bersayap dari Presiden Bisa Akhiri Wacana Jokowi Tiga Periode
Wacana penundaan Pemilu 2024, perpanjangan masa jabatan presiden, dan Jokowi tiga periode harus segera diakhiri. Diskursus di ruang publik terkait hal itu kontraproduktif dan hanya untungkan kelompok penggagasnya.
JAKARTA, KOMPAS — Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden harus segera diakhiri karena kontraproduktif di tengah upaya segenap bangsa memulihkan segala dampak akibat pandemi Covid-19. Terus bergulirnya wacana inkonstitusional itu menjadi lebih ironis jika ternyata lahir dari aktor-aktor yang berasal dari lingkaran dalam kekuasaan.
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (5/4/2022), mengatakan, terus bergulirnya isu penundaan pemilu, yang belakangan ini ditandai dengan penggerakan elemen masyarakat akar rumput untuk mendukung wacana itu, menunjukkan ada nafsu kekuasaan yang sangat besar. Hal itu sekaligus mengindikasikan masih ada pihak-pihak yang penasaran dengan wacana itu sehingga berbagai cara dilakukan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sebelumnya, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menyelenggarakan Silaturahmi Nasional (Silatnas), 29 Maret 2022, di Istora Senayan, Jakarta. Sejumlah kepala desa dan perangkat desa sempat menyerukan usulan agar Presiden Joko Widodo meneruskan jabatannya hingga tiga periode.
Baca juga: Aroma Rekayasa Silaturahmi Kepala Desa untuk Presiden Jokowi Tiga Periode
Firman mengatakan, sulit mengabaikan fakta adanya aktor-aktor di dalam lingkaran kekuasaan yang terlibat dalam wacana tersebut. ”Kalau kita melihat aktor-aktornya, saya kira sulit kalau dikatakan tidak ada keterlibatan aktor-aktor yang ada di dalam lingkaran kekuasaan saat ini. Sekarang mereka mau menunjukkan ini bukan isapan jempol semata,” katanya.
Pihak-pihak tersebut juga berusaha menunjukkan data dukungan terhadap wacana penundaan pemilu yang pernah diklaim sebelumnya itu benar adanya. ”Meskipun datanya ngawur, mereka ingin mengesankan bahwa ada lho dukungan itu,” ujar Firman.
Kendati demikian, wacana penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan itu sebenarnya sudah melemah karena mendapatkan resistensi keras dari publik. Tidak hanya dari kalangan partai politik yang mayoritas menolak usulan itu, tetapi juga dari kalangan tokoh politik, akademisi, pakar hukum, hingga mahasiswa.
”Tetapi sekali lagi, upaya ini dirancang untuk digulirkan terus. Karena skenario ini terus digulirkan sehingga ada keuntungan-keuntungan yang akhirnya diharapkan jika wacana itu terwujud. Publik pada kenyataannya juga tidak melihat itu dengan simpati dan belakangan mahasiswa juga cukup keras menolak isu tersebut,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Firman, sebaiknya diskursus di ruang publik tidak lagi fokus pada wacana yang menguntungkan segelintir elite berkepentingan tersebut. Namun, sudah saatnya semua pihak kini fokus menyiapkan Pemilu 2024. Sebab, banyak hal yang perlu mendapatkan perhatian publik, seperti dari sisi penyiapan penyelenggaraan pemilu dan anggaran.
”Pesan-pesan ke arah yang lebih menggugah ke depan jauh lebih penting ketimbang masyarakat disuguhi wacana-wacana yang kontraproduktif bagi banyak aspek, khususnya konstitusi saat ini,” katanya.
Menurut Firman, pemerintah memiliki sumber daya kuat untuk mencerahkan dan mendidik masyarakat, serta membuat pemilih lebih baik. ”Seharusnya kesadaran masyarakat digeser ke sana, bukan malah setback (mundur),” kata Firman.
Untuk menyudahi wacana penundaan pemilu ini, menurut Firman, Presiden dapat membuat pernyataan yang lebih tegas bahwasanya dia menolak perpanjangan masa jabatan, penundaan pemilu, dan masa jabatan tiga periode. ”Pesan tunggal yang tidak bersayap dan mempunyai kekuatan mendalam. Selanjutnya, bab penundaan pemilu ini selesai dan kita beralih ke hal lain yang lebih produktif,” katanya.
Rentan timbulkan perpecahan
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti juga meminta agar wacana perpanjangan masa jabatan melalui amendemen konstitusi segera disudahi. Para menteri yang tugasnya membantu presiden harus fokus pada pekerjaan utamanya. Jangan malah memobilisasi dukungan yang bisa memicu perpecahan di masyarakat.
”Sekarang ini yang terjadi sudah bukan lagi wacana, melainkan sudah mobilisasi dukungan. Ini kalau dilanjutkan bisa menimbulkan perpecahan di masyarakat. Padahal, seluruh pihak sudah sepakat bahwa harus ada pergantian jabatan presiden sesuai dengan amanat konstitusi,” kata Mu’ti.
Menurut Mu’ti, para menteri di lingkaran presiden seharusnya fokus melakukan program-program yang telah ditetapkan oleh presiden. Menggalang dukungan, mobilisasi massa, dan lobi ke sana kemari untuk mengegolkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi mereka sebagai menteri.
”Kalau bukan merupakan bagian dari tupoksi sebagai menteri, seharusnya hal itu tidak dilakukan,” kata Mu’ti.
Mu’ti menambahkan, wacana perpanjangan masa jabatan presiden seharusnya sudah selesai begitu Presiden Jokowi mengatakan bahwa dirinya akan tunduk dan patuh pada konstitusi. Meskipun pernyataan itu terkesan ambigu, seharusnya cukup untuk menghentikan isu perpanjangan masa jabatan presiden. Apalagi, sebelumnya, Presiden Jokowi pernah secara tegas menyatakan bahwa yang mengusulkan presiden tiga periode seolah mau menampar muka dan menjerumuskannya.
”Saya khawatir saat ini presiden sedang di-fait accompli oleh menterinya. Kalau presiden sudah secara tegas menyatakan menolak perpanjangan masa jabatan, seharusnya langkah-langkah di luar itu tidak dilakukan,” kata Mu’ti.
Spontanitas
Dalam rapat kerja antara Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dengan Kementerian Dalam Negeri, Selasa siang, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membantah ada deklarasi Jokowi Tiga Periode di dalam Silatnas Apdesi. Bantahan itu disampaikannya saat menjawab pertanyaan dari sejumlah anggota Komisi II DPR yang mempertanyakan sikap para kepala desa yang melanggar larangan berpolitik praktis di dalam UU Desa.
Tito mengatakan, di dalam Silatnas Apdesi, dirinya hadir sebagai pembina. Namun, dalam kegiatan itu, menurut dia, tidak ada deklarasi mendukung Jokowi Tiga Periode. Namun, memang selepas acara tersebut ada aksi spontan dari beberapa kepala desa yang meneriakkan dukungan kepada Jokowi untuk tiga periode.
”Tidak ada deklarasi. Itu hanya spontanitas di mobil dan jalan. Namun, media cover-nya seperti itu, deklarasi, dan mungkin ada wawancara kepada ketua Apdesi,” katanya.
Dalam raker itu, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Junimart Girsang mengatakan, sebagai ormas, Apdesi berada di bawah pembinaan Kemendagri. Sementara itu, Undang-Undang Desa mengatur kepala desa dan perangkat desa tidak boleh terlibat politik praktis. Deklarasi Jokowi Tiga Periode sebagaimana dilakukan oleh Apdesi, pekan lalu, dinilai sebagai bagian dari keterlibatan aparat desa ke dalam politik praktis.
”Seharusnya Kemendagri bisa menetralisasi dan langsung menegur Apdesi secara terang benderang sehingga tidak menjadi bola liar di media massa. Kemendagri harus mengambil sikap sebagai pembina seluruh ormas di Indonesia,” kata Junimart.
Menurut Junimart, Kemendagri juga seharusnya tidak ikut-ikutan menyatakan keabsahan Apdesi. Isu yang berkembang menyatakan satu kubu Apdesi terdaftar di Kemenkumham dan satu kubu lainnya terdaftar di Kemendagri.
Hal serupa ditanyakan oleh Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim. ”Kemendagri diberi tupoksi, yang salah satunya adalah pembinaan perangkat dan kepala desa. Terkait dengan kewenangan itu ialah dengan menegakkan aturan, yakni memberi sanksi kepada perangkat desa atau kepala desa yang ikut silatnas dukung Jokowi Tiga Periode,” katanya.
Selain tindakan itu melanggar UU, menurut Luqman, deklarasi itu menabrak konstitusi yang mengatur masa jabatan presiden hanya dua periode.
Terkait hal itu, Tito mengatakan, dirinya tidak bisa melarang aspirasi kepala desa sebab yang dilarang secara eksplisit di dalam UU Desa hanyalah menjadi pengurus parpol dan menjadi tim kampanye di pemilu dan pilkada. ”Mereka ini juga statusnya tidak jelas, apakah mereka ini ASN atau pegawai negeri atau bukan. Kalau ASN, jelas dilarang berpolitik praktis,” katanya.
”Kalau saya berikan pernyataan kepala desa tidak boleh deklarasi, mereka bisa jawab, dasarnya apa. Saya bisa dinilai melanggar hukum, kecuali undang-undangnya jelas tegas. Kalau mereka kampanye saya larang dan kalau menjadi pengurus parpol saya bisa beri sanksi,” ujarnya.
Untuk memberikan kejelasan posisi kades dan perangkat desa, Tito menilai sebaiknya ada perbaikan UU Desa. Selain itu, perlu ada kejelasan pembatasan di dalam UU Ormas, tentang kebebasan ormas di dalam penyampaian aspirasi, jika memang dirasakan ada kebutuhan untuk itu.
Tito juga membenarkan surat keterangan terdaftar (SKT) Apdesi yang dipimpin oleh Surta Wijaya, yakni kubu Apdesi yang menyelenggarakan Silatnas, baru diberikan sehari sebelum acara. Namun, SKT itu sifatnya perpanjangan karena sebelumnya SKT itu telah terdaftar di Kemendagri. SKT itu baru diberikan sehari sebelum acara karena Kemendagri tidak ingin menghambat acara Silatnas Apdesi. Perpanjangan SKT itu disebutnya telah diajukan jauh-jauh hari.
Tito menerangkan, selain Apdesi pimpinan Surta Wijaya, ada pula asosiasi kepala desa yang sifatnya perkumpulan, yang terdaftar di Kemenkumham. ”Namun, sebagian besar dari anggota dan pengurusnya ialah mantan kepala desa,” katanya.
Hormati konstitusi
Sekretaris Eksekutif Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Romo Hans Jeharut menilai, keputusan melaksanakan Pemilu pada 14 Februari 2024 adalah keputusan yang konstitusional. Proses dan keputusan tersebut sudah melalui tahapan dan dipikirkan secara matang segala kemungkinannya.
Baca juga: PDI-P Minta Wacana Penundaan Pemilu 2024 Distop, Presiden Jokowi Tekankan Konstitusi Harus Dipatuhi
”Proses konstitusional ini semestinya dihormati dan dipatuhi oleh semua pihak. Jika ada pihak-pihak yang menghendaki selain itu, misalnya penundaan pemilu, tentu saja harus konstitusional. Di negara demokrasi seperti kita, hal-hal seperti itu juga dijamin konstitusi,” ujar Hans.
Di tengah upaya pemulihan di segala bidang akibat pandemi Covid-19, menurut Hans, sebaiknya energi bangsa tidak habis untuk membangun wacana yang berpotensi menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu. Tugas lebih penting adalah memastikan terselenggaranya Pemilu 2024 dengan baik dan berkualitas sehingga menghasilkan juga pemimpin yang berkualitas, baik eksekutif maupun legislatif.