Penyidik kasus Brigadir J diminta tak sepenuhnya bertumpu pada keterangan pelaku. Keterangan istri Ferdy, Putri Candrawathi, soal pelecehan seksual bisa jadi dibangun agar pelaku lepas atau diringankan dari hukuman.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyidik kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat diminta tidak percaya sepenuhnya kepada pengakuan Putri Candrawathi terkait dugaan pelecehan seksual yang menjadi pemicu pembunuhan Nofriansyah. Penyidik dituntut skeptis karena setelah Putri ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan berencana, keterangannya berkaitan dengan pembelaan dirinya.
Pengajar hukum acara pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, saat dihubungi Minggu (4/9/2022) berpandangan, setelah istri bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo itu ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan berencana dengan empat orang lainnya, keterangannya tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Keterangan itu pasti berkaitan dengan pembelaan dirinya. Apalagi, sebelumnya, Putri juga sudah terbukti berbohong karena mengatakan pelecehan seksual terjadi di rumah dinas Kadiv Propam, Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta. Menurut penyidik, dugaan pelecehan seksual di rumah dinas itu adalah skenario yang dibuat Ferdy untuk mengaburkan fakta sebenarnya.
”Penyidik jangan sepenuhnya bertumpu pada keterangan pelaku dan saksi-saksi. Jangan percaya dengan keterangan Ferdy, tetapi pakai logika dan kemungkinan lain yang didukung dengan alat bukti,” katanya.
Dia menambahkan, analisis kejadian di Magelang, Jawa Tengah, yang diduga sebagai pemicu pembunuhan Nofriansyah harus logis. Misalnya, dengan menganalisis relasi kuasa antara Putri dan Nofriansyah. Di sini, posisi kuasa yang lebih tinggi justru ada pada Putri yang merupakan istri atasan Nofriansyah. Dengan demikian, apakah mungkin Nofriansyah berani melakukan pelecehan seksual terhadap istri atasannya. Apalagi, Putri adalah istri dari jenderal bintang dua polisi. Logika ini harus dibangun oleh penyidik untuk menarik kemungkinan lain dari pengakuan tersangka.
”Kalau memakai logika sepertinya tidak logis bawahan berani melecehkan istri atasan. Apa mungkin di antara keduanya ada hubungan spesial? Penyidik jangan hanya memegang keterangan tersangka, saksi, dan langsung memercayainya. Seharusnya cari kemungkinan-kemungkinan lain,” tegasnya.
Fickar mengamini bahwa penyidikan dugaan pelecehan seksual dalam kasus ini mendapat legitimasi oleh rezim Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Di UU TPKS, dugaan pelecehan seksual dapat dilaporkan dan diselidiki oleh penyidik hanya dengan satu alat bukti yang sah, yaitu keterangan korban. Namun, dalam kasus ini, penyidik Polri seharusnya bisa berpikir lebih kritis dan skeptis. Harus ada alat bukti lain untuk mengonfirmasi pengakuan korban. Sebab, hal itu mungkin saja adalah skenario yang dipakai pelaku kejahatan untuk lepas dari jeratan hukum atau meringankan hukumannya.
”Kalau tidak ada alat bukti lain, artinya pengakuan korban itu sangat subyektif. Setiap orang bisa saja ngarang menjadi korban pelecehan seksual, bebernya.
Dia berpandangan, rezim UU TPKS memang tidak sesuai dengan asas hukum pidana. Pola pemidanaan umumnya memakai asas minimal ada dua alat bukti yang sah sedangkan dalam UU TPKS, satu alat bukti saja sudah cukup. Ini akan mempersulit penyidik, jaksa, dan hakim untuk membuktikan kebenaran di persidangan. Oleh karena itu, dalam konteks kasus Ferdy Sambo, karena sebelumnya pelecehan seksual sudah dijadikan skenario untuk mengaburkan kejadian sebenarnya, penyidik harus memperkuat alat bukti.
”Menurut saya, janggal, ini jadi perkara dugaan pelecehan seksual setelah ada yang meninggal dunia. Bagaimana jika tidak ada pembunuhan? Apakah pemicu kejadian itu akan terungkap? Apa hanya menjadi rahasia mereka berdua. Ini yang harus dipertanyakan oleh penyidik untuk memperjelas anatomi peristiwa,” katanya.
Tidak dilaporkan langsung
Secara terpisah, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengungkapkan, penyidik akan memproses dugaan pelecehan seksual yang dialami Putri di Magelang sepanjang keterangan itu didukung oleh alat bukti yang kuat. Sayangnya, pada saat kejadian, korban tak melaporkan kejadian itu kepada kepolisian setempat sehingga tidak ada olah tempat kejadian perkara dan pengambilan bukti-bukti terkait kejadian itu.
”Hanya Allah, PC, dan almarhum J yang tahu pastinya (kejadian sebenarnya di Magelang),” kata Agus saat dimintai konfirmasi, Minggu.
Agus mengamini bahwa adanya UU TPKS memang sedikit mempersulit penyidikan. Sebab, UU itu mengatur bahwa satu alat bukti, yaitu keterangan korban, dapat dilaporkan dan diproses hukum. Namun, apa pun yang dinarasikan korban, bagi penyidik harus didukung dengan alat bukti. Ini untuk memperkuat pembuktian kejahatan di persidangan.
Berdasarkan keterangan dari para saksi, lanjutnya, pada saat kejadian di Magelang, asisten rumah tangga keluarga Ferdy, yaitu Susi, berada di tangga dekat kamar di Magelang. Adapun, Kuat Ma’ruf (asisten rumah tangga keluarga Ferdy lainnya) sedang merokok di sekitar lokasi. Kuat mengaku melihat Nofriansyah mengendap-endap keluar dari kamar Putri. Sebelumnya, Susi mengaku mendengar ada suara Putri menangis, merintih, atau ekspresi lain.
”Hal ini terkomunikasi antara Susi dan Kuat Ma’ruf. Kuat ada di kamar memastikan kondisi Putri yang di kamar terduduk di depan kamar mandi. Ini dikuatkan dengan keterangan Susi,” ungkapnya.
Penyidik menduga, yang memicu Ferdy menjadi kalap dan merencanakan membunuh Nofriansyah adalah karena kejadian pelecehan itu terjadi pada 7 Juli. Hari itu bertepatan dengan perayaan hari pernikahan Ferdy dan Putri. Pengakuan itu diucapkan secara lisan oleh Ferdy sesaat setelah kejadian mulai ramai di publik.
”FS (Ferdy Sambo) mengaku kejadian tersebut berawal dari peristiwa di Magelang,” bebernya.
Agus memastikan keterangan Putri akan diuji dengan keterangan para saksi lain, temuan penyidik, serta rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Nasional Perempuan. Penyidik tidak akan berangkat dari asumsi tanpa didukung keterangan saksi dan alat bukti.
”Kebenaran hakiki hanya milik Allah SWT, kebenaran duniawi tentunya didasari atas keterangan saksi dan bukti. Orang yang baik itu siapa? Yang baik itu apabila aibnya belum dibukakan Allah SWT, kalau dibuka, maka anak pun bisa menjauh dari kita,” terang Agus.
Agus memastikan penyidikan atas perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J ini akan dilakukan secara obyektif, akuntabel, dan transparan sesuai dengan arahan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Polri menyadari pascakejadian ini, kepercayaan masyarakat terhadap Polri merosot tajam. Oleh karena itu, penegakan hukum dalam kasus ini harus menjadi momentum untuk mengembalikan kepercayaan publik lagi.
”Mohon yang sifatnya spekulasi dan asumsi tanpa bukti tidak menjadikan publik menjadi bingung dan meresahkan. Ikuti di persidangan karena mereka yang mengalami, melihat, dan mendengar kejadian itu dari Magelang sehingga memicu kejadian di Duren Tiga,” kata Agus.
Sebelumnya, hasil laporan akhir hasil penyelidikan independen Komnas HAM dan Komnas Perempuan menyebutkan bahwa pada 7 Juli 2022 diduga terjadi kekerasan seksual yang dilakukan Nofriansyah terhadap Putri. Pada saat itu, Ferdy sudah tidak berada di Magelang. Setelah peristiwa dugaan pelecehan seksual itu terjadi, Kuat Ma’ruf membantu Putri masuk ke kamar. Kemudian, Kuat juga diduga mengancam untuk membunuh Brigadir J.
Kesimpulan itu diperoleh setelah Komnas HAM melakukan langkah-langkah pemantauan dan penyelidikan peristiwa kematian Nofriansyah di Duren Tiga. Komnas HAM dan Komnas Perempuan di antaranya meminta keterangan kepada saksi-saksi dari keluarga Nofriansyah, ajudan pribadi keluarga Sambo, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, keluarga Ferdy, pengurus rumah mereka, dan saksi dari pihak kepolisian. Tim dari Komnas HAM juga menghadiri rekonstruksi atau reka ulang peristiwa kematian Nofriansyah yang digelar oleh penyidik Bareskrim Mabes Polri di rumah pribadi Sambo di Jalan Saguling III dan rumah dinasnya di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Saat dikonfirmasi ulang soal pengakuan Putri, anggota Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, menolak berkomentar. Dia menyampaikan, Komnas Perempuan akan mengeluarkan pernyataan resmi terkait kesimpulan bahwa ada dugaan pelecehan seksual terhadap Putri di Magelang sesuai dengan keterangan yang bersangkutan.