Pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir J dilihat masih bertumpu pada pengakuan tersangka. Padahal, pengakuan ini bisa berubah di pengadilan dan membuat para tersangka bebas. Penyidik didorong mencari barang bukti lain.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
Lima berkas perkara pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat sudah dilimpahkan ke jaksa penuntut umum. Namun, empat di antaranya dikembalikan ke penyidik Polri karena belum lengkap, yakni berkas perkara tersangka Inspektur Jenderal Ferdy Sambo; dua ajudan Ferdy, yaitu Brigadir Kepala Ricky Rizal dan Bhayangkara Dua Richard Eliezer Pudihang Lumiu; serta Kuat Ma’ruf, asisten rumah tangga keluarga Ferdy. Adapun berkas Putri Candrawathi, istri Ferdy, masih diteliti oleh jaksa.
Di sisi lain, survei Indikator Politik Indonesia pada 11-17 Agustus 2022 menunjukkan adanya keinginan publik agar Ferdy Sambo dihukum mati. Sebanyak 54,9 persen responden menyatakan setuju agar Ferdy dihukum mati dan 26,4 persen lainnya menyatakan setuju agar ia dihukum penjara seumur hidup.
Alih-alih mempersoalkan kemungkinan hukuman mati bagi Ferdy, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengingatkan agar perkara yang dikonstruksikan sebagai peristiwa pembunuhan berencana itu didukung dengan alat bukti yang kuat. Untuk itu, penyidik diharapkan fokus mencari alat bukti.
”Sebab, dalam pengamatan kami, masih sangat bergantung pada pengakuan-pengakuan. Sekarang, terutama penyidik, kami dorong untuk terus mencari barang-barang bukti lain yang sudah hilang, dipindahkan, atau dirusak karena adanya obstruction of justice (perintangan penyidikan),” kata Ahmad.
Hal itu diungkapkan Ahmad dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Layakkah Sambo Dihukum Mati?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (31/8/2022) malam. Dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, selain Ahmad, hadir pula sebagai narasumber Hakim Agung 2011-2018 Gayus Lumbuun, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, serta Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Menurut Ahmad, pencarian alat bukti sangat penting karena hingga kini, keterangan dari beberapa tersangka masih berubah atau ada perbedaan antara satu tersangka dan tersangka yang lain. Salah satu yang krusial, perbedaan keterangan tentang pihak yang menembak Nofriansyah dan jenis senjata yang digunakan. Eliezer berkeyakinan tiga kali menembak dan selanjutnya ditembak Ferdy, berbeda dengan keterangan Ferdy.
Titik krusial berikutnya, mengenai perencanaan pembunuhan Nofriansyah. Dikatakan bahwa beberapa belas menit sebelum pembunuhan, Ferdy bersama Putri sempat masuk ke ruang pribadi mereka. Pertemuan keduanya dikatakan sebagai perencanaan pembunuhan. Namun, hingga saat ini, tidak ada bukti-bukti lain kecuali kesaksian atau pengakuan dari para tersangka itu.
Keterangan berubah
Adanya risiko tidak terbuktinya kasus itu di pengadilan juga diamini Usman. Menurut Usman, dalam konstruksi perkara pembunuhan berencana tersebut, para tersangka itu nantinya akan menjadi saksi dari pelaku yang lain atau saksi mahkota. Berkaca dari pengalaman persidangan kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah pada 1993, saksi semacam itu pada akhirnya saling membela sehingga akhirnya semua terdakwa bebas.
Demikian pula dari pengalaman sidang kasus pembunuhan aktivis Munir Said Thalib pada 2005, terjadi banyak pencabutan keterangan. Sebab, lanjutnya, di pengadilan akan ada banyak faktor yang berpengaruh yang bisa membuat bukti-bukti yang dihadapkan ke pengadilan tidak bisa meyakinkan hakim. ”Polisi harus benar yakin dengan segala alat bukti, saksi ahli, petunjuk, dan surat. Keterangan terdakwa jangan banyak diandalkan,” ujar Usman.
Gayus pun mengingatkan pengembalian empat berkas tersangka dari jaksa penuntut umum kepada penyidik memperlihatkan masih adanya kekurangan dalam berkas perkara setelah diteliti oleh jaksa. Maka, penting bagi penyidik untuk betul-betul memperkuat berkas perkara tersebut sehingga kelak di pengadilan bisa terbukti perbuatan para tersangka.
Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa konsep saksi mahkota tidak diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Demikian pula ada kemungkinan bahwa di persidangan, bisa terjadi keterangan satu terdakwa dengan terdakwa yang lain akan saling menguntungkan.
”Dan, hakim tidak salah membebaskan (terdakwa) karena ada ketentuan, kalau hakim ragu-ragu dalam memutuskan sebuah perkara, yang dipilih adalah yang terbaik bagi terdakwa. Itu konsep utama,” ujarnya.
Namun, Burhanuddin meyakini, aparat penegak hukum yang lain, yakni kejaksaan dan kehakiman, tidak akan bermain-main dengan kasus ini. Dengan besarnya atensi publik, jika ada institusi penegak hukum yang bermain-main, sama saja dengan mempertaruhkan kepercayaan publik terhadap institusi tersebut.
Opini publik
Hanya saja, ia mengingatkan, pengungkapan kasus tersebut tidak lepas dari opini publik. Bahkan, persepsi publik sudah terbentuk sedari awal, semisal sejak awal mereka sudah tidak percaya motif pelecehan seksual di balik pembunuhan Nofriansyah. Bahkan, survei mengindikasikan masyarakat telah menjatuhkan vonis berat bagi Ferdy jauh sebelum sidang digelar.
”Misalnya, putusan pengadilan tidak sesuai dengan persepsi publik. Misalnya, kalau pengadilan tidak sampai pada keputusan untuk menjatuhkan hukuman mati, lantas bagaimana legitimasi sosial dari pengadilan? Sementara vonis publik sudah jatuh,” katanya.
Hal itu bisa terjadi jika bukti yang dibawa ke persidangan ternyata tidak bisa membuktikan motif lain selain pelecehan seksual. Sementara publik sudah terlebih dahulu memiliki persepsi berbeda. Oleh karena itu, sebut Burhanuddin, dalam kasus ini dapat terjadi opini publik melawan penegakan hukum.
Terlepas dari itu, kekuatan opini publik sangat membantu dalam mengungkap kasus ini. Menurut Ahmad, hal itu bisa tampak dari dilakukannya otopsi ulang meski sebenarnya penyidik sudah yakin dengan hasil otopsi pertama. Hal itu memperlihatkan institusi kepolisian mengikuti apa yang menjadi permintaan publik.
Adapun terkait keinginan mayoritas publik agar Ferdy dihukum mati, Gayus menilai hal tersebut merupakan bagian dari demokrasi. Namun, sebagai negara hukum, aparat penegak hukum bersifat independen. Oleh karena itu, ia berharap agar aparat tidak terseret dengan arus publik tersebut.
Hingga saat ini perhatian publik masih tertuju pada proses hukum kasus pembunuhan Nofriansyah. Publik berharap keadilan bisa ditegakkan. Semoga.