Menanti Reformasi Radikal untuk Mengatasi Problem Kultural Polri
”Belajar dari kasus FS (Ferdy Sambo), memang ada yang salah pada kehidupan dan budaya teman-teman di Polri. Kapolri harus didukung agar berani melakukan tindakan tegas dan benar,” kata anggota Kompolnas, A Wahyurudhanto.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
Penembakan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinas bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, di Duren Tiga, Jakarta Selatan, sudah berjalan hampir dua bulan. Insiden ini juga melibatkan banyak anggota kepolisian. Selain menuntaskan kasus dengan memberikan rasa keadilan bagi korban, Polri juga dituntut untuk berubah secara radikal.
Sebanyak 97 personel Polri diperiksa karena dugaan pelanggaran etik dalam penanganan perkara pembunuhan Brigadir J. Dari jumlah itu, 35 personel diduga melakukan pelanggaran kode etik profesi Polri. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (24/8/2022), menuturkan, 35 anggota polisi yang diduga melanggar kode etik profesi ini akan disidangkan secara maraton dalam waktu 30 hari ke depan. Pihak yang pertama kali akan disidangkan adalah Ferdy Sambo.
Dari 35 personel yang diduga melanggar kode etik profesi Polri itu, 18 personel ditempatkan di lokasi khusus, yaitu Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Pangkat polisi yang diduga melanggar etik ini juga beragam. Mulai dari jenderal bintang dua (1 orang), jenderal bintang satu (3), perwira menengah berpangkat komisaris besar (6), ajun komisaris besar polisi (7), komisaris polisi (4), ajun komisaris polisi (5), inspektur satu (2), inspektur dua (1), brigadir kepala (1), brigadir (1), brigadir polisi satu (2), dan bhayangkara dua (2).
Dari paparan data yang disampaikan Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III, Rabu (24/8/2022), 35 orang yang diduga melanggar etik ini paling banyak bertugas di Divisi Propam Polri, yaitu 21 personel. Adapun 11 orang di antaranya bertugas di Polda Metro Jaya dan 3 orang bertugas di Bareskrim Polri.
Jumlah personel yang terlibat itu terus bertambah sejak Listyo mengumumkan Ferdy sebagai tersangka pada Selasa (9/8/2022). Awalnya, hanya 25 anggota Polri yang diduga terlibat merintangi penyidikan (obstruction of justice). Mereka di antaranya berperan mengambil dan merusak rekaman kamera pemantau di sekitar kompleks rumah Ferdy. Belakangan, jumlah itu membengkak menjadi hampir empat kali lipat.
Guru Besar Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi dalam acara Satu Meja The Forum berjudul ”Kasus Sambo: Polisi Mau ke Mana?” yang dipandu oleh Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (24/8/2022) malam, menuturkan, begitu banyaknya polisi yang diduga melanggar etik dalam kasus ini menunjukkan ada kewenangan begitu besar menumpuk pada satu orang. Satu orang itu adalah Ferdy Sambo pada saat masih menjadi Kadiv Propam Polri.
Sebagai polisi yang dinilai masih muda, dengan pengalaman yang minim karena belum pernah menjadi kepala kepolisian daerah (polda) mana pun, Ferdy dianggap belum matang secara pengalaman. Selama menjadi anggota Polri pun, Ferdy lebih banyak bertugas di Jakarta sehingga kerap disebut sebagai ”polisi Jakarta”.
”Saya kira ke depan Divisi Propam harus dipimpin oleh perwira tinggi yang experienced (matang secara pengalaman). Terapkan sistem merit dalam penempatan posisi jabatan di kepolisian agar mereka punya kontrol,” kata Muradi.
Selain Muradi, narasumber lain yang hadir dalam acara bincang-bincang itu adalah komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Albertus Wahyurudhanto; anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Trimedya Panjaitan; dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Benny K Harman.
Muradi menambahkan, selain menjabat sebagai polisinya polisi, Ferdy menjadi begitu berkuasa karena ada spekulasi faksi di internal kepolisian. Ferdy diduga memiliki ”kekaisaran” khusus sehingga memunculkan fenomena yang disebut ada mabes di dalam mabes. Dia tak kaget dengan keberadaan faksi internal ini. Menurut dia, ini adalah salah satu ekses budaya kepolisian, yaitu abang-adik asuh sejak di asrama Akademi Kepolisian.
”Dari perasaan, bau (spekulasi ’kekaisaran’ Sambo di Mabes Polri) itu ada. Namun, bicara hukum harus ada pembuktiannya, ya. Komisi III sempat menanyakan hal yang sama kepada Kapolri dan dia meminta waktu untuk membersihkan itu semua,” ucap Muradi.
Reformasi kultural
Albertus Wahyurudhanto menyatakan prihatin terhadap insiden Duren Tiga karena itu dianggap tragedi nasional. Tragedi ini seharusnya bisa digunakan untuk melakukan reformasi birokrasi secara radikal di institusi Polri. Reformasi harus dilakukan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, yaitu reformasi aspek struktural, instrumental, dan kultural. Dari ketiga aspek itu, reformasi kultural yang dinilai belum berjalan secara efektif.
”Reformasi aspek kultural ini masih berjalan maju dan mundur. Kalau aspek ini berjalan, tidak mungkin 97 polisi ini ikut terlibat. Saya, kan, juga mengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Mayoritas polisi yang diduga melanggar etik ini adalah mahasiswa yang cerdas dan prestasinya bagus. Artinya, mereka tidak menjalankan pelajaran selama di pendidikan,” tutur Wahyu.
Senada dengan Muradi, Wahyu juga membenarkan soal budaya abang-adik asuh di kepolisian yang berdampak buruk bagi profesionalitas Polri. Tradisi ini dimulai sejak mereka belajar di asrama Akademi Kepolisian. Kakak asuh diharapkan membimbing adik angkatannya agar berhasil di asrama. Namun, terkadang, kakak asuh ini justru membawa pengaruh negatif dengan memerintah adik angkatannya melakukan yang dia mau.
”Belajar dari kasus FS (Ferdy Sambo), memang ada yang salah dalam kehidupan dan budaya teman-teman di Polri. Kapolri harus didukung agar berani melakukan tindakan tegas dan benar. Polri bukan hanya sakit parah, satu-satunya obat adalah diamputasi. Kalau tidak, ini akan menjadi benalu yang terus merembet,” kata Wahyu.
Sementara itu, Benny K Harman menambahkan, fenomena kakak dan adik asuh tidak akan menjadi masalah penting sepanjang reformasi di tubuh kepolisian berjalan. Reformasi yang dimaksud adalah aspek struktural, instrumental, dan kultural. Insiden Duren Tiga disebut sebagai salah satu potret gagalnya reformasi di kepolisian.
Padahal, sebenarnya ada Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri yang menyatakan bahwa setiap anggota Polri yang berkedudukan sebagai bawahan wajib menolak perintah atasan yang bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan.
”Namun, justru implementasinya adalah loyalitas tunggal bawahan ke atasan. Apa pun, omongan atasan harus diikuti, tidak ada alasan untuk mempertanyakan itu,” kata Benny.
Diskresi bawahan
Trimedya Panjaitan menuturkan, jika terinternalisasi dengan baik, bawahan memang punya kewenangan diskresi untuk menolak perintah atasan jika bertentangan dengan norma hukum, norma agama, dan norma kesusilaan. Namun, ujarnya, kultur di TNI dan Polri, bawahan memang tidak memiliki keberanian untuk membantah atasan.
Jika memang masih ada pengaruh kuat dari Sambo di internal, katanya, Polri sudah menindaklanjuti dengan melakukan bersih-bersih dengan mutasi besar-besaran. Anasir Sambo perlu dipinggirkan agar Polri bisa fokus mengungkap kasus ini baik masalah pidana maupun etiknya.
”Kapolri harus menerapkan prinsip bahwa tidak ada visi misi pejabat lain selain Kapolri, yaitu Polri Presisi. Ini harus ditegaskan lagi oleh Kapolri kepada jajaran di bawahnya agar loyalitas tegak lurus dari atas ke bawah,” kata Trimedya.
Muradi menjelaskan, problem utama Polri saat ini bukanlah masalah kepemimpinan semata. Namun, lebih pada penataan manajerial di mana Kapolri harus bisa mengorkestrasi seluruh badan, divisi, dan instrumen lain di bawahnya. Sayangnya, dalam tugas penataan manajerial itu, ada unsur dominan yang mengganggu, yaitu faksi-faksi di internal Polri.
Namun, dia mengingatkan agar Kapolri tak perlu risau terhadap masalah faksi-faksi internal itu. Dari penelusuran dokumen, faksi-faksi di internal Polri sudah ada sejak Indonesia merdeka pada 1945.
Kapolri harus mampu mengorkestrasikan seluruh instrumen di bawahnya untuk menyukseskan programnya menjadi Polri yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. Kapolri juga harus berpegang bahwa selain menjadi aparat penegak hukum, Polri juga memiliki tugas sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.