Chuck, Anak Buah Ferdy Sambo di Divpropam, Diberhentikan Tidak Hormat
Komisaris Chuck Putranto, yang pernah menjadi anak buah Irjen Ferdy Sambo di Divpropam Polri, dinyatakan melanggar kode etik profesi. Sebagai sanksinya, ia diberhentikan tidak dengan hormat sebagai anggota Polri.
JAKARTA, KOMPAS — Bekas Kepala Subbagian Audit Bagian Penegakan Etika Biro Pertanggungjawaban Profesi Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Komisaris Chuck Putranto diberhentikan tidak dengan hormat sebagai anggota Polri. Bekas anak buah eks Kepala Divpropam Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo ini dinyatakan melakukan perbuatan tercela dan melanggar kode etik profesi.
Putusan itu dijatuhkan Komisi Kode Etik dan Profesi Polri yang memimpin sidang kode etik terhadap Chuck, setelah melalui persidangan selama 15 jam, dari Kamis (1/9/2022) hingga Jumat (2/9) dini hari.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo saat konferensi pers, Jumat, mengatakan, ada sembilan saksi yang diperiksa dalam sidang etik terhadap Chuck. Adapun Komisi Kode Etik Polri (KKEP) dalam sidang itu dipimpin oleh polisi berpangkat jenderal bintang dua, didampingi oleh beberapa anggota lain.
Chuck merupakan satu dari tujuh polisi yang diduga menghalang-halangi penyidikan pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Adapun enam polisi lainnya adalah Brigadir Jenderal (Pol) Hendra Kurniawan (eks Karo Paminal Divpropam), Komisaris Besar Agus Nurpatria (eks Kaden A Ropaminal Divpropam), Ajun Komisaris Besar Arif Rahman (Wakaden B Ropaminal Divpropam), Kompol Baiquni Wibowo (eks Kasubbag Riksa Baggak Etika Rowabprof Divpropam), dan Ajun Komisaris Irfan Widyanto (eks Kasubnit I Subdit III Dittipidum Bareskrim Polri). Ditambah Ferdy Sambo yang telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Yosua.
Para tersangka ini diduga merusak barang bukti ponsel dan CCTV serta menambahkan barang bukti di tempat terjadinya perkara.
Lebih lanjut Dedi menyampaikan, putusan KKEP yang dijatuhkan terhadap Chuck dilakukan secara kolektif kolegial. Chuck diputus melanggar Pasal 12 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri juncto Pasal 10 Ayat (1) huruf F dan Pasal 10 Ayat (2) huruf H Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Etik Polri.
”Putusan sidang KKEP terhadap Kompol CP adalah sanksi bersifat etika, yaitu perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela. Saksi administrasi berupa penempatan dalam tempat khusus selama 24 hari dari tanggal 5-29 Agustus 2022 di ruangan Patsus Biro Provos Polri yang telah dijalani oleh pelanggar. Kedua, pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH sebagai anggota Polri,” papar Dedi kepada wartawan.
Baca Juga: Risiko Bebas Ferdy Sambo
Terhadap putusan itu, Chuck menyatakan banding. Polri menghargai hal itu karena merupakan hak yang bersangkutan. Sesuai dengan Peraturan Polri No 7/2022, proses sidang banding akan disiapkan oleh Komisi Banding dan Divisi Hukum Polri.
Setelah itu, KKEP akan melanjutkan sidang etik untuk mengadili Komisaris Baiquni Wibowo selaku mantan Kepala Subbagian Riksa Bagian Penegakan Etika Biro Pertanggungjawaban Profesi Divpropam Polri pada Jumat. Saksi yang diperiksa, kata Dedi, kemungkinan ada empat orang. Hasil sidang etik akan segera disampaikan kepada wartawan ketika sudah ada putusan etik.
KKEP akan melanjutkan sidang etik untuk mengadili Komisaris Baiquni Wibowo selaku mantan Kepala Subbagian Riksa Bagian Penegakan Etika Biro Pertanggungjawaban Profesi Divpropam Polri.
Banding Ferdy Sambo
Dedi juga menyampaikan proses upaya banding yang diajukan Sambo atas putusan KKEP yang menjatuhkan sanksi terhadapnya berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai anggota Polri. Dedi mengatakan, upaya banding itu sampai saat ini belum diterima oleh Komisi Banding.
Meski demikian, Kepala Biro Pengawasan dan Pembinaan Profesi Divpropam Polri sudah mempersiapkan sidang Komisi Banding tersebut. Menurut rencana, sidang akan dipimpin perwira tinggi jenderal bintang tiga seperti saat sidang etik pertama Ferdy. Komisi Banding memiliki waktu 21 hari untuk memutus hasil banding yang diajukan oleh Sambo. Hasilnya adalah banding diterima atau ditolak.
”Biro Waprof (Biro Pengawasan dan Pembinaan Profesi) bekerja secara maraton dan tidak mengenal lelah menggelar sidang bagi terduga pelanggar etik. Totalnya ada 35 orang, dikurangi tujuh orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka obstruction of justice (perintangan penyidikan), kami gelar semuanya sampai dengan tuntas,” tutur Dedi.
Hasil sidang etik dari para terduga pelanggar kode etik ini akan disampaikan secara terang benderang sesuai dengan arahan dari Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Sesuai komitmen Kapolri, proses sidang KKEP terkait kasus pembunuhan Yosua di rumah dinas Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, harus segera digelar dan dituntaskan.
Baca Juga: Komisi Etik Polri Putuskan Irjen Ferdy Sambo Diberhentikan Tidak dengan Hormat
Hal itu, kata Dedi, adalah wujud komitmen dan ketegasan Kapolri untuk menuntaskan setiap permasalahan terkait kasus Duren Tiga. Kapolri juga meminta seluruh proses etik ataupun penegakan hukum dilakukan secara paralel.Artinya, Tim Khusus dan Tim Penyidikan Polri terus bekerja dan menyelesaian berkas perkara.
Tim KKEP yang dipimpin Kepala Divisi Propam dan Kepala Biro Pengawasan dan Pembinaan Profesi Divpropam Polri memiliki waktu selama 30 hari ke depan untuk fokus dan segera menuntaskan sidang pelanggaran kode etik dalam kasus pembunuhan Yosua.
”Memang sidang KKEP lebih utamanya digelar untuk enam orang terduga obstruction of justice (perintangan penyidikan) di luar Irjen FS yang sudah digelar pada pekan lalu. Tujuh orang ini juga sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana obstruction of justice dari Direktorat Siber Bareskrim Polri,” kata Dedi.
Kapolri juga meminta agar seluruh proses etik ataupun penegakan hukum dilakukan secara paralel.
Musuh pencari keadilan
Sebelumnya, anggota Komnas HAM, Choirul Anam, menyebut, anatomi kasus pembunuhan Brigadir J menjadi sulit untuk dibuka secara terang benderang karena dampak dari obstruction of justice. Semua kasus yang melibatkan spektrum perintangan penyidikan selalu buntu dan penuh hambatan. Sebab, penghalangan penyidikan adalah situasi kompleks yang melibatkan kelindan sistem, budaya, relasi kuasa, dan lain-lain.
Dari versi penyelidikan independen Komnas HAM, satu temuan yang bisa membuka titik terang adalah temuan jejak digital. Walaupun ada upaya menghapus dan menghilangkan jejak digital, masih bisa dicari. Misalnya, Komnas HAM menemukan ada foto jenazah Brigadir J tersungkur di dekat tangga rumah dinas. Walaupun foto itu sudah dihapus, masih bisa dikembalikan dengan rekayasa teknologi informasi.
Komnas HAM juga menyebut bahwa tindak pidana penghalang-halangan penyidikan harus diperangi karena menjadi musuh bersama para pencari keadilan. Obstruction of justice juga bisa menghancurkan sistem negara hukum.
”Kami juga menemukan ada komunikasi yang meminta untuk mencuci baju. Kalau baju dicuci, jejak letupan tembakan menjadi hilang. Ini adalah upaya untuk menghilangkan jejak. Temuan jejak digital ini seharusnya bisa membuat terang penyidikan yang dilakukan oleh teman-teman penyidik Polri,” kata Anam.
Baca Juga: Kapolri: Ikut Barisan atau Keluar
Komnas HAM berharap hasil penyelidikan independen yang mereka lakukan dapat membuat perkara pembunuhan Brigadir J menjadi lebih terang. Walaupun ada tindak pidana penghalang-halangan penyidikan, jejak digital bisa membantu membuat terang anatomi kasus ini. Komnas HAM pun dalam menyimpulkan dugaan extra judicial killing dan obstruction of justice bersikap tegas karena mendasarkan dari analisis 317 video, 592 foto, dan jejak digital komunikasi dari 15 ponsel yang diberikan oleh penyidik.
”ini membantu kami semua (untuk menyelesaikan penyelidikan). Kami berharap teman-teman penyidik Polri dan kejaksaan dapat menganalisis jejak digital itu sehingga memudahkan untuk membuat keputusan,” ujar Anam menegaskan.
Selain itu, untuk mencegah kasus serupa terjadi di kemudian hari, Anam juga mengusulkan kepada Polri untuk mengevaluasi penegakan hukum yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Apabila terjadi tindak pidana penyiksaan, seperti extra judicial killing, seharusnya penyelidik dan penyidiknya berasal dari eksternal. Menurut dia, ini sudah menjadi tren dunia internasional. Jika ada aparat penegak hukum yang berwenang melanggar hukum dengan melakukan penyiksaan, penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh lembaga eksternal.
”Penyelidikan dan penyidikan oleh lembaga eksternal menjadi penting untuk menghindari bias dan konflik kepentingan,” ujar Anam.
Baca Juga: Penyidik Perlu Perkuat Unsur Pembunuhan Berencana terhadap Brigadir J
Rekomendasi ditindaklanjuti
Susai menerima rekomendasi dari Komnas HAM, Kamis, Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Agung Budi Maryoto menyampaikan rekomendasi dari Komnas HAM akan ditindaklanjuti oleh penyidik. Temuan Komnas HAM juga akan ditindaklanjuti, baik untuk keperluan penyidikan maupun persidangan.
Agung menjelaskan, ada tiga substansi dan rekomendasi dari Komnas HAM. Pertama, terhadap kasus itu pembunuhan itu sendiri, menurut dia, di kepolisian dikenal dengan Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau pembunuhan berencana. Namun, Komnas HAM menyebutnya dengan terminologi pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing).
”Sebenarnya sama. Kalau di kepolisian, sesuai dengan Pasal 340,” ujar Agung yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Khusus Polri dalam kasus ini.
Menurut dia, rekomendasi lain dari Komnas HAM juga menyimpulkan tidak ada tindak pidana kekerasan atau penganiayaan terhadap Brigadir J. Selain itu, dari rangkaian pembunuhan itu ada kejahatan lain, yaitu penghalang-halangan penyidikan. Untuk temuan dugaan obstruction of justice, saat ini penyidik Timsus Polri sudah melakukan langkah-langkah penanganan.