Kapolri: Ikut Barisan Atau Keluar
Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengakui kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat jadi pil pahit bagi institusi Polri. Karena itu, Polri berkomitmen mengungkap kasus itu terang benderang.
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengakui kasus pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat menjadi pil pahit bagi institusi Polri. Beranjak dari kasus tersebut, Polri berkomitmen memperbaiki sistem dan melakukan reformasi kultural. Ini demi memulihkan kembali kepercayaan publik kepada institusi kepolisian.
Listyo dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (24/8/2022), mengatakan, Polri berkomitmen untuk mengungkap kasus pembunuhan Nofriansyah secara terang benderang tanpa ada yang ditutup-tutupi. Ini untuk membuktikan bahwa Polri bekerja secara transparan dan obyektif sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan kepada publik.
”Tentunya, apa yang terjadi ini musibah bagi kami semua. Karena, yang terjadi ini menimpa keluarga besar kami, keluarga besar Polri, baik yang meninggal maupun yang menjadi tersangka. Tetapi, ini menjadi pil pahit bagi kami untuk perbaikan institusi Polri ke depan,” ujar Listyo.
Sejauh ini, lima orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Nofriansyah. Mereka adalah bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo dan istirinya, Putri Candrawathi, beserta dua ajudan Ferdy, Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu dan Brigadir Ricky Rizal, serta asisten rumah tangga keluarga Ferdy, Kuat Ma’ruf.
Tentunya, apa yang terjadi ini musibah bagi kami semua. Karena, yang terjadi ini menimpa keluarga besar kami, keluarga besar Polri, baik yang meninggal maupun yang menjadi tersangka. Tetapi, ini menjadi pil pahit bagi kami untuk perbaikan institusi Polri ke depan.
Baca juga : Menemukan Titik Terang Kasus Kematian Brigadir J
Polri telah melimpahkan berkas perkara untuk empat tersangka ke Kejaksaan Agung. Keempat tersangka itu meliputi Ferdy, Richard, Ricky, dan Kuat. Adapun Putri menurut rencana baru akan diperiksa sebagai tersangka pada Kamis (25/8/2022) atau Jumat (26/8/2022).
Tak hanya itu, hingga kini 97 personel Polri juga telah diperiksa Inspektorat Khusus Polri. Sebanyak 35 orang di antaranya diduga melanggar kode etik. Dari jumlah itu, 16 orang sudah ditempatkan di tempat khusus di Mako Brimob dan dua lainnya sudah di tahanan menyusul penetapan sebagai tersangka. Sisanya masih diproses.
Listyo menegaskan, Polri saat ini siap untuk terus melakukan perbaikan. Ia juga memastikan institusi Polri akan selalu kompak dan solid untuk menjalankan komitmen tesebut. Dengan begitu, harapannya, institusi Polri bisa semakin baik dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Terhadap yang tidak bisa melaksanakan, maka pilihannya ikut barisan atau keluar. Pilihannya hanya itu. Citra Polri, marwah Polri, harus kami jaga. Karena memang pertaruhan kami adalah bagaimana setelah ini kami segera memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat.
”Terhadap yang tidak bisa melaksanakan, maka pilihannya ikut barisan atau keluar. Pilihannya hanya itu. Citra Polri, marwah Polri, harus kami jaga. Karena memang pertaruhan kami adalah bagaimana setelah ini kami segera memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat,” ucapnya.
Mengajukan pengunduran diri
Kapolri menyampaikan, sejauh ini pihaknya masih menunggu hasil pemeriksaan terhadap Putri untuk memastikan motif pembunuhan Nofriansyah. Namun, untuk sementara, ia mengungkapkan, motif pembunuhan itu dipicu adanya laporan Putri kepada Ferdy terkait dengan masalah kesusilaan di Magelang, Jawa Tengah. Dengan adanya laporan itu, Ferdy terpicu amarah dan emosinya.
”Mungkin itu sementara yang bisa saya sampaikan. Ini juga untuk menjawab bahwa isunya antara pelecehan atau perselingkuhan, sedang kami dalami. Jadi, tidak ada isu di luar itu. Dan, ini tentunya akan kami pastikan besok setelah pemeriksaan terakhir (terhadap Putri),” kata Listyo.
Selain pemeriksaan terhadap Putri, pada Kamis besok akan dilaksanakan sidang komisi kode etik terhadap Ferdy. Sidang ini untuk memutuskan apakah Ferdy masih bisa menjadi anggota Polri atau tidak.
Sementara untuk 35 personel lain yang diduga melanggar etik, Inspektorat Khusus akan memilah-milah terlebih dahulu terkait bobot perannya masing-masing. Hal itu kemudian akan menjadi bahan bagi tim sidang komisi kode etik untuk memberikan sanksi sesuai bobot peran mereka.
”Nanti akan kami lihat, apakah yang bersangkutan ini di bawah tekanan, ataukah mereka tidak tahu bahwa yang mereka lakukan itu merupakan bagian dari skenario, atau bahkan mereka ikut di dalam skenario. Jadi, ini semua nanti akan ditentukan oleh tim sidang komisi kode etik,” kata Listyo.
Nanti akan kami lihat, apakah yang bersangkutan ini di bawah tekanan, ataukah mereka tidak tahu bahwa yang mereka lakukan itu merupakan bagian dari skenario, atau bahkan mereka ikut di dalam skenario. Jadi, ini semua nanti akan ditentukan oleh tim sidang komisi kode etik.
Seusai rapat dengan Komisi III DPR, Kapolri mengatakan dirinya telah menerima surat pengunduran diri dari Ferdy. Namun, surat itu masih dipertimbangkan oleh tim sidang komisi kode etik apakah bisa diproses atau tidak.
”Ada suratnya. Tetapi, sedang dihitung oleh tim sidang karena memang ada aturan-aturannya,” kata Listyo.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menambahkan, sidang etik itu akan dipimpin langsung oleh Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Komisaris Jenderal Ahmad Dofiri. Sidang etik oleh Komisi Kode Etik Profesi Polri (KEPP) itu dijadwalkan digelar di ruang sidang KEPP Gedung TNCC Rowabprof Divisi Propam Polri pukul 09.00 secara tertutup.
”Hasil sidang komisi etik itu juga akan memutuskan apakah dilakukan pemecatan atau tidak terhadap Saudara FS,” ujar Dedi.
Sidang etik akan dilakukan kepada Ferdy Sambo. Adapun terhadap 35 personel Polri yang diduga melanggar kode etik profesi, sidang akan diselesaikan dalam waktu 30 hari ke depan.
Anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P, Trimedya Panjaitan, mendorong agar Komisi KEPP bisa memecat Ferdy Sambo secara tidak hormat. Selain menjadi tersangka kasus pembunuhan berencana, Ferdy juga terbukti memengaruhi anggota kepolisian lain serta mengintervensi pengungkapan kasus Brigadir J.
Dedi menyebut, biasanya sidang etik polisi baru dilakukan setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun, dalam perkara ini, penanganan perkara bersifat paralel. Sidang etik tetap berjalan meskipun perkara itu belum masuk di persidangan pengadilan.
Dedi juga menyampaikan bahwa pemeriksaan terhadap tersangka baru kasus ini, yaitu Putri Candrawathi, sudah dijadwalkan oleh penyidik pada hari Kamis atau Jum’at ini. Penyidik yang akan memutuskan apakah setelah pemeriksaan tersangka akan ditahan atau tidak.
Kembalikan kepercayaan publik
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Habib Aboe Bakar Al-Habsyi, menuturkan, harus ada langkah cepat dari Polri untuk melakukan pemulihan atas perkara ini. Penuntasan perkara ini harus menjadi daya lenting untuk mengembalikan kepercayaan publik yang tergerus karena peristiwa ini. Citra dan kepercayaan publik terhadap Polri memang sempat menurun karena dampak kasus ini. Publik kurang memercayai Polri karena sejak awal keterangan yang dirilis terkait kasus ini simpang siur.
Awalnya, polisi menyebut bahwa peristiwa di Duren Tiga adalah tembak-menembak antar-ajudan Ferdy, yaitu Bharada Richard Eliezer dan Brigadir J. Namun, belakangan Kapolri menyebut bahwa kronologi itu adalah skenario yang dirancang Ferdy untuk mengaburkan peristiwa sebenarnya, yaitu pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.
Banyak masyarakat yang tidak percaya apa yang dilakukan oleh Polri. Apalagi, muncul banyak bocoran dan spekulasi terkait kasus ini, seperti judi online. Ini harus diungkap secara jelas oleh Kapolri. Badai institusi Polri ini harus dimanfaatkan untuk bersih-bersih, untuk menjaga kepercayaan publik terhadap Polri.
”Banyak masyarakat yang tidak percaya apa yang dilakukan oleh Polri. Apalagi, muncul banyak bocoran dan spekulasi terkait kasus ini, seperti judi online. Ini harus diungkap secara jelas oleh Kapolri. Badai institusi Polri ini harus dimanfaatkan untuk bersih-bersih, untuk menjaga kepercayaan publik terhadap Polri,” ujar Aboe.
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Golkar Adies Kadir mengungkapkan, DPR terakhir kali mengadakan rapat pengawasan bersama Polri pada awal tahun, tepatnya 24 Januari 2022. Saat itu, Komisi III memberikan apresiasi karena indeks kepercayaan publik terhadap Polri sangat tinggi, mencapai 80 persen. Namun, karena dampak kasus ini, kepercayaan publik terhadap Polri turun sampai di bawah 50 persen. Menurut dia, selain dampak kasus pembunuhan Brigadir J, penurunan kepercayaan juga disebabkan perilaku dan gaya hidup anggota kepolisian di tingkat bahwa yang terkesan mewah.
”Gaya hidup kapolsek, kapolres, di daerah sudah mulai pakai cerutu, minum wine, mobilnya mewah. Perilaku istri-istrinya juga memakai tas mahal yang banyak diunggah di media sosial. Ini membuat masyarakat nyinyir,” katanya.
Adies berharap Kapolri dan jajarannya tetap solid, kompak, dan tidak terpecah belah dalam penanganan kasus ini. Soliditas Polri juga penting untuk meningkatkan citra positif yang dapat mendongkrak kepercayaan publik terhadap Polri. Jika kemudian yang terjadi sebaliknya, dikhawatirkan justru citra Polri di mata publik akan kian terpuruk.
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Gerindra Desmond J Mahesa menambahkan, langkah-langkah yang akan dilakukan Kapolri ke depan untuk mengatasi masalah ini sangat penting untuk mengembalikan citra Polri. Dia mempertanyakan mengapa dalam pengungkapan kasus ini ada begitu banyak anggota polisi yang terlibat. Kapolri menyebut hingga saat ini ada total 97 personel Polri yang diperiksa terkait dugaan pelanggaran etik dalam kasus ini. Sebanyak 35 personel Polri diduga melanggar kode etik profesi. Adapun 18 personel ditempatkan di lokasi khusus, yaitu Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.
”Ini ada apa sampai institusi terlibat sebanyak itu? Apa benar ada geng-gengan di tubuh Polri. Ada kesan sudah menjadi suatu kebiasaan untuk saling menutupi kasus yang sebenarnya. Bagaimana dengan kasus lain, seperti peristiwa Km 50 Cikampek?” tanya Desmond.
Ini ada apa sampai institusi terlibat sebanyak itu? Apa benar ada geng-gengan di tubuh Polri. Ada kesan sudah menjadi suatu kebiasaan untuk saling menutupi kasus yang sebenarnya. Bagaimana dengan kasus lain, seperti peristiwa Km 50 Cikampek?
Desmond juga mempertanyakan keterlibatan penasihat Kapolri, Fahmi Alamsyah, dalam kasus ini. Dia menilai janggal penasihat Kapolri bisa dipakai oleh Ferdy Sambo dan terlibat ikut menyusun skenario palsu kasus tersebut. Menurut mantan aktivis ini, catatan ini dapat merusak citra Polri. Apalagi, belakangan juga muncul berbagai diagram, seperti ”Kekaisaran 303 Sambo”, di media sosial yang seolah menunjukkan ada perang di tubuh Polri. Jika tidak ditangani secara serius dan tuntas, ini bisa membuat citra Polri kian terpuruk. Dia meminta Kapolri melakukan upaya strategis untuk menjaga marwah institusi Polri.
Momentum reformasi Polri
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), D Nicky Fahrizal, menyampaikan, terkait dengan surat pengunduran diri Sambo, jika Kapolri memang serius ingin memberikan contoh penegakan etik profesi polisi, seharusnya surat pengunduran diri itu jangan dikabulkan. Kapolri harus membiarkan sidang etik dari KEPP memutuskan konsekuensi etik tindakan dan derajat kesalahan yang dilakukan Sambo.
Dia berpandangan proses etik ini akan menjadi pembelajaran bersama bahwa polisi memiliki pertanggungjawaban profesi yang diucapkan pada saat sumpah jabatan. Polisi juga memiliki kode etik profesi yang melekat dan harus dipatuhi oleh semua anggotanya.
”Apalagi Irjen Ferdy Sambo ini, kan, dulunya Kadiv Propam Polri, di mana dia adalah jantung penegakan kode etik profesi Polri. Dia harus dihadapkan pada mekanisme penegakan etik yang benar,” kata Nicky.
Nicky juga berpendapat bahwa jika Ferdy Sambo tidak diproses dengan aturan etik profesi kepolisian yang benar, ini tidak bisa mengobati penyakit kultural yang mengakar di Polri. Penyakit kultural itu seperti budaya abang-adik asuh, kode senyap atau code of silence di tubuh Polri.
Untuk memutus mata rantai budaya yang buruk itu, penegakan etik menjadi penting dan relevan. Putusan etik juga bisa memberikan efek jera dan mengirimkan pesan bagi anggota lain agar tidak main-main melanggar aturan etik profesi Polri. Sebagai pejabat publik, Sambo seharusnya juga taat dan patuh pada mekanisme penegakan etik itu.
Nicky berpandangan, kasus Sambo menunjukkan bahwa konsep Polri Presisi yang menjadi visi dan misi Kapolri masih jauh dari harapan. Untuk mengatasi ketertinggalan itu, kasus Sambo sebenarnya bisa menjadi momentum untuk reformasi total Polri baik dari sisi struktural, instrumental, maupun kultural. Menurut dia, reformasi yang paling susah adalah aspek kultural karena itu akan melibatkan kerja-kerja serius dari Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri.
Baca juga : Kapolri Umumkan Tersangka Kasus Kematian Brigadir J
”Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri yang mendidik calon perwira di Akpol, Sekolah Perwira Menengah, hingga Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) menjadi motor perubahan kultural. Di situ kepemimpinan anggota kepolisian dididik,” ujar Nicky.
Ia berpandangan, jika memang ingin melakukan reformasi total Polri, kasus Sambo sebaiknya menjadi katalisator pembenahan. Sebab, jika melihat banyaknya anggota kepolisian yang terlibat, baik terkait dugaan pelanggaran etik maupun penghalangan proses penyidikan (obstruction of justice), ini menunjukkan masih lemahnya pengawasan internal dan eksternal Polri. Divisi Propam Polri yang seharusnya menjadi jantung pengawasan internal justru melakukan pelanggaran serius. Kemudian, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang seharusnya menjadi garda terdepan pengawasan eksternal juga ikut larut terbawa dalam skenario yang disusun Sambo.
Kalau Pak Mahfud MD tidak berisik berbicara dari sisi Kompolnas, mungkin kapasitas Kompolnas dalam kasus ini lebih mirip seperti humas Polri.
”Kalau Pak Mahfud MD tidak berisik berbicara dari sisi Kompolnas, mungkin kapasitas Kompolnas dalam kasus ini lebih mirip seperti humas Polri,” katanya.
Nicky berharap kasus Sambo ini digunakan sebagai momentum untuk menata ulang pengawasan eksternal Polri. Menurut dia, payung hukum Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri sudah tak lagi relevan. Sebab, mandat pengawasan eksternal dalam UU No 2/2002 hanya bertumpu pada Kompolnas. Padahal, lanjutnya, karena merupakan anggota dari kabinet pemerintahan, seharusnya Polri disupervisi langsung oleh Presiden.
Selain itu, karena merupakan bagian dari pemerintah, Polri juga seharusnya diawasi secara eksternal oleh Komisi III DPR. Lebih lanjut, terkait dengan penggunaan kewenangan yustisia atau penegakan hukum, Nicky juga berpandangan Polri perlu diawasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Komnas HAM perlu mengawasi Polri dalam hal penggunaan kekuasaan dan sisi represifnya. Selain itu, karena kepolisian juga menjalankan fungsi pelayanan publik, Ombudsman RI harus masuk mengawasi. Terakhir, karena Polri menggunakan uang pajak dan APBN, Komisi Pemberantasan Korupsi beserta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan juga diperlukan pengawasannya untuk mencegah indikasi korupsi anggaran.
”DPR juga perlu memikirkan ulang kebijakan hukum untuk merevisi UU Polri. Sebab, berkaca pada kasus ini, pengawasan eksternal dari Kompolnas tidak cukup efektif dan butuh penguatan. Reformasi ini membutuhkan kemauan politik yang kuat juga dari Polri,” katanya.
Tanpa pembenahan secara struktural, instrumental, dan kultural itu, menurut Nicky, penuntasan kasus Sambo tidak bisa menjamin apakah kasus serupa bisa kembali terulang di masa depan atau tidak.