Menemukan Titik Terang Kasus Kematian Brigadir J
Penetapan Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka kasus pembunuhan Brigadir J menjadi titik terang dari penyelesaian kasus yang menyita perhatian publik.
Penetapan tersangka kunci menjadi titik terang dari jalan panjang pengungkapan kasus kematian Brigadir J. Harapan penuntasan kasus ini pun kian besar tatkala upaya dan peran dari seluruh pihak terlibat terus dioptimalkan.
Upaya itu terlihat dari pembentukan membentuk tim khusus serta pelibatan unsur lembaga independen dari luar Polri hingga membuka kesempatan justice collaborator dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Presiden Joko Widodo berulang kali mengultimatum agar pengungkapan kasus kematian Brigadir J dapat tuntas dan transparan. ”Sejak awal, saya sampaikan, usut tuntas, jangan ragu-ragu, jangan ada yang ditutup-tutupi, ungkap kebenaran apa adanya.” Demikian pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai kasus kematian anggota Polri Nofriansyah Yoshua Hutabarat (Brigadir J) kepada media pada 9 Agustus 2022.
Presiden Joko Widodo berulang kali mengultimatum agar pengungkapan kasus kematian Brigadir J dapat tuntas dan transparan.
Pernyataan Presiden Jokowi ini merupakan ultimatum keempat terhadap kasus yang sedang membelit Polri tersebut. Pesan yang disampaikan Presiden tersebut sangat jelas bahwa penanganan kasus ini sudah semestinya dapat selesai tanpa menyisakan polemik berkepanjangan.
Lebih kurang sebulan, pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir J di rumah dinas Polri yang ditempati perwira tinggi pada 11 Juli 2022 menemukan titik terang. Pada Selasa, 9 Agustus 2022, polisi kembali mengumumkan tersangka baru atas pengembangan kasus yang telah dilakukan. Kali ini giliran bekas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Kadiv Propam) Irjen Ferdy Sambo (FS) yang menjadi tersangka.
Lewat pengumuman yang disiarkan langsung oleh Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit beserta jajarannya disebutkan pula bahwa tidak terdapat peristiwa tembak-menembak seperti yang sejauh ini diberitakan sejak awal. Lebih lanjut, terungkap pula kronologi penembakan Brigadir J yang diotaki oleh Irjen FS sampai dengan upaya rekayasa kasus dan penghilangan barang bukti.
Penetapan Irjen FS sebagai tersangka ini dilakukan setelah polisi menetapkan tiga tersangka lainnya, yaitu Bharada E, Bripka RR, dan KM. Mengerucutnya penyidikan kasus dan mengarah pada pembunuhan berencana tak lepas dari sejumlah bukti dan kesaksian yang berhasil dikumpulkan polisi.
Saat pengumuman penetapan tersangka baru itu, Kapolri didampingi sejumlah jenderal. Mereka yang hadir, antara lain, Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono, Kabareskrim Komjen Agus Andrianto, Kabaintelkam Komjen Ahmad Dofiri, Irwasum Komjen Pol Agung Budi Maryoto, dan Dankor Brimob Komjen Anang Revandoko.
Selain jajaran bintang tiga, turut mendampingi pula Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo, Kadiv Propam Polri Irjen Syahardiantono, As SDM Polri Irjen Wahyu Widada, Kapusdokkes Polri Irjen Asep Hendradiana, dan Dirtipidum Brigjen (Pol) Andi Rian.
Baca juga : Ungkap Motif Pembunuhan Berencana Brigadir J
”Justice collaborator”
Kehadiran sejumlah jenderal polisi saat pengumuman penetapan tersangka itu menyiratkan bahwa kasus yang membelit perwira tinggi dan bawahannya kali ini memang sangat serius. Dalam penjelasan yang disampaikan Kapolri, keempat tersangka dikenai Pasal 340 subs Pasal 338 juncto 55 dan 56 KUHP yang menyangkut pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal hukuman mati atau seumur hidup atau penjara selama-lamanya 20 tahun.
Di luar keempat tersangka yang telah ditetapkan, tentu tidak menutup kemungkinan akan muncul sejumlah oknum lainnya yang juga dinilai turut serta dalam praktik kejahatan yang dilakukan. Apalagi, penetapan Irjen FS menjadi tersangka ini mengindikasikan adanya relasi kuasa yang disalahgunakan untuk memuluskan aksi kejahatan.
Perwira tinggi yang terjerat kasus pembunuhan berencana seperti yang terjadi saat ini oleh sejumlah pengamat kepolisian disinyalir baru pertama kali terjadi. Sejumlah kasus besar yang pernah menjerat para perwira tinggi Polri biasanya berkutat dalam bentuk tindak pidana korupsi.
Pengungkapan kejahatan pembunuhan ini tentu akan alot dengan pendalaman sejumlah kesaksian dan pengumpulan bukti. Kerja sama dan komitmen dari seluruh pihak terlibat dalam hal ini juga menjadi penting guna mengakselerasi upaya penegakan hukum yang berkeadilan.
Merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama, salah satu syarat penting untuk menjadi justice collaborator adalah bukan pelaku utama.
Selain itu, seorang tersangka yang menyatakan siap membantu mengungkap fakta peristiwa sebenarnya juga terlebih dahulu perlu mengakui kesalahan dan akan memberikan keterangan saksi saat persidangan.
Baca juga : Skenario Fiktif Kematian Brigadir J yang Terendus sejak Awal
Tim khusus
Harapan agar kasus ini dapat terselesaikan secara terang-benderang tentulah dapat diwujudkan lewat ketegasan dan keadilan penegakan hukum.
Sekalipun kini yang harus diperiksa dan diadili adalah para jajaran abdi negara, prinsip kesamaan di depan mata hukum itu nyatanya kini memang sedang diuji. Terlebih dalam Divisi Propam Polri, ranah yang paling bertanggung jawab atas penegakan disiplin etik dari seorang Bhayangkara.
Kondisi itu pula yang melatarbelakangi Kapolri untuk membentuk tim khusus dalam upaya mengungkap kasus kematian Brigadir J. Tim ini berisikan para jenderal Polri yang dipimpin langsung Komjen Gatot Eddy Pramono (Wakapolri). Adapun tim khusus ini beranggotakan Komjen Agung Budi Maryoto (Irwasum), Komjen Agus Andrianto (Kabareskrim), dan Irjen Wahyu Widada (Asisten SDM Polri).
Dalam perjalanan pengungkapan kasus, pada akhirnya tim khusus menemukan fakta baru tentang tidak adanya baku tembak. Termasuk pula mengungkap peran besar mantan Kadiv Propam Polri yang diduga sebagai aktor utama di balik terjadinya pembunuhan.
Selain tim khusus, Kapolri juga mengoptimalkan tugas inspektorat khusus (itsus) yang berfokus pada penyidikan pelanggaran etik oleh personil Polri yang terlibat kasus tersebut. Sejauh ini itsus telah memeriksa 31 personel Polri dan menemukan 11 di antaranya dinilai perlu menjalani sidang etik.
Di luar tim internal, Polri juga menggandeng lembaga independen untuk turut memberikan masukan dan pengawasan terhadap proses penanganan kasus. Selain LPSK, ada pula Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Kepolisian Nasional yang turut membantu proses pengungkapan fakta peristiwa.
Kehadiran tim khusus dan pelibatan sejumlah pihak eksternal Polri yang independen ini tentulah diharapkan dapat semakin mengakselerasi kerja-kerja pengungkapan kasus dengan penuh integritas, transparan, dan berkeadilan. Seluruh pihak tentu masih menunggu kerja hebat seluruh tim dan lembaga yang terlibat dalam komitmen penyelesaian kasus secara tuntas.
Kasus pembunuhan Brigadir J yang terjadi di rumah dinas petinggi Propam Polri itu memang seketika ”menampar” perwajahan Korps Bhayangkara. Meski demikian bukan berarti pula pembenahan dan upaya membangun kepercayaan itu juga pupus.
Barangkali perlu disadari pula bahwa peristiwa yang membelit Polri ini terjadi tak berselang lama setelah HUT Ke-76 Bhayangkara. Momentum yang baru saja dilewati dengan penuh refleksi terhadap cita-cita bersama untuk menghadirkan Polri sesuai dengan visi ”Presisi”.
Dalam upacara peringatan HUT Bhayangkara itu pula Presiden Jokowi berpesan bahwa kepercayaan publik menjadi hal yang paling penting karena Polri sejatinya hadir sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
Kini, ada harapan besar bahwa kepercayaan itu tidak akan runtuh, tentunya ketika Polri dapat pula berkomitmen memenuhi harapan pengungkapan kasus yang membelitnya dengan tegas, tuntas, dan berkeadilan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Bharada E Menulis Sendiri Pengakuannya