Tanpa ditanya, Bharada E menulis sendiri pengakuannya terkait pembunuhan terhadap Brigadir J. Hal itu ia lakukan setelah menyampaikan unek-uneknya kepada penyidik.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR, DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
Tanpa ditanya, Bhayangkara Dua E atau Richard Eliezer Pudihang Lumiu menuliskan sendiri pengakuannya terkait pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Hal itu diungkap oleh Inspektur Pengawas Umum Polri Komisaris Jenderal Agung Budi Maryoto di Mabes Polri, Selasa (9/8/2022) malam.
Agung menuturkan, saat diperiksa secara mendalam, Eliezer menyampaikan unek-uneknya terkait pembunuhan Nofriansyah. Terlebih, dalam kasus ini, ia menjadi orang pertama yang ditetapkan sebagai tersangka.
”Bharada E (Eliezer) yang meminta agar pengakuan itu ditulis sendiri tanpa perlu ditanya,” ucapnya.
Eliezer bersikap terbuka setelah penyidik melakukan pendekatan.
Pengakuan itu, menurut Agung, bukan karena pengacaranya. Sebaliknya, Eliezer bersikap terbuka setelah penyidik melakukan pendekatan. Saat itu, penyidik juga menunjukkan ancaman hukuman berat yang menantinya.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo telah mengumumkan, berdasarkan hasil pemeriksaan, tim khusus Polri menetapkan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan Nofriansyah. Ferdy dijerat dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 juncto Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 340 mengatur pidana terkait pembunuhan berencana, sementara pasal 55 di antaranya tentang pihak yang menyuruh atau melakukan perbuatan pidana.
Dari hasil penyidikan sementara ini terungkap bahwa Ferdy yang memerintahkan Eliezer untuk menembak Nofriansyah. Listyo pun menegaskan, tak pernah terjadi tembak-menembak di rumah dinas Ferdy di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Sejak kasus ini diungkap pada pertengahan Juli lalu, rumah dinas Ferdy disebut sebagai tempat kejadian perkara tewasnya Nofriansyah akibat terlibat saling tembak dengan Eliezer. Insiden itu disebut dipicu oleh tindakan Nofriansyah melakukan pelecehan terhadap istri Ferdy, Putri Candrawathi.
”Untuk membuat seolah-olah telah terjadi tembak-menembak, saudara FS melakukan penembakan dengan senjata milik saudara J (Nofriansyah) ke dinding berkali-kali untuk membuat kesan seolah telah terjadi tembak-menembak,” ujar Listyo.
Penjelasan Listyo ini pun seakan memberikan jawaban, mengapa pengungkapan kasus ini penuh kejanggalan saat pertama kali diselidiki oleh Polres Jakarta Selatan. Salah satunya, kamera pemantau di dalam rumah dinas Ferdy disebut rusak sehingga kamera pemantau yang terpasang di rumah itu tidak bisa dijadikan alat bukti.
Hingga kini, selain Eliezer dan Ferdy, penyidik juga telah menetapkan Brigadir Ricky Rizal dan Kuat sebagai tersangka. Sama halnya dengan Eliezer, Ricky adalah ajudan Ferdy. Adapun Kuat merupakan sopir keluarga Ferdy. Total ada 36 personel Polri yang turut diperiksa dalam kasus ini.
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengungkapkan bahwa di institusi Polri ada budaya yang disebut sebagi code of silent, atau kode senyap. Kode senyap adalah istilah untuk menunjuk subkultur menyimpang untuk menutupi kesalahan rekan sejawat.
Reza melihat kode senyap itu terlihat pada kejanggalan-kejanggalan penanganan perkara ini.
”Pada saat kasus ini mengemuka, muncul di hati saya bahwa ada code of silent merayap di institusi Polri. Ada kelompok atau geng di polri yang berusaha menyimpangkan agar kasus tidak obyektif dan tuntas,” kata Reza.
Reza melihat kode senyap itu terlihat pada kejanggalan-kejanggalan penanganan perkara ini. Misalnya, temuan bahwa kamaera pemantau (CCTV di kompleks rumah Ferdy Sambo tersambar petir, ponsel Brigadir J hilang, hingga baju korban diganti. Ini menjadi bukti bahwa kode senyap telah berusaha merayap di institusi Polri untuk membelokkan kasus ini.