DPR Kejar Target Pembahasan RUU Papua Barat Daya Tuntas Awal September
DPR mengebut pembahasan RUU Papua Barat Daya. Sebelumnya, ada tiga UU DOB Papua yang telah disahkan. Hal itu karena pembentukan daerah otonomi baru di Papua dinilai berpengaruh terhadap persiapan Pemilu 2024.
JAKARTA, KOMPAS — Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya menyelesaikan pembahasan 154 daftar inventarisasi masalah pada RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya dalam sehari. Pembahasan rancangan tersebut mengejar target agar dapat segera tuntas dan RUU itu bisa disahkan pada 6 September. Sebab, pembentukan daerah otonomi baru itu akan memengaruhi persiapan Pemilu Serentak 2024.
RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya mulai dibahas di tingkat Panitia Kerja Komisi II, pemerintah, dan DPD setelah DPR menerima Surat Presiden Nomor R30 pada 20 Juli perihal Penunjukan Perwakilan Pemerintah untuk Membahas RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya. Surat tersebut diterima dan dibacakan oleh Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus dalam Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Selasa (30/8/2022).
Dalam rapat Panja RUU Papua Barat Daya, dibahas sebanyak 154 daftar inventarisasi masalah.
Dalam rapat Panja RUU Papua Barat Daya, dibahas sebanyak 154 daftar inventarisasi masalah (DIM). Tidak ada perdebatan berarti dalam rapat yang berlangsung selama kurang dari tiga jam itu. Pembahasan pun akan dilanjutkan ke tim perumus dan tim sinkronisasi. Namun, setidaknya ada dua isu yang masih akan dibahas baik oleh pemerintah dan panitia pembentukan daerah otonom baru (DOB).
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menjelaskan, dua isu yang dimaksud terkait dengan lokasi ibu kota dan cakupan wilayah. Dalam DIM yang telah disusun oleh Komisi II DPR, telah ditetapkan ibu kota Papua Barat Daya berkedudukan di Kota Sorong. Namun, saat mengadakan kunjungan ke sana, sejumlah masyarakat menyampaikan aspirasi agar Ibu kota dipindah ke Kabupaten Sorong.
Terkait dengan cakupan wilayah, keinginan masyarakat di Kabupaten Fakfak dan Kabupaten Kaimana juga masih terbelah. Sebagian ingin dua kabupaten tersebut bergabung dalam wilayah Papua Barat Daya, tetapi sebagian lainnya menginginkan agar tetap berada di wilayah administrasi Papua Barat.
Alasannya, dari segi wilayah adat mereka berada dalam satu wilayah dengan Teluk Wondama dan Teluk Bintuni. Sementara itu, dari segi akses, masyarakat di kedua kabupaten itu lebih dekat ke Manokwari daripada Sorong.
”Terkait semua itu, kami meminta supaya mereka (pemerintah, pemerintah daerah, dan tokoh masyarakat) untuk menyelesaikannya secara internal, baik ibu kota maupun posisi dua kabupaten. Lalu disampaikan kepada kami secara tertulis,” kata Doli.
Doli menambahkan, jawaban tertulis itu diharapkan sudah diserahkan sebelum Senin (5/9/2022) mendatang. Sebab, menurut rencana, RUU tersebut sudah harus masuk tahap pengambilan keputusan tingkat satu pada hari itu juga. ”Mudah-mudahan tanggal 6 September ada rapat paripurna sehingga kita bisa masukkan ke dalam rapat paripurna,” ujarnya.
Target waktu itu juga mendapatkan dukungan dari anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera. Menurut dia, Panja RUU Papua Barat Daya harus berpegang pada jadwal yang sudah dibuat, yakni mengesahkan RUU pada 6 September. ”Makin ditunda akan makin melebar, meluas, dan timbul banyak spekulasi. Jadi, jagain jadwal,” kata Mardani.
Persiapan pemilu
Sebelum pembahasan RUU Papua Barat Daya, DPR telah mengesahkan tiga RUU pembentukan DOB Papua. Tiga daerah otonomi baru itu meliputi Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Selatan, dan Provinsi Papua Pegunungan.
Doli mengatakan, pembentukan sejumlah UU tersebut berdampak ke banyak hal. Selain soal anggaran, pembentukan DOB juga berpengaruh pada persiapan Pemilu Serentak 2024. Oleh karena itu, proses pembahasan tak boleh tertunda.
”Ini saja sudah telat, kami besok (Rabu, 31/8/2022) pukul 10.00 sudah akan membahas soal tindak lanjut pembentukan provinsi baru. Berkaitan dengan jumlah daerah pemilihan, jumlah anggota DPD, dan segala macam. Jadi, kalau makin lama, makin tidak terkejar nanti,” ujar Doli.
Secara teknis, pihaknya merasa tidak ada kendala dalam pembahasan karena sudah menyiapkan naskah akademik dan naskah RUU yang isinya relatif sama dengan tiga RUU yang sudah disahkan terlebih dulu.
Selain soal anggaran, pembentukan DOB juga berpengaruh pada persiapan Pemilu Serentak 2024.
Ditemui usai rapat, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan, jika RUU Papua Barat Daya bisa disahkan dalam waktu dekat, provinsi tersebut akan ikut serta di dalam tahapan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024. Sama halnya dengan tiga DOB Papua yang telah dibentuk sebelumnya.
Putusan uji materi
Sementara pembahasan RUU Papua Barat Daya terus dikebut, Mahkamah Konstitusi (MK) baru akan memutuskan perkara uji materi Undang-Undang Nomor 2 Nomor 2021 tentang Perubahan Kedua UU Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP), Rabu (31/8/2022). Perkara yang sudah melalui sembilan kali persidangan tersebut dipersoalkan oleh Ketua MRP Timotius Muri, Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait, dan Wakil Ketua MRP Debora Mote yang mewakili MRP sebagai lembaga.
Dalam permohonannya, mereka meminta MK agar membatalkan sejumlah pasal yang dinilai melanggar hak konstitusional warga Papua. Salah satunya Pasal 76 UU Otsus Papua yang mengatur pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan DPR tanpa persetujuan MRP, DPR Papua, dan pemerintah daerah setempat. Ketentuan pemekaran ini dinilai tidak sesuai dengan norma yang sama di dalam UU Nomot 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur prosedurnya secara rigid atau ketat, mulai dari pengusulan daerah.
Dalam UU Otsus Papua, kewenangan pemekaran daerah oleh pemerintah dan DPR secara nyata telah mengesampingkan pemerintah daerah sebagai pihak utama yang melakukan dan melaksanakan pemekaran. ”Jika dalam hal ini pihak yang mengusulkan atau melakukan pemekaran secara absolut dilakukan oleh pemerintah pusat, lantas pertanyaannya, siapakah pihak yang akan melakukan penilaian kepatutan pemekaran daerah,” ungkap pemohon seperti dikutip dari berkas permohonan halaman 116.
MRP juga mempersoalkan badan otonomi khusus yang diketuai oleh Wakil Presiden, Dalam UU Otsus Papua, badan tersebut berfungsi dalam sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan otonomi khusus serta pembangunan di wilayah Papua (Pasal 68A). MRP menilai, pengaturan pemda oleh pemerintah pusat berpotensi menimbulkan tarik-menarik kepentingan dan tumpang tindih kewenangan pengurusan daerah otonomi khusus antara pemda dan pemerintah pusat. Badan ini juga berpotensi menihilkan dan memangkas kewenangan pemda.
Kuasa hukum pemohon, Saor Siagian, membenarkan bahwa perkara tersebut akan diputus pada Rabu sore. Ditanya apakah optimis permohonannya dikabulkan, Saor mengatakan, ”Kita tunggu saja.”