Kebijakan pembentukan DOB Papua ibaratnya membangunkan macan tidur. Antrean panjang wilayah yang ingin mekar jumlahnya ratusan, bahkan di Papua dan Papua Barat puluhan wilayah menginginkan pemekaran.
Oleh
J Kristiadi
·4 menit baca
Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali. Pesannya, cuma sosok bebal yang dapat terjerembap dua kali di gorong-gorong yang sama. Pepatah tersebut menyusup di benak apabila mencermati proses kebijakan negara mendesakkan pembentukan daerah otonom baru (DOB) Papua.
Banyak kalangan menilai kebijakan pemekaran di provinsi paling timur Indonesia itu terlalu terburu-buru. Agenda yang lebih penting serta urgen adalah percepatan pembangunan, meningkatkan derajat, martabat, serta kesejahteraan orang asli Papua (OAP). Agenda ini masih menyisakan timbunan persoalan yang belum mampu diselesaikan.
Wajar masyarakat sipil tak hanya bertanya-tanya, tetapi juga mencium aroma misteri di balik kebijakan tersebut. Nada nyaring mulai terdengar, pembentukan DOB Papua bias kepentingan politik kekuasaan. Negara diduga berniat membentuk boneka-boneka pemerintahan daerah agar dapat sepenuhnya dikendalikan.
Kecurigaan itu sangat ironis karena UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan UU No 2/2021 tentang Perubahan UU Otonomi Khusus Papua adalah manifestasi niat politik mulia negara. Keluhuran regulasi tersebut makin otentik karena disertai pengakuan negara telah mengabaikan pembangunan dan membiarkan pelanggaran hak-hak asasi puluhan tahun. Gereget adiluhung negara menerbitkan kedua UU Otsus tersebut luar biasa. OAP mendapatkan perlakuan sangat istimewa. Hanya mereka yang dapat menjadi gubernur Papua dan Papua Barat.
Hajat tersebut cukup konsisten. UU Otsus jilid kedua, negara mencoba lagi melakukan terobosan dengan membentuk Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3OKP) dipimpin Wapres (Pasal 68A UU No 2/2021). Herannya, setelah lebih dari setahun terbitnya UU Otsus, badan yang menjadi jantung mengakselerasi pembangunan Papua belum juga terbentuk.
Niat mulia negara tidak disertai kadar kepekaan yang tinggi. Semestinya pejabat yang bertanggung jawab segera menindaklanjuti dengan serius, tekun, dan fokus; serta gairah membara mewujudkan slogan klasik: pendekatan pembangunan Papua wajib dilakukan dengan merebut hati dan pikiran OAP.
Namun, ironisnya, terobosan percepatan pembangunan dilakukan membentuk DOB. Kesannya, negara tak belajar dari pengalaman getir dan traumatik tahun-tahun sebelumnya. Sejak 1999 hingga 2014, sebanyak 80 persen daerah otonom baru gagal karena tanpa persiapan matang. Respons kebijakan negara sangat tepat. Sejak 2014 pemekaran dimoratoriumkan, tetapi praktiknya membiarkan pemekaran tanpa perencanaan matang sehingga membuahkan tragedi.
Kebijakan pembentukan DOB Papua ibaratnya membangunkan macan tidur. Antrean panjang wilayah yang ingin mekar jumlahnya ratusan, bahkan di Papua dan Papua Barat puluhan wilayah menginginkan pemekaran. Meledaknya kotak pandora hanya menunggu waktu. Indonesia akan mirip amuba, membelah diri terus hingga mati.
Bayang-bayang ancaman kegagalan DOB Papua berdengung dalam webinar yang diselenggarakan Staf Khusus Wapres bekerja sama dengan Institut Otonomi Daerah (28/7/2022). Temanya, memitigasi pasca-pembentukan DOB Papua. Pertama, DOB Papua tidak berkiblat ke kerangka besar penataan daerah. DOB seharusnya merupakan bagian integral strategi desain besar pembenahan daerah.
Hal ini, antara lain, meliputi pembentukan daerah, penyesuaian daerah, serta penggabungan daerah. Kemenyeluruhan (comprehensiveness) pemahaman ini sangat penting mengingat setiap daerah pemekaran baru perlu dimonitor, dievaluasi, dan diberikan batas waktu tertentu. Apabila sampai tenggat percobaan lewat dan kinerjanya tidak sesuai target, DOB harus bergabung kembali dengan daerah induknya.
Kedua, kegagalan otsus jilid pertama masih meninggalkan banyak masalah yang kompleks serta rumit dan karena itu memerlukan konsentrasi tinggi serta niat kuat untuk dapat mengatasinya. Ketiga, resistensi OAP sangat masif dan beragam.
Selain prakarsa Majelis Rakyat Papua menuntut pembatalan DOB kepada Mahkamah Konstitusi, aksi penolakan tersebar di sejumlah daerah, antara lain Kota Jayapura, Wamena, Paniai, dan Yahukimo yang menelan korban jiwa. Perebutan ibu kota Provinsi Papua Tengah antara Bupati Mimika dan Bupati Nabire ikut memperkeruh suasana. Konflik semacam ini mudah memicu konflik horizontal yang akan merajah rajutan masyarakat Papua.
Catatan keras publik terhadap DOB Papua semoga tidak tenggelam dalam hiruk-pikuk Pemilu 2024. Inkonsisten yang konsisten negara dalam menyusun kebijakan pembangunan Papua hanya akan mengubur niat luhur negara dan memupus harapan OAP hidup bahagia. Semoga ekses ketelanjuran pembentukan DOB Papua dapat dikendalikan melalui upaya ekstra keras mempercepat pembangunan OAP.