Pasca-pembunuhan Brigadir J, Pengawasan terhadap Polri Perlu Ditata Ulang
Penataan ulang pada sistem pengawasan di kalangan internal Polri perlu segera dilakukan. Hal itu disebabkan upaya anggota kepolisian untuk merekayasa kasus dan menutupi kesalahan rekan sesama anggota sudah kerap terjadi.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR, KURNIA YUNITA RAHAYU, MAWAR KUSUMA WULAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terungkapnya sejumlah anggota kepolisian yang menghalangi-halangi penyidikan pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat menjadi pekerjaan rumah bagi Kepolisian Negara RI untuk mendekonstruksi atau menata ulang sistem pengawasan di kalangan internal institusi itu. Hal ini perlu segera dilakukan agar tidak ada lagi konsorsium-konsorsium jahat di tubuh Polri.
Sebelumnya, Polri telah mengungkap ada 83 anggota kepolisian yang diduga terlibat dalam menghalang-halangi penyidikan pembunuhan Nofriansyah. Mereka telah diperiksa tim Inspektorat Khusus dengan 35 orang di antaranya diduga melanggar etik.
Dari anggota Polri yang diduga melanggar etik itu, 15 orang ditempatkan khusus dan 3 orang ditahan karena telah ditetapkan sebagai tersangka.
Pada Selasa(23/8/2022), beberapa dari 24 anggota kepolisian yang dimutasi ke bagian pelayanan masyarakat diketahui terlibat dalam rekayasa skenario pada kasus pembunuhan Nofriansyah. Salah satunya adalah bekas Kepala Polres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto.
Saat penyelidikan tewasnya Nofriansyah ditangani Polres Jaksel pada pertengahan Juli, Budhi menyampaikan bahwa Nofriansyah tewas akibat saling tembak dengan Bhayangkara Dua E (Richard Eliezer Pudihang Lumiu) di rumah dinas Inspektur Jenderal Ferdy Sambo di Kompleks Polri, Duren Tiga, Jaksel. Setelah kasus sesungguhnya diungkap, diketahui bahwa Nofriansyah tewas karena dibunuh atas perintah Ferdy.
Peneliti kepolisian di Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, Selasa, mengatakan, kini Polri memiliki pekerjaan rumah untuk mendekonstruksi, dan lalu rekonstruksi sistem, di kalangan internal secara keseluruhan. Hal itu perlu dilakukan mulai dari pembagian kewenangan, kontrol, hingga pengawasan yang bisa memastikan bahwa sistem yang baru itu berjalan dengan benar.
”Pembangunan sistem sangat mendesak untuk memastikan ke depan tidak ada lagi konsorsium-konsorsium jahat di tubuh Polri,” ujar Bambang.
Bambang mengatakan, rekonstruksi ulang pada sistem pengawasan di kalangan internal Polri ini perlu segera dilakukan karena upaya personel kepolisian untuk merekayasa kasus dan menutupi kesalahan rekan sesama anggota sudah kerap terjadi, tetapi tidak mengemuka di masyarakat.
Ia menyebutkan, sebelumnya ada Ajun Komisaris Besar Brotoseno, eks napi korupsi, yang kembali bertugas sebagai anggota Polri. Setelah memperoleh kritik dari masyarakat, Polri baru memberhentikannya lewat Sidang Komisi Kode Etik Polri Peninjauan Kembali pada 8 Juli.
”Ajun Komisaris Besar Brotoseno (sempat) dipertahankan dengan alasan prestasi meskipun sudah divonis lima tahun penjara dan menjalani hukuman penjara tiga tahun,” kata Bambang.
Namun, lanjut Bambang, upaya untuk mendekonstruksi sistem pengawasan di kalangan internal Polri itu tidak bisa dilakukan oleh Kepala Polri sendiri. Pembangunan sistem yang dapat kembali menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada kepolisian juga membutuhkan dukungan politik dari Presiden sebagai pemberi mandat Kapolri.
Adapun mutasi 24 anggota kepolisian ke bagian pelayanan masyarakat itu disampaikan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, Selasa. Mutasi itu diputuskan Kapolri melalui surat telegram Nomor ST/1751/VIII/KEP./2022 tanggal 22 Agustus 2022.
Dari 24 personel yang dimutasi tersebut, 4 personel berpangkat komisaris besar, 5 ajun komisaris besar, 2 komisaris, dan 4 ajun komisaris. Kemudian terdapat 2 personel berpangkat inspektur satu, 1 inspektur dua, 1 brigadir kepala, 1 brigadir, 2 brigadir satu, dan 2 bhayangkara dua.
Mereka berasal dari Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (10 personel), Badan Reserse Kriminal (2 personel), Korps Brimob BKO Divpropam (2 personel), Polda Metro Jaya (9 personel), dan Polda Jawa Tengah BKO Divisi Propam (1 personel).
Keterlibatan sejumlah polisi dalam menghalangi penyidikan pembunuhan Nofriansyah merupakan dampak lemahnya pengawasan terhadap Polri.
Di antara anggota kepolisian yang dimutasi itu adalah Budhi, bekas Kapolres Jaksel. Sebelumnya, Dedi telah menyampaikan, terkait dengan upaya menghalangi penyidikan pembunuhan Nofriansyah, Budhi ditempatkan khusus di Markas Korps Brimob Kelapa Dua, Depok.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menyampaikan bahwa keterlibatan sejumlah polisi dalam menghalangi penyidikan pembunuhan Nofriansyah merupakan dampak lemahnya pengawasan terhadap Polri. Secara internal, Polri diawasi oleh inspektorat pengawasan umum dan divisi profesi dan pengamanan. Meski banyak pelanggaran personel yang bisa ditangani, pengawasan internal masih perlu dioptimalkan.
Penguatan Kompolnas
Begitu juga pengawasan eksternal Polri yang dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) perlu diperkuat. Kompolnas tidak memiliki kewenangan dan anggaran yang sepadan untuk mengawasi Polri. Kompolnas yang didanai anggaran Rp 14 miliar itu harus mengawasi Polri sebagai institusi yang memiliki lebih dari 330.000 personel dan anggaran lebih dari Rp 100 triliun.
”Dalam kerangka penguatan negara demokrasi, pengawasan eksternal Polri harus ditata ulang, salah satunya dengan memperkuat Kompolnas,” kata Arsul.
Penguatan Kompolnas, ujar Arsul, dapat dilakukan melalui revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Polri. Melalui revisi tersebut, pengaturan struktur pengawasan Kompolnas dapat ditingkatkan ke undang-undang sehingga kewenangan dan anggarannya bisa lebih memadai.
Arsul mencontohkan, dalam pengaturan itu bisa dibagi jenis pelanggaran yang cukup ditangani pengawas internal atau membutuhkan penanganan pengawas eksternal. Dapat pula dibuat koneksitas antara pengawas internal dan eksternal Polri untuk meningkatkan kepercayaan publik.
Ia menambahkan, revisi UU Polri saat ini memang ada dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2020-2024, tetapi belum ada di prolegnas tahunan. Oleh karena itu, usulan penguatan Kompolnas melalui revisi UU Polri akan berpulang pada Komisi III dan Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin menegaskan bahwa Kompolnas masih dibutuhkan. Untuk itu, Kompolnas perlu diperkuat perannya supaya bisa mengontrol kepolisian lebih baik.
”Memberikan arahan-arahan sehingga justru memperkuat peran Polri,” ujar Wapres Amin seusai meresmikan topping off Menara Syariah di Kawasan Pantai Indah Kapuk 2, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa.
Wapres pun menyatakan tidak setuju jika Kompolnas dibubarkan. ”Dibesarkan perannya, dioptimalkan, supaya bisa memberikan kontrol, pengaruh, memberikan saran dan mengarahkan sehingga posisi Polri itu menjadi lebih kuat,” tambahnya.
Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi menambahkan, wacana untuk merevisi UU Polri memang sudah muncul dari Komisi III. Sebab, pembunuhan Nofriansyah yang melibatkan Ferdy dinilai bisa menjadi momentum untuk reformasi kepolisian.
Meski demikian, keputusan bergantung pada hasil rapat kerja Baleg dengan Menteri Hukum dan HAM untuk merevisi prolegnas. Menurut rencana, rapat kerja akan dilakukan pada 25 Agustus mendatang.