Indonesia bisa menggunakan momentum Super Garuda Shield 2022 untuk membentuk sebuah visi strategis di tengah kompetisi AS-China di kawasan.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·4 menit baca
Setelah 14 kali digelar, untuk pertama kalinya, latihan militer Garuda Shield diperluas. Namanya pun berubah, menjadi Super Garuda Shield atau SGS. Latihan yang sejak 2007 dilaksanakan bilateral antara Angkatan Darat AS dan Indonesia, kini diikuti oleh semua angkatan, yaitu darat, laut, dan udara. Latihan yang tadinya bersifat bilateral juga menjadi multilateral dengan melibatkan total 14 negara.
SGS diadakan pada 1-14 Agustus 2022 di dua lokasi di Tanah Air, yakni Baturaja (perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan) dan Dabo Singkep, Kepulauan Riau.
SGS diikuti sekitar 2.000 prajurit dari TNI, 2.000 prajurit militer AS, serta peserta lain dari Australia, Jepang dan Singapura. Selain itu, hadir sebagai pengamat adalah militer dari Kanada, Perancis, India, Malaysia, Korea Selatan, Timor Leste, Papua Niugini, Selandia Baru, dan Inggris. Dari sisi jumlah prajurit, angka 4.000 lebih tinggi daripada tahun lalu, yakni 3.708 prajurit.
Tentunya, menjadi pertanyaan menggelitik: ada apa? Apalagi hal ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika di kawasan, baik secara jangka panjang seperti rivalitas AS dan China, serta isu-isu jangka pendek seperti kunjungan Ketua DPR AS Nancy Pelosi ke Taiwan yang membuat China gerah.
Militer negara manapun adalah perpanjangan kebijakan politik negaranya. Hal ini misalnya jelas dari wawancara Komandan Divisi Infanteri ke-7 Mayor Jenderal Stephen G Smith yang menjadi Direktur Latihan Pasukan AS dengan beberapa media, termasuk Kompas, di Kedutaan Besar AS di Jakarta, Jumat (29/7/2022).
Ia mengatakan, latihan ini sangat penting. Militer AS melihat bahwa kemitraan yang dibangun berdasarkan persamaan nilai akan demokrasi dan kawasan yang terbuka dan stabil harus terus dibangun.
Stephen berkali-kali juga menegaskan bahwa, latihan bersama ini bukan ancaman dan tidak ada maksud mengancam siapa-siapa. SGS murni latihan militer, dengan skenario fiksi alias tanpa musuh yang nyata, dan bertujuan untuk membangun kapabilitas interoperabilitas dan komunikasi antara militer berbagai negara yang punya nilai-nilai yang sama. Namun, di atas segalanya, tujuan SGS adalah membangun persahabatan dan kepercayaan.
“Dari tingkat yang paling bawah seperti prajurit 19 tahun sampai pimpinan di tingkat jenderal,” kata Stephen.
Staf pengajar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Muhammad Arif mengatakan, dari sisi taktis, TNI bisa belajar banyak. Latihan Bersama SGS sarat dengan peningkatan kapasitas operasi gabungan, sesuatu yang tengah dibangun di TNI. Selain itu, juga banyak latihan operasi-operasi kemanusiaan dan penanggulangan bencana.
“Tapi yang paling penting itu di level strategis, sejauh mana Indonesia mau terasosiasi dengan narasi Free and Open Indo Pacific. Padahal, selama ini kita berusaha memberikan makna netral pada Indo-Pacific,” kata Arif.
Dalam SGS 2022 juga akan ada latihan pendaratan amfibi, penerjunan pasukan dalam rangka menghadapi ancaman konvensional dan nonkonvensional.
Stephen mengatakan, militer AS ingin mendapatkan pengalaman berlatih di daerah tropis dan lembab dengan geografi kepulauan. Latihan di Dabo Singkep dan Baturaja tentunya memberikan banyak pengalaman dalam hal ini.
Menurut Arif, latihan bersama AS dan mitra-mitra strategis tersebut juga sesuai dengan strategi Indonesia selama ini yang menyambut sebanyak mungkin negara terlibat di kawasan Asia Pasifik. Dengan demikian, terjadi diversifikasi kekuatan di kawasan. Hal ini merupakan strategi yang realistis dalam menghadapi China yang kerap bertindak agresif di Laut China Selatan.
“Latihan ini bisa menjadi pengungkit juga, karena beberapa tahun terakhir ini Indonesia terlihat memfasilitasi berbagai negara untuk ikut serta di kawasan, terutama secara ekonomi,” kata Arif.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Tubagus Hasanuddin juga melihat, tujuan utama SGS adalah membangun rasa saling percaya (mutual trust) antarmiliter negara-negara Asia Pasifik.
Indonesia diharapkan bisa memperkuat hubungan antarmiliter dengan negara-negara sahabat dan meningkatkan profesionalisme TNI. Hubungan antarmiliter negara-negara sahabat ini perlu terus-menerus dibangun. Dengan begitu, ini akan menjadi bagian dari efek gentar (deterrent effect) untuk tetap menjaga perdamaian.
Pertanyaannya kemudian adalah, kenapa militer China tidak ikut serta? Stephen G Smith menyatakan, ia tidak tahu alasannya. Sementara, para wartawan yang saat itu mewawancarainya pun tersenyum. Peribahasanya, sudah gaharu, cendana pula.
Dalam dunia internasional yang cenderung anarkis, semua negara akan memainkan kartu kepentingannya. Dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, maka salah satu agenda penting bagi Indonesia adalah menentukan visi strategisnya di kawasan.
Menurut Arif, hal ini yang dirasakan minim, ketika berbagai aktor terlihat tidak berkoordinasi dalam bertindak. Ketika AS menarik pengaruh dengan narasi "Free and Open Indo-Pacific", sementara China dengan wacana agenda ekonomi "Belt Road Initiative". Masih akan dibuktikan oleh waktu, bagaimana Indonesia akan mendayung di antara dua karang.