Dianugerahi Gelar Doktor Kehormatan, Surya Paloh Tekankan Pentingnya Politik Kebangsaan
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Brawijaya. Dalam orasi ilmiahnya saat menerima gelar itu, Surya menyampaikan politik identitas yang busuk hanya bodohi anak bangsa.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
MALANG, KOMPAS — Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menilai politik identitas tidaklah selalu negatif. Politik identitas mulai mengkhawatirkan apabila sudah ditarik ke dalam situasi politik yang diskriminatif untuk meraih kemenangan di pemilihan umum. Alih-alih memakai politik identitas, Surya Paloh menekankan pentingnya membawa politik kebangsaan bagi semua partai politik untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal tersebut disinggung Surya Paloh saat menyampaikan orasi ilmiah promovendus gelar doktor kehormatan atau honoris causa di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Senin (25/7/2022). Orasi tersebut berjudul ”Meneguhkan Kembali Politik Kebangsaan”. Surya mendapatkan gelar doktor kehormatan di bidang sosiologi politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya.
Hadir dalam sidang senat terbuka itu, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla serta sejumlah pejabat dan menteri yang berasal dari Partai Nasdem, yakni Wakil Ketua DPR Rachmad Gobel, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo.
Dalam orasi ilmiahnya, Surya menyampaikan, politik identitas sesungguhnya tidaklah selalu negatif. Mengutip yang disampaikan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Yudi Latif, ada tiga bentuk politik identitas, yakni politik identitas yang baik (good), buruk (bad), dan busuk (ugly).
Politik identitas disebut baik ketika menjadi ciri bagi sebuah partai atau kelompok politik. Setiap kelompok memang harus melahirkan identitasnya sehingga menjadi pembeda dengan kelompok lain. Namun, identitas tersebut tak lantas membuat kelompok tersebut bersikap eksklusif, melainkan inklusif.
Adapun politik identitas yang buruk adalah kebalikannya. Kelompok tersebut justru bersikap eksklusif dan tidak mau mengenal kelompok lain. Mereka membatasi diri dengan siapa mereka akan berteman atau bekerja sama.
Menurut Surya, yang menjadi masalah adalah politik identitas yang busuk. Politik identitas semacam ini tidak hanya picik, tetapi juga membodohi anak bangsa. Mereka merasa bahwa identitas atau kelompoknyalah yang paling unggul dan benar. Alhasil, identitas lain menjadi nomor dua, bahkan harus dikalahkan atau jika perlu ditiadakan.
Hal ini, tambah Surya, akan membawa politik identitas menjadi politik kebencian. Jika hal tersebut yang terjadi, baginya, lebih baik tidak ada pemilu. Itu hanya memberikan konsekuensi pada perpecahan bangsa ini.
”Terlalu mahal harga yang harus dipertaruhkan jika hanya untuk mendapatkan kemenangan di pemilu kita harus mengorbankan bangunan kebangsaan yang berpuluh tahun kita jaga bersama ini. Terlalu pendek akal kita dan terlalu tinggi nafsu kita jika untuk memenangi pemilu kita harus mempertaruhkan persatuan dan kesatuan bangsa ini,” ujar Surya.
Yang menjadi masalah adalah politik identitas yang busuk. Politik identitas semacam ini tidak hanya picik, tetapi juga membodohi anak bangsa.
Surya melihat, satu dasawarsa terakhir ini, hadirnya proses politik justru rawan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada yang terasa kebablasan dalam praktik politik kekuasaan di negara ini.
Semua pihak seperti merasa sah melakukan segala cara untuk memenangi ruang kontestasi politik. Padahal, ujar Surya, kontestasi mesti bersandar penuh pada kesadaran untuk meningkatkan kualitas kehidupan bangsa di mana konstitusi adalah pegangan sekaligus panduannya.
”Eksploitasi politik identitas hanya akan menciptakan fragmentasi sosial yang mengancam, bahkan merongrong eksistensi dan fondasi negara bangsa ini,” ujar Surya.
Politik kebangsaan
Pengalaman dua pemilihan presiden terakhir cukup menjadi pelajaran bagi bangsa ini bahwa kompetisi dalam pemilu bukanlah segalanya. Kompetisi hanyalah wadah untuk terus-menerus mencari yang terbaik dan menjadi lebih baik.
”Kiranya, terlalu mahal pertaruhan yang dilakukan jika hanya untuk berkuasa lima hingga sepuluh tahun, kita mengorbankan sesuatu yang lebih besar, yakni bangunan kebangsaan yang telah berdiri hampir satu abad ini,” ucap Surya.
Untuk itu, menuju momen kontestasi di 2024, apalagi dengan resesi yang tengah melanda dunia saat ini, Surya mengingatkan seluruh anak bangsa untuk senantiasa waspada, cermat, dan tidak salah langkah. Sekiranya, politik kebangsaan adalah pilar yang bisa menjadi pegangan bersama.
Politik kebangsaan adalah garis politik yang harus bisa menjadi komitmen semua partai politik. Semua pihak mesti menyadari bahwa kompetisi dalam pemilu adalah keniscayaan dan akan berulang setiap lima tahun sekali. Karena itu, hal paling penting adalah menjaga keberlangsungan dan eksistensi negara dan bangsa ini.
”Di atas politik kontestasi ada politik kebangsaan di mana politik yang mengarusutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kami sebagai kelompok politik. Politik kebangsaan adalah politik yang mengajak semua pihak kepada semangat persatuan,” kata Surya.
Perbedaan politik dan perbedaan tendensi ideologi, menurut Surya, merupakan hal yang biasa. Ia meyakini, tak ada satu partai atau kelompok mana pun yang berniat membelah kembali kohesivitas sosial sebagaimana dua pemilu terdahulu. Pemilu hanyalah siklus lima tahunan. Kekuasaan pun takkan selamanya dipegang.
”Sejarah telah menyampaikan kepada kita, sekuat apa pun kekuasaan seseorang atau sekelompok orang, di satu waktu pasti akan selesai jua. Sejarah juga menyampaikan bahwa yang langgeng adalah nilai, ajaran, dan kebajikan. Itulah warisan yang semestinya kita berikan kepada anak-cucu kita nanti,” ucap Surya.
Berjasa besar
Dekan FISIP Universitas Brawijaya Sholih Mu’adi menyampaikan, pemberian gelar doktor kehormatan kepada Surya merupakan yang pertama dilakukan FISIP Universitas Brawijaya. Ia mengungkapkan, pemberian gelar doktor kehormatan tersebut tentu telah melalui berbagai pertimbangan yang matang.
Pertama, Surya merupakan tokoh berpengalaman di dunia pers dan media. Surya telah terbukti berjasa dan berperan aktif dalam meneguhkan demokratisasi di Indonesia melalui inovasi di bidang pers dan media.
”Tindakannya ini mampu mendorong diseminasi informasi publik secara inklusif sehingga memungkinkan hadirnya ruang publik yang lebih egaliter bagi masyarakat luas. Beliau juga adalah tokoh perlawanan ketidakadilan pers pada masa Orde Baru,” ujar Sholih.
Pertimbangan kedua, Surya menjadi salah satu pemimpin sebuah partai politik di Indonesia yang telah berjasa mendorong iklim politik kebangsaan yang lebih berintegritas. Surya memperkenalkan gagasan restorasi Indonesia dan mencetuskan ide tentang politik tanpa mahar.
”Ini lebih mencengangkan lagi di mana politik dianggap segala sesuatu yang kotor dan tidak baik. Mohon maaf, ini bukan promosi salah satu parpol. Akan tetapi, itulah kenyataan yang kami dapatkan,” kata Sholih.
Pemberian gelar doktor kehormatan kepada Surya merupakan yang pertama dilakukan FISIP Universitas Brawijaya.
Alasan ketiga, Surya membuktikan dedikasinya pada bidang kemanusiaan dan budaya. Hal tersebut ditunjukkan melalui misi penyelamatan warga negara Indonesia yang disandera kelompok militan di Filipina.
Terakhir, Surya telah diakui sebagai negarawan oleh pemerintah dan juga berjasa luar biasa di bidang jurnalistik, politik, budaya, dan kemanusiaan. Peran Surya, menurut Sholih, sangat bermanfaat bagi kemajuan, kesejahteraan, serta kemakmuran bangsa dan negara. Itu dibuktikan dengan pemberian anugerah tanda kehormatan Bintang Mahaputera Utama kepada Surya sebagai tokoh pers nasional dari Presiden RI.
Surya juga pernah menerima gelar kehormatan adat dari banyak daerah di Indonesia. Bahkan, Surya juga pernah dianugerahi gelar profesor kehormatan dari Beijing Foreign Studies University, China.