Uji Formil UU IKN, baik Pemerintah maupun Penggugat Optimistis Menang
Penggugat berpandangan pembentukan UU IKN cacat prosedur sehingga tak ada alasan bagi MK untuk menolak permohonan. Sementara pemerintah mengklaim pembentukan UU IKN sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah optimistis Mahkamah Konstitusi akan menolak permohonan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Pemerintah mengklaim, proses pembentukan regulasi tersebut sudah sesuai dengan prosesur pembentukan peraturan perundang-undangan
Ketua Tim Komunikasi Ibu Kota Nusanta (IKN) Sidik Pramono, saat dihubungi Minggu (17/7/2022), mengungkapkan, pemerintah sudah menyampaikan argumentasi yang dibutuhkan untuk menyanggah dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon uji formil. Pemerintah pun berkeyakinan bahwa proses pembentukan dan substansi UU IKN sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan konstitusi.
”Kami tinggal menunggu saja apa putusan Mahkamah. Tentu kami akan mematuhi karena putusan itu bersifat final dan mengikat,” ujar Sidik yang mengaku optimistis akan putusan MK.
Pada Rabu (20/7/2022) nanti, MK, menurut rencana, akan memutus uji formil UU IKN yang diajukan oleh 24 orang yang tergabung dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN). Sejumlah tokoh yang tergabung dalam PNKN di antaranya adalah mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi Abdullah Hehamahua, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto, Letnan Jenderal TNI (Purn) Soeharto, Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat, Mayor Jenderal TNI (Purn) Prijanto, Mayjen TNI (Purn) Soenarko MD, Marwan Batubara, dan lain-lainnya. Perkara yang diajukan PNKN teregister dengan nomor 25/PUU-XX/2022.
PNKN mempersoalkan UU No 3/2022 yang bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Pertama, bertentangan dengan asas kejelasan tujuan sebab UU tersebut tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan berkesinambungan, yaitu mulai dari dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara, dan pelaksanaan pembangunannya.
Kedua, bertentangan dengan asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Sebab, UU No 3/2022 banyak mendelegasikan materi yang berkaitan dengan IKN dalam peraturan pelaksana padahal seharusnya diatur dalam level undang-undang. Misalnya, masalah pembagian wilayah, proses perpindahan lembaga negara dan aparatur sipil negara, serta pendanaan IKN.
Kami tinggal menunggu saja apa putusan Mahkamah. Tentu kami akan mematuhi karena putusan itu bersifat final dan mengikat.
Selain itu, pemohon juga menilai pembentukan UU IKN bertentangan dengan asas keterbukaan dan tidak sesuai dengan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan No 91/2020 telah merumuskan model partisipasi masyarakat dengan sangat detail dalam pembentukan undang-undang. Bila ini tak terpenuhi, UU yang dihasilkan cacat formil.
Baca Juga: Penggugat Palsukan Tanda Tangan, MK: Cabut Permohonan atau Dilaporkan Polisi
Di samping permohonan PNKN, MK juga akan memutus uji formil yang diajukan oleh 21 tokoh dan warga negara di antaranya Azyumardi Azra dan Din Syamsuddin, dan kawan-kawan dalam perkara Nomor 34/PUU-XX/2022. Pemohon 34/2022 mempersoalkan, tidak dipenuhinya meaningfull participation seperti ditentukan dalam putusan No 91/2020.
Ada tiga syarat sebuah partisipasi publik dapat dikatakan bermakna, yaitu hak untuk didengarkan, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atas pertimbangan yang diberikan. Pemohon 34/2020 menilai, ada pelanggaran terhadap hak untuk dipertimbangkan atau the right to be considered dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan atau the right to be explained.
Ini setidaknya dialami oleh sejumlah ahli yang didengarkan keterangannya oleh pembentuk undang-undang, misalnya Henricus Andi Simarmata, Asep Sofian, Erasmus Cahyadi, Fadhil Hasan, Chazali H Situmorang, Satya Arinanto, Ananda B Kusuma, dan Maria SW Sumardjono. Pendapat-pendapat yang mempersoalkan proses Pembentukan UU IKN yang terburu-buru, partisipasi publik khusus bagi yang terdampak, dan studi kelayakan yang cukup. Pembentuk UU hanya menggunakan pendapat narasumber tersebut untuk memenuhi kriteria pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya.
Pemohon juga mempersoalkan Lampiran II UU No 3/2022 tidak pernah ada (terlampir) dan/atau tidak pernah dibahas serta tersedia pada saat persetujuan bersama. Menurut pemohon, RUU yang disetujui bersama pemerintah dan DPR pada 18 Januari 2022 tidak memuat Lampiran II mengenai Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. Laporan Pansus DPR dalam rangka pembicaraan tingkat II/pengambilan keputusan hasil pembahasan RUU IKN yang ditandatangani Ahmad Doli Kurnia Tanjung menyebutkan bahwa Dewan Perwakilan Daerah mengingatkan tentang Rencana Induk yang menjadi lampiran yang tidak terpisahkan dalam RUU tersebut belum pernah dibahas dalam Pansus RUU IKN. Ini terdapat dalam halaman 7 Laporan Pansus RUU IKN DPR.
Terbukti
Kuasa hukum PNKN, Viktor Santoso Tandiasa, menilai, MK sudah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya. Sebab, berdasarkan fakta-fakta persidangan telah nyata dan terang benderang bahwa Pembentukan UU IKN cacat prosedur. ”Tidak ada alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk menolak permohonan pemohon,” kata Viktor.
Ia menilai, tak ada satu pun dalil, alat bukti baik keterangan ahli yang dihadirkan Presiden dan DPR yang dapat membuktikan bahwa proses Pembentukan UU No 3/2022 telah melibatkan partisipasi publik secara bermakna.
Sebaliknya, ahli para pemohon justru mengungkapkan fakta bahwa terdapat pihak-pihak yang tidak dilibatkan, yaitu DPRD DKI Jakarta, Gubernur DKI Jakarta, ataupun elemen masyarakat DKI Jakarta mengingat pihak-pihak inilah yang terdampak apabila ibu kota dipindahkan ke Kalimantan Timur. Selain itu, apabila dilihat dari fakta perkembangan pengujian formil UU No 3/2020 di MK, tak dapat dinafikan bahwa Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) yang mengaku diundang dan memberi masukan di DPR, tetapi masukan mereka tak dipertimbangkan. Mereka juga tidak mendapatkan penjelasdan (the right to be explained) mengapa masukan mereka tidak dipertimbangkan.
”Sehingga hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (the right to be considered) dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (the right to be explained) telah dilanggar. Demikian pula dengan Yayasan Wahana Lingkungan Indonesia (perkara 54/2022) tidak dilibatkan dalam proses pembentukannya. Padahal, Walhi merupakan pihak yang concern terhadap permasalahan lingkungan hidup,” kata Viktor.
PNKN juga menyoroti fakta bahwa pihak DPR tidak menyerahkan alat bukti. Hal ini diketahui dalam proses Inzage (pemeriksaan berkas perkara) terhadap alat-alat bukti pemerintah yang dilakukan pada 20 Mei 2022, ditemukan fakta bahwa DPR tak menyerahkan alat bukti yang memperkuat keterangannya. Dengan demikian, tambahnya, MK tidak perlu mempertimbangkan keterangan DPR.
Baca Juga: Ketua MK Pimpin Panel Uji Formil UU IKN
Hal lain yang, menurut Viktor, dapat memengaruhi putusan MK adalah Presiden yang menghadirkan saksi yang tak relevan dan tak patut untuk dipertimbangkan sebagai saksi dalam perkara pengujian formil ini. Sebab, saksi yang dihadirkan (Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, mantan Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Indonesia) menyatakan tidak mengikuti proses Pembentukan UU IKN. Dengan demikian, keterangan yang disampaikan diberikan di luar proses Pembentukan UU No 3/2022.
Tidak terlibatnya saksi disampaikan langsung oleh saksi sebagaimana tercatat dalam risalah sidang ke VI Acara Mendengarkan Keterangan Ahli dan Saksi Presiden, pada Rabu, 18 Mei 2022, halaman 20-21, di mana saksi mengatakan, ”Mengenai peran saya dalam RUU IKN apalagi tadi sudah saya jelaskan bahwa memang saya tidak terlibat karena bahkan ketika undang-undang itu disusun saya sudah tidak lagi di kabinet, ya, saya sudah berhenti dari Menristek itu akhir April dan kalau tidak salah pembahasan undang undang itu setelah itu, ya. Bahkan, saya ingat juga kebetulan pernah ada undangan dari pansus di DPR, tetapi kemudian entah kenapa undangannya dibatalkan sehingga boleh dikatakan saya tidak terlibat langsung di dalam pembahasan Undang Undang IKN-nya. Mungkin itu yang bisa saya sampaikan.”