Penggugat Palsukan Tanda Tangan, MK: Cabut Permohonan atau Dilaporkan Polisi
Ancaman hakim MK hendak melapor ke polisi sebenarnya sekadar menakut-nakuti para pemohon supaya lebih serius dalam membuat permohonan. Sebab, MK tidak dirugikan secara materiil dengan pemalsuan tanda tangan tersebut.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·6 menit baca
Upaya enam mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara akhirnya kandas setelah dua kali sidang di Mahkamah Konstitusi. Mereka terpaksa menarik kembali atau mencabut permohonan karena persoalan pemalsuan tanda tangan.
Hal itu terungkap dalam sidang kedua uji materi UU IKN dalam perkara 66/PUU-XX/2022, Rabu (13/7/2022). Dalam sidang selama 14 menit tersebut, hakim konstitusi Arief Hidayat yang mempimpin persidangan mengejar ”kejujuran” lima mahasiswa yang menghadiri sidang secara virtual dari kota asalnya tersebut. Tiga di antaranya mengenakan jaket almamater universitasnya, dua lainnya mengenakan kemeja putih.
Di tangan hakim terdapat berkas permohonan yang oleh hakim Arief diterima oleh Kepaniteraan MK pada hari itu juga, Rabu pukul 03.10. ”Ada beberapa hal yang perlu saya minta konfirmasi. Saudara ini tanda tangannya tanda tangan betul atau tanda tangan palsu? Kalau kita lihat kayak gini, tanda tangan ini mencurigakan, bukan tanda tangan asli dari para pemohon,” kata Arief Hidayat.
Mendapat pertanyaan tersebut, salah satu pemohon uji materi, Hurriyah Ainaa Mardiyah, menjawab bahwa tanda tangan tersebut merupakan tanda tangan asli tetapi memakai tanda tangan digital.
Namun, Arief tidak percaya. ”Tapi tanda tangannya kok begini? Apa enggak ditandatangani satu orang ini? Kalau Anda dicek ini tanda tangan palsu, anu lo, ya, bisa dipersoalkan lho,” desak Arief.
Hurriyah tetap berkukuh menyatakan bahwa itu tanda tangan asli para pemohon hanya saja menggunakan tanda tangan digital.
Hakim konstitusi pun tak kurang akal. Kartu tanda penduduk para pemohon pun diminta untuk dicek. Ternyata, setelah dibandingkan antara tanda tangan yang ada di berkas permohonan dengan yang ada di KTP, keduanya berbeda.
”Gimana ini? Ini bisa dilaporkan ke polisi. Kena pidana lho. Ini bermain-main di instansi yang resmi? Ha? Beda semua antara KTP dengan di permohonan,” tegas Arief.
Arief kemudian meminta perbedaan tanda tangan tersebut ditayangkan didalam layar monitor yang ada di MK. Bahkan, tanda tangan tersebut di- zoom. Hasilnya memang betul-betul berbeda. Ini Anda sebagai mahasiswa kalau memang ini palsu, diakui palsu. Tapi kalau tidak, Anda bisa pertahankan. Dan nanti ini akan kita minta dicek di kepolisian, palsu atau tidak. Gimana? Siapa yang mau jawab, ” ujar Arief.
Arief melanjutkan, ”Anda Mahasiswa Fakultas Hukum, dalam urusan resmi di peradilan, tanda tangannya harus tanda tangan asli dan bisa dipertanggungjawabkan. Tapi ini setelah kita cek dengan kasatmata, sudah terlihat begini. Gimana ini pertanggungjawaban Saudara? Kok diam?”
Pemohon tetap berbelit-belit menjawab Arief. Disebutkan bahwa tanda tangan itu tanda tangan digital dengan menggunakan mouse dengan aplikasi Word. Namun, Arief menjawab bahwa dirinya pun menggunakan tanda tangan digital sehingga alasan yang dikemukakan pemohon tetap tidak dapat diterima. Sebab, justru dengan tanda tangan digital tanda tangan justru makin jelas.
Akhirnya pemohon menjawab bahwa dua tanda tangan tersebut memang palsu dalam arti ditandatangani orang lain. Namun, hal itu dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan yang bersangkutan.
Hakim akhirnya menyarankan agar para mahasiswa mencabut permohonannya. ”Karena ada persoalan pemalsuan tanda tangan, dicabut dulu. Kemudian kalau Saudara akan mengajukan permohonan kembali, silakan mengajukan dengan tanda tangan yang asli. Atau yang memalsukan dan yang dipalsukan kita urus di kepolisian. Bagaimana? Saudara mau?” ujarnya.
Kelima mahasiswa itu juga pada akhirnya bersedia mencabut permohonan dan akan mengajukan permohonannya kembali. Arief berharap supaya para mahasiswa tersebut mengambil pelajaran bahwa ketika berhadapan dengan lembaga negara, pemalsuan tanda tangan tidak bisa ditolerir.
”Itu sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan oleh mahasiswa fakultas hukum karena itu merupakan pelanggaran hukum,” tegas Arief.
Untuk diketahui, para mahasiswa itu memohon agar Pasal 1 Ayat (2), Pasal 4 Ayat (2) Huruf b, Pasal 5 Ayat (4), Pasal 9 Ayat (1), Pasal 13 Ayat (1) UU IKN dibatalkan. Pasal 1 Ayat (2) misalnya mengatur tentang bentuk pemerintahan Ibu Kota Nusantara sebagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus setingkat provinsi. Ketentuan itu dinilai bertentangan dengan Pasal 4 Ayat (2) Huruf b yang menyebutkan bahwa otorita ibu kota Nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian. Pemohon menilai kedua ketentuan tersebut bertentangan sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum.
Pertentangan dengan konstitusi juga dinilai ada pada Pasal 5 Ayat (4) UU IKN yang menyebutkan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara merupakan kepala pemerintahan daerah yang berkedudukan setingkat menteri, yang ditunjuk, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR. Hal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota yang dipilih secara demokratis.
Pemalsuan tanda tangan barang kali merupakan suatu hal yang biasa dilakukan di kalangan masyarakat. Misalnya, pemalsuan tanda tangan pada daftar hadir suatu kegiatan. Hal yang paling umum dilakukan lainnya adalah pemalsuan tanda tangan orang tua oleh anak untuk tujuan atau kepentingan sekolah entah karena alasan orang tua sedang bepergian ke luar kota atau karena takut meminta izin ikut kegiatan.
Namun, apa sebenarnya tanda tangan itu dan apa fungsinya. Tanda tangan merupakan bukti autentifikasi atau verifikasi identitas seseorang yang menjadi salah satu bukti keaslian atau keabsahan adanya kesepakatan atau persetujuan pada suatu hal dalam sebuah dokumen yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau lebih.
Ancaman hakim MK hendak melapor ke polisi sebenarnya sekadar menakut-nakuti para pemohon supaya lebih serius dalam membuat permohonan. Sebab, meskipun MK tidak dirugikan secara materiil dengan pemalsuan tanda tangan tersebut, tindakan itu lebih condong pada contempt of court.
Dalam dunia yang mengalami sebuah transformasi menuju era digital, tanda tangan elektronik menjadi sebuah kebutuhan.
Bagaimana dengan pemalsuan tanda tangan? Pemalsuan tanda tangan termasuk dalam bentuk pemalsuan surat yang dapat dijerat dengan Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pelaku pemalsuan tanda tangan dapat dijerat dengan pidana penjara enam tahun.
Namun, apakah semua pemalsuan tanda tangan bisa dipidana mengingat hal tersebut terkadang lazim dilakukan? Ada pendapat bahwa pemalsuan tanda tangan hanya bisa dipidana apabila yang dipalsukan adalah terkait surat-surat penerbitan hak, perjanjian (utang piutang, jual beli, sewa, dan sejenis), pembebasan utang (kuitansi, cek, dan lainnya), surat yang dapat digunakan sebagai keterangan atas suatu peristiwa (buku kas, surat tanda kelahiran, dan lainnya). Semua dokumen tersebut berkaitan dengan hak orang lain sehingga ketika dipalsukan dapat menimbulkan kerugian.
Lantas, apakah MK bisa melaporkan pemohon yang memalsukan tanda tangan ke pihak berwajib? Direktur Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Indonesia yang juga pengajar di Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Wiwik Budi Wasito, mengungkapkan, MK bisa saja melaporkan pemalsuan tanda tangan tersebut. Alasannya, dianggap menghina pengadilan dan ada unsur penipuan.
Namun, ia berpandangan, ancaman hakim MK hendak melapor ke polisi sebenarnya sekadar menakut-nakuti para pemohon supaya lebih serius dalam membuat permohonan. Sebab, meskipun MK tidak dirugikan secara materiil dengan pemalsuan tanda tangan tersebut, tindakan itu lebih condong pada contempt of court.
”Menghina lembaga peradilan dan tidak sesuai prosedur atau ketentuan hukum acara, khususnya perihal tata cara pengajuan permohonan,” ungkapnya.
Jadi, sebaiknya jika berperkara ke pengadilan, persiapan harus dilakukan secara matang. Jangan sampai perkara terhenti karena alasan teknis administratif, seperti tidak sempat meminta tanda tangan pemohon sehingga terpaksa memalsukannya.