Diduga Terima Gratifikasi, Suharso Monoarfa Kembali Dilaporkan ke KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi telah menerima laporan dugaan penerimaan gratifikasi oleh Suharso Monoarfa. PPP menilai, laporan itu seperti kaset rusak yang diputar saat dibutuhkan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa kembali dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dugaan penerimaan gratifikasi. Kali ini dugaan gratifikasi yang dilalorkan berupa fasilitas jet pribadi dari kolega serta kejanggalan harta kekayaan.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dihubungi di Jakarta, Jumat (15/7/2022), mengungkapkan, KPK telah menerima laporan dugaan gratifikasi yang diterima Suharso. ”Setelah kami cek, benar telah diterima oleh bagian pengaduan. Kami segera verifikasi dan telaah lebih dahulu oleh tim pengaduan masyarakat KPK,” kata Ali.
Ali menjelaskan, tidak ada batas waktu proses verifikasi dan telaah. Namun, pelapor bisa bertanya langsung ke KPK terkait sejauh mana tindak lanjut laporannya.
Sebelumnya, pada tahun 2020 lalu, Suharso dilaporkan dengan kasus yang sama, yakni dugaan korupsi penerimaan gratifikasi bantuan carter pesawat jet pribadi saat kunjungan kerja ke Medan dan Aceh pada Oktober 2020 serta ke Semarang pada November 2020. Menurut Ali, KPK telah memberi tanggapan atas pelaporan tersebut kepada pihak pelapor sesuai mekanisme dan ketentuan.
KPK telah menerima laporan dugaan gratifikasi yang diterima Suharso.
Berdasarkan tanda bukti penerimaan laporan/informasi pengaduan masyarakat yang diterima harian Kompas, laporan tersebut dibuat oleh Ketua Indonesia Youth Community Network (IYCN) Fadli Rumakefing pada Kamis (14/7/2022). Saat dikonfirmasi, Fadli membenarkan laporan tersebut.
Dalam laporannya, Fadli melampirkan sejumlah bukti foto perjalanan Suharso di Aceh pada 17 Oktober 2020, Sulawesi Selatan, pada 25 Oktober 2020, Riau pada 29 Mei 2021, Kalimantan Timur pada 30 Mei 2021, dan perjalanan dari Surabaya ke Jakarta pada 31 Mei 2021. Selain foto, dilampirkan pula manifes penumpang perjalanan Suharso.
Fadli menyampaikan, Suharso yang saat itu menjabatMenteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Pelaksana Tugas Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP)diduga menerima gratifikasi dari kawan-kawannya berupa fasilitas pesawat jet pribadi dalam kegiatan kunjungan ke beberapa daerah, di antaranya ke Medan dan Aceh pada Oktober 2020.
Kemudian, pada 3 November 2020, Suharso melakukan kunjungan kerja ke Semarang yang diduga menggunakan pesawat khusus PK Hawker. Perjalanan tersebut diduga bukan untuk kunjungan kerja, melainkan datang ke acara pertemuan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP seluruh Indonesia. Dalam kunjungan ke Semarang, Suharso diduga menggunakan fasilitas negara untuk datang ke acara partai dan menggunakan pesawat khusus yang diduga merupakan gratifikasi. Dugaan gratifikasi ini telah dilaporkan oleh kader PPP, Nizar Dahlan, pada 5 November 2020 ke KPK.
Setelah terpilih menjadi Ketua Umum PPP, Suharso berkali-kali melakukan kunjungan ke beberapa daerah pada 2021 sampai Mei 2022. Di antaranya, pada 29-30 Mei 2021 melakukan perjalanan ke Riau, Kalimantan Timur, Surabaya, dan kembali ke Jakarta. Kemudian, pada 5 Maret 2022 melakukan perjalanan dari Jakarta ke Pekanbaru.
Selain dugaan gratifikasi, Suharso juga diduga memiliki harta kekayaan yang janggal. Berdasarkan data elhkpn.kpk.go.id, Suharso melaporkan jumlah harta kekayaannya sebesar Rp 3,235 miliar pada 29 Desember 2003. Selanjutnya pada 2018 harta kekayaan Suharso turun menjadi Rp 84,279 juta, tetapi kemudian melonjak menjadi Rp 73,064 miliar pada 2021.
Pada 2019 dan 2020 sejumlah harta kekayaan yang dilaporkan oleh Suharso dalam LHKPN juga dilaporkan oleh istrinya, Nurhayati Effendi. Menurut Fadli, hal ini memperlihatkan kejanggalan yang terjadi sejak 2018 dan tidak diproses secara tegas serta transparan oleh KPK.
”Bahwa untuk meneliti kebenaran LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) Suharso Monoarfa, adalah merupakan kewajiban hukum KPK. Akan tetapi, KPK tidak melakukan dengan benar dan transparan sehingga buat apa KPK mengumpulkan LHKPN dari semua penyelenggara negara kalau hanya jadi koleksi daftar harta kekayaan para pejabat itu,” tulis Fadli dalam surat laporannya.
Terkait dengan laporan dugaan penerimaan gratifikasi berupa fasilitas jet pribadi, Sekretaris Jenderal PPP M Arwani Thomafi menuturkan, tuduhan tersebut seperti kaset lama yang diputar diulang-ulang terus-menerus. Kaset terus diputar saat diperlukan. Karena itu, PPP yakin tidak ada masalah terhadap laporan dugaan penerimaan gratifikasi fasilitas jet pribadi itu. Adapun terkait dengan langkah hukum apa yang akan dilakukan setelah laporan tersebut, Arwani tak mau menjelaskan secara rinci.
”Saat ini, kaset itu diputar kembali sebagai rentetan dari operasi yang dalam dua bulan terakhir ini terutama soal kepemimpinan Ketua Umum PPP,” ujar Arwani, singkat.