Konsensus Semu Pengawas Perlindungan Data Pribadi
Sekalipun sudah ada kesepakatan tentang otoritas pengawas data pribadi, tidak serta-merta pembahasan RUU PDP selesai. DPR malah memutuskan untuk kembali memperpanjang masa pembahasan RUU PDP.
Dalam sebuah rapat tertutup pada akhir Juni 2022, Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi atau RUU PDP sepakat untuk menyerahkan pembentukan otoritas perlindungan data ke tangan presiden. Kesepakatan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat itu diklaim telah mengakhiri perdebatan panjang yang selalu berakhir kebuntuan sepanjang dua tahun terakhir.
”Itu merupakan jalan tengah. Solusi yang terbaik, disetujui oleh semua, termasuk pemerintah,” kata anggota Panitia Kerja (Panja) RUU PDP Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP), TB Hasanuddin, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (13/7/2022).
Jalan tengah yang dimaksud adalah kesepakatan antara pemerintah dan DPR ihwal kedudukan pengawas perlindungan data pribadi. Pembentuk undang-undang disebut telah bersepakat menyerahkan pembentukan otoritas pengawas tersebut ke tangan presiden. Presiden diberikan wewenang menunjuk pengawas, bisa dari kementerian atau lembaga yang sudah ada, dapat pula membentuk badan baru yang nantinya ditetapkan melalui peraturan presiden (perpres).
Sejak pertama kali dibahas pada Juli 2020, pembahasan RUU PDP mandek hingga saat ini. Selama sembilan masa persidangan, pemerintah dan DPR tak kunjung berhasil menyepakati ketentuan mengenai otoritas pengawas perlindungan data pribadi. Sebab, delapan dari sembilan fraksi di DPR menginginkan pengawasan dilakukan oleh lembaga independen.
Hanya Fraksi Partai Nasdem yang satu suara dengan pemerintah. Fraksi Nasdem mendukung kedudukan otoritas pengawas PDP di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kebetulan saat ini, Kemenkominfo dipimpin Jhonny G Plate yang juga merupakan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem.
”Deadlock, karena semua fraksi kecuali Fraksi Nasdem meminta agar badan ini (otoritas perlindungan data) merupakan badan yang independen. Tidak di bawah kementerian yang menterinya dari parpol, supaya dia netral dan tidak dimanfaatkan. Kalau di bawah menteri, menterinya, kan, bisa partisan di bawah parpol,” kata Hasanuddin.
Baca juga : Substansi RUU PDP Akan Dibahas secara Maraton Pekan Depan
F-PDIP berpandangan, menempatkan pengawas perlindungan data di bawah kementerian yang dipimpin oleh petinggi parpol amatlah riskan. Sebab, menjelang Pemilu 2024, ada berbagai modus yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan data demi kepentingan elektoral pihak tertentu. Apalagi, literasi publik tentang keamanan data pribadi belum merata. Masih banyak warga yang membiarkan data pribadinya terekspos di mana-mana sehingga rentan dimanfaatkan pihak tertentu untuk berbagai macam kepentingan, tidak terkecuali politik elektoral.
Kepentingan politik elektoral inilah yang dikhawatirkan F-PDIP dan menjadi pijakan utama untuk menolak otoritas pengawas data pribadi di bawah kementerian. ”Saya ini, kan, orang intelijen. Tahulah kalau si A ini paling tidak mengirimkan ucapan selamat ulang tahun, sehingga memunculkan simpati, kan, begitu,” ujar purnawirawan jenderal bintang dua TNI Angkatan Darat tersebut.
Di tengah perdebatan itu, kata Hasanuddin, DPR mengusulkan untuk mengembalikan wewenang pembentukan otoritas pengawas perlindungan data pribadi kepada presiden. Otoritas itu nantinya bertanggung jawab langsung kepada presiden. Diharapkan presiden menunjuk pejabat dari kalangan aparatur sipil negara untuk memimpin lembaga tersebut.
Namun, usulan tersebut tidak serta-merta diterima, terutama oleh pemerintah. Dalam berbagai rapat, baik yang diselenggarakan di parlemen maupun di hotel-hotel secara tertutup, ide itu kerap dibicarakan, kemudian menggantung di akhir pertemuan. Lalu dibahas kembali di pertemuan berikutnya, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Salah satu perdebatan yang berlangsung alot adalah sifat lembaga yang bertanggung jawab terhadap presiden atau bertanggung jawab langsung kepada presiden.
”Setelah proses tarik ulur berbulan-bulan, akhirnya disepakati dalam bentuk draf. Dari situ disimpulkan bahwa pemerintah juga sepakat diserahkan kepada presiden,” kata Hasanuddin.
Anggota Panja RUU PDP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), Sukamta, membenarkan, kesepakatan tentang kedudukan otoritas perlindungan data telah melalui diskusi panjang dan intensif. Baik pemerintah maupun DPR telah mengeksplorasi semua kemungkinan dan menyimulasikannya.
Secara garis besar, ada dua kutub pemikiran, yakni yang menginginkan lembaga independen dengan pimpinan komisioner. Sementara yang lain menginginkan lembaga yang dikelola oleh kementerian.
F-PKS tidak yakin bahwa pengawasan di bawah kementerian akan berjalan efektif. Berdasarkan data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), sudah terjadi kebocoran pada 80 persen lembaga publik pengelola data. Selama ini, kebocoran terus-menerus terjadi dan tidak ada orang atau lembaga yang dijatuhi sanksi akibat peristiwa tersebut.
Karena itu, F-PKS akhirnya menyetujui ide untuk menyerahkan pembentukan otoritas perlindungan data kepada presiden. Saat ini, pihaknya akan menunggu bentuk lembaga seperti apa yang akan dibuat melalui perpres. ”Itu (memang) bukan (yang) paling ideal, tetapi itu hasil kompromi yang bisa dicapai dari berbagai perspektif yang ada,” kata Sukamta.
Anggota Panja RUU PDP dari Fraksi Partai Demokrat (F-PD), Rizki Aulia Rahman Natakusumah, mengatakan, sejak awal fraksinya menolak konsep yang ditawarkan pemerintah, yakni membentuk lembaga perlindungan data di bawah kementerian. Ide tersebut dipandang dapat mencederai obyektivitas penegakan perlindungan data pribadi untuk semua jenis pengendali data, termasuk badan publik.
Bagi F-PD, otoritas perlindungan data harus menjalankan tugas secara obyektif karena tak hanya bertanggung jawab mengawasi pengendali data swasta, tetapi juga publik. Adapun karena sifatnya yang dekat dengan eksekutif dan Indonesia menerapkan sistem presidensial, lembaga PDP sudah sepatutnya bertanggung jawab kepada presiden. Skema tersebut dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan sehingga kinerja lembaga bisa tetap sesuai dengan prinsip perlindungan data yang adil dan tidak bisa diintervensi, termasuk oleh pemerintah.
”Maka, kompromi politik yang terjadi pada saat ini adalah bagaimana menemukan titik temu agar DPR dan pemerintah bisa menyelesaikan RUU PDP yang sudah ditunggu-tunggu banyak pihak,” kata Rizki.
Fraksi Nasdem juga akhirnya menyepakati jalan tengah itu. ”Nasdem sepakat menyerahkan pembentukan pengawas perlindungan data pribadi kepada presiden,” ujar M Farhan, anggota Panja RUU PDP dari Fraksi Nasdem.
Menyerahkan pembentukan otoritas pengawas perlindungan data pribadi kepada presiden tidak akan bisa menyelesaikan masalah yang selama ini diperdebatkan. Jalan tengah itu justru bisa menimbulkan persoalan baru di kemudian hari.
Persetujuan Nasdem berangkat dari ketentuan bahwa presiden akan menunjuk kementerian atau lembaga negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, pihak yang ditunjuk nantinya memiliki otoritas atau kewenangan yang memadai untuk menjalankan tugasnya.
Bukan solusi
Kepala Lembaga Riset Keamanan Siber CISSRec, Pratama Persadha, mengatakan, menyerahkan pembentukan otoritas pengawas perlindungan data pribadi kepada presiden tidak akan bisa menyelesaikan masalah yang selama ini diperdebatkan. Jalan tengah itu justru bisa menimbulkan persoalan baru di kemudian hari.
Baca juga : Melekat dengan Kehidupan Sehari-hari, RUU PDP Harus Segera Disahkan
Sebab, lembaga pengawas semestinya dibentuk berdasarkan undang-undang, bukan perpres. Hal itu seiring dengan semangat kelahiran RUU PDP, yakni membentuk regulasi yang kuat dan tidak ambigu sehingga bisa menjalankan fungsinya secara optimal. Salah satunya mengatur kewajiban bagi korporasi dan lembaga negara dalam mengamankan dan mengatur data pribadi yang dikelola.
Sementara itu, lembaga yang dibentuk dengan perpres tidak memiliki kewenangan kuat. Contohnya, BSSN yang tidak memiliki kewenangan kuat untuk menjalankan fungsi pengawasan. ”Otoritas pengawas PDP merupakan ujung tombak UU PDP itu sendiri sehingga harus ditempatkan di posisi setinggi mungkin agar bisa menjalankan amanat undang-undang dengan maksimal,” kata Pratama.
Selain itu, sekalipun sudah ada kesepakatan tentang otoritas pengawas, hal itu tidak serta-merta menuntaskan pembahasan RUU PDP. Buktinya, dalam rapat paripurna penutupan masa persidangan V tahun sidang 2021-2022 pada 7 Juli lalu, DPR sepakat untuk kembali memperpanjang masa pembahasan RUU PDP.
Christina Aryani, anggota Panja RUU PDP dari Fraksi Partai Golkar, mengatakan, belum semua poin dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU PDP tuntas dibahas. Masih ada isu krusial yang memerlukan pembahasan, yakni terkait sanksi administrasi dan pidana untuk penyelewengan data pribadi. Namun, ia meyakini pembahasannya tidak membutuhkan waktu lama. ”Seharusnya dengan satu masa sidang lagi bisa ter-cover semua,” ujarnya.
Lantas, apakah kompromi politik DPR dan pemerintah benar-benar akan jadi jalan keluar bagi pembahasan RUU PDP?