Substansi RUU PDP Akan Dibahas secara Maraton Pekan Depan
Menurut rencana, pembahasan mengenai substansi daftar inventarisasi masalah RUU PDP akan dilakukan pada 13-25 Juni. Selama itu, panitia kerja DPR dan pemerintah akan maraton membahas mengenai substansi RUU PDP.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya mencari titik temu mengenai posisi badan atau otoritas pengawas perlindungan data pribadi terus dilakukan oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Sejak 23 Mei 2022, pembahasan panitia kerja masih difokuskan pada perbaikan redaksional dan bahasa hukum dalam daftar inventarisasi masalah, tetapi belum menyentuh pokok persoalan mengenai posisi badan pengawas.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU PDP dari Fraksi Nasdem, M Farhan, menuturkan, pembahasan mengenai substansi dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU PDP baru akan dilakukan pekan depan, pada 13-25 Juni. Selama dua pekan itu, Panja DPR dan pemerintah akan secara maraton membahas mengenai substansi RUU PDP, termasuk mencari titik temu posisi badan pengawas PDP. Rapat panja kemungkinan dilakukan dalam bentuk rapat konsinyasi.
”Pembahasan substansi baru masuk setelah 13 Juni. Pembahasan sebelumnya, sampai hari ini (Rabu, 8/6/2022), masih membahas mengenai titik, koma, bahas hukum, dan redaksional pengundangan. Pembahasan mengenai redaksional ini dilakukan oleh tim khusus yang beranggotakan satu orang perwakilan dari tiap-tiap fraksi,” kata Farhan saat ditemui di sela-sela pembahasan Panja RUU PDP yang berlangsung secara tertutup, Rabu (8/6/2022), di Jakarta.
Terkait dengan posisi badan pengawas PDP, Farhan mengatakan, saat ini masih menggantung. Di DPR masih terdapat perbedaan pendapat mengenai bagaimana seharusnya posisi badan tersebut. Fraksi Nasdem, misalnya, menilai sebaiknya badan itu memang di bawah kewenangan pemerintah, termasuk jika diatur di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Namun, fraksi-fraksi lain sebagian besar menghendaki agar posisi badan itu independen. Sementara itu, pemerintah menginginkan badan itu berada di bawah Kemenkominfo.
Namun, Farhan mengatakan, sudah ada kemauan dari pemerintah dan DPR untuk kembali mencari titik temu dalam pembahasan RUU PDP sehingga diharapkan RUU ini dapat tuntas sesegera mungkin. ”Paling lambat dalam pembukaan masa sidang berikutnya, Agustus 2022, RUU ini dapat dibawa ke paripurna untuk disahkan,” ucapnya.
Anggota Panja RUU PDP dari Fraksi Partai Gerindra, Yan Permenas Mandenas, mengatakan, fraksinya menginginkan agar posisi badan pengawas itu independen dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Tidak menutup kemungkinan dibentuk lembaga atau badan baru yang menjalankan peran itu dan bertanggung jawab kepada presiden.
”Yang jelas tegak lurus di bawah presiden. Tidak boleh di bawah BSSN (Badan Siber dan Sandi Negara), harus tegak lurus di bawah presien. Harus lembaga sendiri, harapannya begitu. Namun, bagaimana finalisasinya nanti menunggu rapat-rapat minggu depan,” ucap Yan.
Sudah ada kemauan dari pemerintah dan DPR untuk kembali mencari titik temu dalam pembahasan RUU PDP sehingga diharapkan RUU ini dapat tuntas sesegera mungkin.
Sebelumnya, pimpinan Komisi I DPR dan sejumlah fraksi sempat mengemukakan kajian mengenai kemungkinan peran badan tersebut dirangkap oleh BSSN. Namun, usulan itu masih harus disimulasikan dan dibicarakan lebih lanjut dengan pemerintah.
Anggota Panja RUU PDP dari Fraksi Golkar, Christina Aryani, mengatakan, upaya memberikan peran dan kewenangan pengawasan PDP kepada BSSN itu merupakan salah satu jalan tengah yang berupaya dilakukan di tengah kebuntuan mengenai posisi badan pengawas itu. Pertimbangannya, BSSN selama ini juga memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) di bidang keamanan siber. Ketika terjadi permasalahan kebocoran data, misalnya, BSSN juga memberikan keterangan di dalam penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian.
Namun, Christina mengatakan, praktik di negara lain, badan pengawas PDP memang independen, dan perannya tidak dirangkap oleh badan lain. ”Exercise pendayagunaan BSSN lebih kepada itikad baik kami di DPR untuk mencari solusi agar RUU PDP bisa diundangkan jika memang presiden tidak menginginkan pembentukan lembaga baru,” katanya.
Sementara itu, anggota Panja RUU PDP dari Fraksi Partai Demokrat, Rizki Aulia Rahman Natakusumah, mengatakan, idealnya bentuk otoritas pengawasan PDP adalah independen. Namun, dalam rangka mencari titik temu dengan pandangan pemerintah, fraksinya bersedia mendengarkan argumentasi pemerintah dan mencari titik kesamaan yang dapat diterima oleh semua pihak. Paling tidak yang dapat disepakati ialah otoritas PDP itu bertanggung jawab kepada presiden, apakah badan sendiri atau di dalam instansi pemerintahan lainnya itu akan dibicarakan lebih lanjut.
”Kami mendengarkan masukan kalau membentuk badan baru, nanti dikhawatirkan akan berdampak pada anggaran negara. Namun, di sisi lain juga ada masukan agar badan itu merupakan lembaga baru. Ini yang berusaha dicari titik terangnya,” katanya.
Lindungi subyek data
Namun, terlepas dari posisi badan otoritas itu, lanjut Rizki, substansi RUU PDP ini harus dapat melindungi hak subyek data, dan memastikan transfer data dari dalam ataupun luar negeri dapat berjalan aman, tanpa harus membenturkan dengan kepentingan investasi.
”Kita juga harus memastikan setelah RUU PDP ini disahkan, pengawasan dan pelaksanaannya harus dijalankan secara obyektif,” katanya.
Dikonfirmasi secara terpisah setelah rapat kerja dengan Komisi I DPR, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, pemerintah menyambut baik rencana rapat maraton yang akan dilakukan Panja RUU PDP untuk menuntaskan RUU tersebut, pekan depan. ”Kami berharap semangat yang tinggi, serta komitmen dan sikap-sikap politik itu mengutamakan dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara,” katanya.
Bagi Indonesia sendiri, pengesahan RUU PDP ini menjadi penting karena saat ini Indonesia memegang Presidensi G20. Salah satu agenda di dalam kelompok kerja ekonomi digital G20 ialah cross border data flows (arus data lintas negara). Untuk dapat melakukan prioritas agenda itu, Indonesia memerlukan pengaturan yang kuat mengenai perlindungan data pribadi.
”Kalau kita memiliki UU PDP, tentu akan lebih membantu tata kelola data, yang tidak terbatas pada data di dalam negeri, tetapi juga data lintas negara atau cross border data flows,” ucap Plate.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan, pemerintah menyambut baik rencana rapat maraton yang akan dilakukan Panja RUU PDP untuk menuntaskan RUU tersebut.
Secara umum, RUU PDP ini sangat dibutuhkan untuk melakukan tata kelola data pribadi secara digital sehingga data warga negara Indonesia ini harus dilindungi dengan baik melalui regulasi yang kuat.
Pemerintah pun optimistis RUU PDP tersebut dapat diselesaikan pembahasannya di dalam masa sidang kali ini. Sesuai jadwal, masa sidang kali ini akan berakhir pada 7 Juli 2022.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar mengatakan, keberadaan UU PDP yang komprehensif merupakan prasyarat penting untuk menyokong ekonomi digital, khususnya untuk membangun kepercayaan (trust) dalam arus data lintas negara.
”Dalam amanah Kepresidenan G20, Indonesia seharusnya perlu menunjukkan kredibilitas dan reputasi yang baik. Terlebih, bila dibandingkan dengan negara‐negara G20 lainnya, Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara yang belum memiliki legislasi PDP yang komprehensif, dengan diawasi oleh sebuah Otoritas PDP yang independen,” katanya.
Oleh karena itu, agar memiliki legislasi PDP yang setara dengan negara-negara G20 lainnya, selain perlu akselerasi pembahasan RUU PDP agar dapat selesai sebelum pertemuan G20, menurut Wahyudi, penting juga memastikan hadirnya otoritas PDP yang independen.
”Meletakkan Otoritas PDP di bawah kementerian, sebagaimana usulan Kominfo, bukanlah opsi terbaik. Pengalaman dua negara G20, Jepang dan Korea Selatan, pada akhirnya harus melakukan amendemen terhadap UU PDP mereka, untuk kemudian membentuk otoritas PDP yang independen. Hal itu dapat menjadi contoh bagi Indonesia, untuk sedari awal mendesain efektivitas UU PDP,” ucapnya.