Mayoritas Responden Tak Tahu Rencana Pengesahan RKUHP, Pemerintah dan DPR Didorong Gencarkan Sosialisasi
Hasil jajak pendapat ”Kompas pada akhir Juni 2022 didapati, mayoritas responden (89,3 persen) mengaku tidak tahu soal rencana pengesahan RKUHP. Pemerintah dan DPR tak hanya sosialisasi, tetapi juga harus libatkan publik.
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar publik belum mengetahui rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Hal ini patut menjadi cerminan bagi pemerintah dan DPR untuk semakin menggencarkan sosialisasi rancangan undang-undang tersebut kepada publik.
Terhadap hal tersebut, pemerintah dan DPR sepakat untuk membahas secara terbatas 14 isu krusial dalam RKUHP. Namun, kelak, jika RKUHP sudah disahkan dan masih ada yang mengganjal, pemerintah mempersilakan publik mengujinya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagaimana hasil jajak pendapat yang diselenggarakan akhir Juni 2022, mayoritas responden (89,3 persen) mengaku tidak tahu soal rencana pengesahan RKUHP. Ini lebih buruk dibandingkan dengan hasil jajak pendapat setahun lalu, di mana sekitar 80 persen responden mengaku tidak tahu tentang rencana pembahasan RKUHP.
Baca juga : Pembahasan RKUHP Dinilai Masih Belum Libatkan Partisipasi Publik
Guru Besar Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho saat dihubungi di Jakarta, Senin (11/7/2022), mengatakan, hasil jajak pendapat ini harus dilihat sebagai cermin bahwasanya masih ada sesuatu yang harus disosialisasikan terkait RKUHP kepada masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus semaksimal mungkin membuka masukan dari masyarakat, terutama terkait pasal-pasal yang masih memunculkan problem di masyarakat.
”Teorinya, hukum itu untuk masyarakat, bukan hukum untuk hukum sehingga hukum itu harus betul-betul sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat. Masyarakat harus dilihat sebagai bentuk kontrol.”
”Teorinya, hukum itu untuk masyarakat, bukan hukum untuk hukum sehingga hukum itu harus betul-betul sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat. Masyarakat harus dilihat sebagai bentuk kontrol,” ujar Hibnu.
Berdasarkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Juni 2022, 70,7 persen responden berargumen masih ada beberapa pasal yang mengganjal sebagai alasan menolak pengesahan RKUHP. Pasal-pasal yang dinilai bermasalah, seperti pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218) dan penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 240, 241).
Pasal-pasal tersebut, termasuk Pasal 246-248 tentang larangan penghasutan untuk melawan penguasa umum, yang dinilai akan menambah sempit ruang bagi kebebasan berpendapat di Indonesia. Terlebih lagi, definisi dari tindak pidana yang ada dalam pasal-pasal tersebut masih abu-abu sehingga rawan menimbulkan kriminalisasi.
Hibnu menilai, bisa saja pasal-pasal yang dianggap bermasalah oleh publik itu diakibatkan oleh perbedaan sudut pandang. Untuk itu, dalam RKUHP nanti, pemerintah dan DPR harus mampu menjelaskannya secara rigid agar kelak tidak menimbulkan multitafsir apalagi pasal karet.
“Jadi, jangan menyisakan ruang abu-abu sehingga rawan dikriminalisasi. Apa pun yang terjadi, rakyat pernah ada suatu kekhawatiran dan kekhawatiran itu sudah terjadi, sehingga jangan sampai kekhawatiran itu muncul kembali dengan adanya RKUHP yang baru. Jadi, disamakan dulu persepsinya dengan masyarakat. Kalau memang keliru, ya, bisa diselaraskan. Konsep hukum secara jelas sangat dinanti”
Misalnya, terkait pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, atau penghinaan terhadap pemerintah, menurut Hibnu, konsep penghinaan itu juga harus ditafsirkan secara jelas. Selain itu, konsep kritik juga dirincikan. Jangan sampai kritik justru nanti ditafsirkan sebagai penghinaan.
“Jadi, jangan menyisakan ruang abu-abu sehingga rawan dikriminalisasi. Apa pun yang terjadi, rakyat pernah ada suatu kekhawatiran dan kekhawatiran itu sudah terjadi, sehingga jangan sampai kekhawatiran itu muncul kembali dengan adanya RKUHP yang baru. Jadi, disamakan dulu persepsinya dengan masyarakat. Kalau memang keliru, ya, bisa diselaraskan. Konsep hukum secara jelas sangat dinanti,” kata Hibnu.
Abai lagi
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto, sependapat dengan Hibnu, hasil jajak pendapat Litbang Kompas seyogianya dijadikan refleksi bagi DPR dan pemerintah untuk memperkuat proses sosialisasi terkait RKUHP di tengah masyarakat. Ia melihat, konsultasi publik itu masih sangat minim.
“Saya saja di perguruan tinggi, misal di Malang, tidak ada diseminasi untuk RKUHP pasca-tahun lalu. Tak ada sama sekali,” tutur Aan.
“Saya saja di perguruan tinggi, misal di Malang, tidak ada diseminasi untuk RKUHP pasca-tahun lalu. Tak ada sama sekali”
Padahal, ia mengingatkan, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana pernah diingatkan oleh MK dalam putusan uji formil terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, asas partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful participation) harus dikedepankan. Namun, yang terjadi, dalam pembentukan RKUHP, DPR dan pemerintah lagi-lagi abai dengan asas tersebut.
“Publik yang tidak mengakses media, tidak akan pernah tahu informasi mengenai pengesahan RKUHP ini nanti. Ini yang saya khawatirkan justru menjadi salah satu memenuhi unsur yang dimaksudkan MK terkait meaningful participation,” ucap Aan.
“Publik yang tidak mengakses media, tidak akan pernah tahu informasi mengenai pengesahan RKUHP ini nanti. Ini yang saya khawatirkan justru menjadi salah satu memenuhi unsur yang dimaksudkan MK terkait meaningful participation,”
Jika DPR dan pemerintah tetap menutup ruang partisipasi publik itu, Aan menuturkan, masyarakat tentu akan berjuang lewat jalur konstitusional lewat uji formil maupun uji materiil di MK. Namun, seharusnya, proses itu tidak dibutuhkan jika DPR dan pemerintah sudah maksimal membentuk UU sejak masih di rancangan.
“Rakyat diajak bicara yang masif, turun lagi pemerintah. Apalagi, Kementerian Hukum dan HAM, kan juga punya kantor wilayah di provinsi-provinsi, cobalah diberdayakan untuk mendengar suara masyarakat dan beri penjelasan ke masyarakat, turun ke bawah, ke kabupaten, kota, hingga tingkat kecamatan. Itu lebih menyentuh. Sebab, mereka yang menjadi obyek pengaturan RKUHP ini nanti,” papar Aan.
Pembahasan terbatas
Menangapi hasil jajak pendapat Litbang Kompas, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej menjelaskan, RKUHP sudah ada sejak tahun 1963 dan sudah berkali-kali dibahas. Adapun, RKUHP sekarang juga sudah dibahas tuntas pada periode 2014-2019 dan sudah melibatkan partisipasi publik. Bahkan, daftar inventarisasi masalah (DIM) pada saat itu berasal dari masyarakat sipil.
“Jadi, tidak benar kalau pemerintah dan DPR tidak melibatkan publik. Kami punya dokumentasi sebagai bukti yang sangat lengkap perihal partisipasi publik saat pembahasan periode 2014-2019”
“Jadi, tidak benar kalau pemerintah dan DPR tidak melibatkan publik. Kami punya dokumentasi sebagai bukti yang sangat lengkap perihal partisipasi publik saat pembahasan periode 2014-2019,” ujar Edward.
Publik, lanjut Edward, harus memahami bahwa pembahasan RKUHP kali ini bersifat luncuran (carryover). Artinya, RKUHP tersebut tidak akan dibahas dari ulang tetapi hanya terbatas pada 14 isu krusial atau yang masuk dalam pending issues.
“Dalam pembahasan RKUHP yang telah disempurnakan setelah 16 Agustus 2022, pemerintah dan DPR pasti melibatkan publik,” kata Edward.
Ke-14 isu yang menjadi pending issues meliputi, hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), pidana mati, penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden, menyatakan diri dapat melakukan tindakan pidana karena memiliki kekuatan gaib, hingga dokter atau dokter gigi yang melaksanakan tugasnya tanpa izin.
Merendahkan lembaga peradilan (contempt of court), unggas yang merusak kebun yang ditaburi benih, advokat yang curang, penodaan agama, penganiayaan hewan, alat pencegah kehamilan dan pengguguran kandungan, penggelandangan, dan pengguguran kandungan juga termasuk di dalamnya. Selain itu, isu krusial juga termasuk tindak pidana kesusilaan yang menyangkut perzinaan, kohabitasi, dan pemerkosaan.
Baca Juga: Buka Partisipasi Publik Bermakna dalam Pembahasan RKUHP di DPR
Edward menegaskan, RKUHP akan disahkan. Apabila masih ada hal yang mengganjal dari RUU itu, ia mempersilakan publik untuk mengujinya, baik uji materiil maupun formil, ke MK. “Tidak perlu apriori dengan MK. Buktinya UU Cipta Kerja juga dibatalkan jika dua tahun tidak diperbaiki,” ucapnya.
“Kami akan dengar masukan mereka (unsur masyarakat) bagaimana, termasuk nanti ada tahapan terakhir itu sosialisasi, apa sih yang ditolak itu? Nanti perlu jadi perhatian DPR untuk bisa menampung masukan masyarakat”
Wakil Ketua DPR Lodewijk F Paulus menambahkan, dalam proses pembuatan UU, pelibatan masyarakat menjadi hal yang tak terpisahkan. Untuk itu, jika nanti dilihat masih ada kontroversi mengenai substansi RKUHP, pihaknya akan membuat diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion) dengan mengundang unsur masyarakat.
“Kami akan dengar masukan mereka (unsur masyarakat) bagaimana, termasuk nanti ada tahapan terakhir itu sosialisasi, apa sih yang ditolak itu? Nanti perlu jadi perhatian DPR untuk bisa menampung masukan masyarakat,” kata Lodewijk.
Ia pun berjanji, dalam pembahasan 14 isu krusial nanti, DPR tidak akan tergesa-gesa sehingga publik masih bisa memberikan masukan terhadap isu-isu tersebut. “Mudah-mudahan sih tidak terburu-buru. Lagian, kan, tidak ada sesuatu yang urgen yang harus dikejar cepat-cepat,” ujarnya.