Empat tahun menjelang Pemilu 2024, PKS mengganti logo, mars, dan himne. Partai yang bermula dari gerakan dakwah kampus itu mencoba mengubah diri sebagai partai yang terbuka bagi semua golongan, termasuk anak muda.
Oleh
IQBAL BASYARI, DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Dentuman musik dari band Wali mengentak Istora Senayan, Jakarta, saat Partai Keadilan Sejahtera menggelar acara puncak milad ke-20, Minggu (29/6/2022). Ribuan kader dan simpatisan yang hadir secara langsung pun tak mampu menahan hasrat untuk bergoyang mengikuti irama pop melayu yang dibawakan sang vokalis, Faank, dan rekan-rekannya.
Pemandangan seperti ini belakangan kembali terlihat dalam beberapa kegiatan PKS. Hampir di setiap acara besar, ada pertunjukan musik yang ditampilkan oleh kader ataupun bintang tamu yang diundang. Bahkan, sejumlah kader milenial PKS membentuk kelompok musik Sound of Garuda Keadilan yang sering kali membawakan mars PKS.
PKS juga mengubah logo, mars, dan himne pada Musyawarah Nasional V PKS di Bandung, Jawa Barat, November 2020. Warna hitam yang pada mulanya menjadi latar bulir padi dan dua bulan sabit yang menjadi lambang PKS diubah menjadi oranye.
”Perubahan itu untuk merepresentasikan bahwa PKS sekarang visinya mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin (Islam sebagai rahmat bagi semesta alam),” kata Presiden PKS Ahmad Syaikhu dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum bertajuk ”PKS di Simpang Jalan” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (6/7/2022) malam.
Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, Syaikhu mengakui bahwa perubahan logo, mars, dan hymne merupakan bagian dari strategi pemasaran politik PKS. Perubahan dilakukan melalui kajian mendalam, bahkan sudah direncanakan sebelum PKS dipimpin oleh Sohibul Iman. Namun, rencana itu baru bisa direalisasikan saat Syaikhu menjadi Presiden PKS.
Penyegaran menjadi hal yang tak terelakkan karena PKS menargetkan perolehan suara sebesar 15 persen pada Pemilu 2024. Target itu hampir dua kali lipat dari perolehan PKS di Pemilu 2019 sebesar 8,21 persen suara sah nasional. Namun, jika ditarik pada empat kali pemilu sebelumnya sejak 2004, perolehan suara PKS belum pernah naik signifikan, bahkan cenderung stabil di kisaran 6,77 persen-8,21 persen.
Sementara dalam Survei Litbang Kompas pada 26 Mei-4 Juni 2022, elektabilitas PKS berada di 5,4 persen. Elektabilitas itu bahkan menurun dibandingkan survei di periode Januari 2022 yang mencapai 6,8 persen.
Perubahan-perubahan itu, lanjut Syaikhu, tak membuatnya kahwatir akan ditinggalkan pemilih tradisional. Pemilih PKS dinilai memiliki ikatan emosional yang kuat karena kader dan simpatisan terus-menerus melakukan pendekatan secara persuasif.
Meski demikian, PKS menyadari elektabilitas sulit naik jika tak memperluas ceruk pemilih. Itulah mengapa PKS berusaha memperluas segmentasi pemilih agar makin banyak masyarakat bisa dijangkau. ”Kami menyadari, Pemilu 2024 segmentasi anak muda begitu luas, lebih dari 50 persen yang akan memilih. Untuk itu, kami ingin mewacanakan anak muda jangan hanya menjadi obyek politik, tetapi sebagai subyek politik. Kami membuat panduan pemenangan dengan 30 persen caleg dari generasi muda,” katanya.
Di sisi lain, PKS juga mengejar efek ekor jas dari dukungan yang diberikan kepada calon presiden dan calon wakil presiden. Penjajakan koalisi terus dilakukan dengan berbagai parpol. Sebab, dengan ambang batas pencalonan presiden minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah pemilu sebelumnya, PKS jelas tak bisa mengusung calon presiden/calon wakil presiden sendiri.
Kami menyadari, Pemilu 2024 segmentasi anak muda begitu luas, lebih dari 50 persen yang akan memilih. Untuk itu, kami ingin mewacanakan anak muda jangan hanya menjadi obyek politik, tetapi sebagai subyek politik
Pendekatan salah satunya dilakukan ke Partai Nasdem. Pimpinan PKS sudah mengunjungi Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh pada Rabu (22/6). Selain itu, pada 22 April, petinggi PKS berkunjung ke Partai Demokrat. ”Bahkan, sudah ada komunikasi secara langsung antara Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Al Jufri,” ucap Syaikhu.
Hingga kini, pendekatan yang dilakukan PKS, Nasdem, dan Demokrat belum sampai pada tahap penentuan capres-cawapres. Mereka masih menyamakan platform dalam membangun Indonesia ke depan secara kolaboratif berbasis politik kebangsaan dan politik yang mempersatukan.
Uji materi
PKS sebenarnya mendorong munculnya lebih dari dua pasangan capres dalam Pemilu 2024. Karena itu, PKS berikhtiar menguji ketentuan ambang batas pencalonan presiden 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dua gugatan masing-masing diajukan oleh DPP PKS serta Ketua Majelis Syura PKS Salim Segaf Al Jufri, Rabu (6/7). Mereka ingin presidential threshold diturunkan menjadi 7-9 persen kursi DPR. Selain memenuhi aspirasi rakyat, uji materi juga diajukan karena PKS ingin memperkuat sistem demokrasi. PKS ingin mengurangi polarisasi di tengah masyarakat akibat hanya ada dua kandidat capres dan cawapres.
Kendati memiliki legal standing, PKS semestinya tak terlalu berharap banyak pada MK. Sebab, sehari setelah PKS mendaftarkan gugatan, MK menolak gugatan yang diajukan Partai Bulan Bintang (PBB) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Untuk ke-20 kalinya, MK menyatakan penentuan besar atau kecilnya presidential threshold merupakan kebijakan terbuka (open legal policy) yang menjadi ranah pembentuk undang-undang.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, mengingatkan, dalam beberapa putusan, MK menilai angka presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka. Karena itu, usulan PKS agar MK menurunkan presidential threshold 7-9 persen kursi DPR akan sulit dikabulkan.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengatakan, upaya PKS bergeser ke tengah sudah dimulai sejak 2009 ketika menarasikan PKS merupakan partai terbuka. Saat itu, PKS merekrut caleg non-Muslim, tetapi terbatas di tingkat DPRD kabupaten/kota dan DPRD provinsi. Namun, secara nasional, peluang itu belum dibuka. Bahkan, kepengurusan di tingkat pusat pun belum merepresentasikan perubahan tersebut.
Menurut Adi, ada kebingungan dalam level strategi pemasaran politik PKS. Di satu sisi, ceruk dari basis kelompok pemilih Muslim tidak signifikan dan tidak otomatis bergabung ke PKS.
Di sisi lain, perubahan PKS yang lebih ke tengah justru mempertaruhkan citra dan basis politik tradisional yang selama ini mendukung PKS. Kondisi itulah yang akhirnya membuat PKS terlihat setengah hati mengubah citra menjadi partai terbuka.