Pemerintah dan DPR dinilai terburu-buru membentuk tiga provinsi baru di Papua tanpa mendengarkan aspirasi rakyat.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jakarta dinilai telah meninggalkan Papua dengan dibentuknya tiga daerah otonom baru di Papua tanpa proses yang melibatkan seluas mungkin partisipasi rakyat Papua. Sebagian besar rakyat Papua melihat pemekaran ini didorong oleh kepentingan ekonomi Jakarta semata.
Dalam konferensi pers yang diadakan Koalisi Kemanusiaan Papua, Kamis (30/6/2022), Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menyampaikan, pembentukan tiga daerah otonom baru (DOB) di Papua tidak sesuai keinginan rakyat. Dasar dari DOB ini adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang juga dibuat tanpa banyak melibatkan partisipasi masyarakat.
”Dalam UU Otsus 2001 yang dulu (UU No 21/2001), perubahan UU Otsus harus diusulkan rakyat Papua lewat MRP dan DPRP,” kata Timotius.
Setelah terbit undang-undang itu, prosedur pemekaran di Papua diubah. Jika dalam UU No 21/2001 tentang Otsus Papua pemekaran daerah di Papua harus atas persetujuan MRP dan DPR Papua (DPRP), dalam UU No 2/2021 ada ayat tambahan yang membuat mekanisme persetujuan itu jadi tidak wajib dan pemekaran bisa dilakukan atas inisiatif pemerintah pusat dan DPR. ”Jadi, UU DOB ini adalah murni keinginan Jakarta, bukan rakyat Papua,” kata Timotius.
Ia juga menggarisbawahi, salah satu kekhususan Papua yang diakomodasi dalam UU Otsus 2001 adalah budayanya. Namun, tiga provinsi yang baru, yaitu Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan, tidak memedulikan susunan masyarakat adat berdasarkan wilayah. Justru pemisahan ini bisa menimbulkan konflik seperti yang sedang terjadi di Nabire dan beberapa lokasi lain.
Kemerosotan demokrasi
Usman Hamid dari Koalisi Kemanusiaan Papua mengatakan, RUU DOB dibuat ketika Indonesia tengah mengalami kemerosotan demokrasi. Ia mempertanyakan maksud di balik ketergesaan pembuatan RUU ini. Apalagi, saat ini tengah berlangsung gugatan atas UU Otsus 2021 oleh MRP dan DPRP.
”Kalau gugatan dikabulkan MK (Mahkamah Konstitusi), tiga provinsi baru ini jadi tidak legal dan ini bisa menimbulkan konflik lagi,” ujar Usman.
Menurut dia, pemekaran tiga provinsi ini tidak melalui studi yang cukup secara sosial budaya. Dari sisi ekonomi, peningkatan hanya ada di sektor galian. Hal ini menunjukkan ekonomi masyarakat asli Papua, berkebun misalnya, justru tidak berkembang. Adanya indikasi bahwa pemekaran ini untuk mengakomodasi keperluan pertambangan justru mengarah pada akuisisi tanah ulayat masyarakat Papua.
”Kalau jadi tambang, semua jadi korban, termasuk masyarakat Papua, OPM, dan aparat,” kata Usman.
Timotius juga menggarisbawahi hal serupa. Ia melihat pemekaran Papua ini dilandasi motif ekonomi untuk memburu kekayaan alam Papua sehingga kepentingan rakyat diabaikan. Ia mengungkapkan kekhawatirannya atas rencana pemerintah membangun kodam dan polda baru di Papua untuk mengurung OPM.
Menurut dia, hal itu tidak saja terkait rencana eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga membuat masyarakat Papua kembali trauma dan harus berhadapan dengan kekerasan aparat lagi. ”Sudah capek,” katanya.
Pendeta Gereja Kristen Injili Tanah Papua Dora Balubun mengingatkan, saat ini pun telah terjadi konflik horizontal terkait saling berebut ibu kota untuk DOB baru di Papua. Ada juga masyarakat adat yang mengatakan akan migrasi ke daerah lain. Ia juga mempertanyakan, berapa persen orang Papua asli yang akan mengisi posisi birokrasi di provinsi yang baru dan bisnis-bisnis baru di Papua nantinya.
Kekhawatiran akan kekerasan juga disampaikan Dora yang melihat sudah banyak aparat yang dikirim ke Papua.
Ronald Tapilatu dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Biro Papua juga menyoroti kekerasan yang akan terus timbul.
Demikian pula Ikha Mulait dari Petisi Rakyat Papua yang mengatakan, DOB disahkan tanpa melihat dan mendengar suara hati rakyat. Selama ini ada protes besar-besaran dari rakyat, menolak DOB di mana-mana di Papua, tetapi pemerintah tidak mendengar.
”Pastinya banyak aparat yang kembali hadir dan membuat masyarakat trauma,” katanya.