Religiusitas Etik Syafii Maarif Atasi Politik Identitas
Gagasan ”ethico religious” atau religiusitas etik yang dikemukakan mendiang Ahmad Syafii Maarif relevan untuk digali kembali oleh generasi muda. Gagasan itu jauh dari semangat keagamaan yang sekadar formalistik.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak Pemilu 2014, politik identitas merebak dalam praktik politik praktis di Indonesia. Agama dijadikan salah satu alat untuk menumbuhkan semangat kekelompokan dalam pilihan politik, yang berisiko memecah belah bangsa. Selain komitmen para elite, dibutuhkan diseminasi gagasan keagamaan yang terbuka dan saling menghormati untuk mencegah dan mengatasi politik identitas.
Gagasan itu salah satunya bisa digali dari mendiang Ahmad Syafii Maarif. Pemikiran cendekiawan yang juga mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang telah berpulang pada akhir Mei lalu itu dinilai relevan untuk mengatasi persoalan politik identitas.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla mengatakan, implementasi Pancasila dan demokrasi Indonesia tengah menghadapi tantangan berat. Selama satu dekade terakhir, perkembangan demokrasi turut mendorong perluasan praktik politik identitas. Para politisi menggunakan agama untuk menumbuhkan semangat tribalistik di tengah masyarakat untuk memutuskan pilihan politik.
”Ini adalah paradoks, demokrasi yang sedang kita kembangkan justru memfasilitasi (praktik) politik identitas ini,” kata Ulil dalam diskusi bertajuk ”Pancasila dan Demokrasi di Indonesia: Menyelami Pemikiran Prof A Syafii Maarif”, di Jakarta, Rabu (29/6/2022).
Diskusi yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) ini juga menghadirkan sejumlah tokoh untuk membedah pemikiran Ahmad Syafii Maarif. Di antaranya Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis Suseno; Ketua Dewan Pers sekaligus Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra; dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Siti Ruhaini Dzuhayatin. Selain itu, hadir pula secara daring Ketua Pembina Yayasan CSIS Harry Tjan Silalahi dan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir.
Ulil melanjutkan, perkembangan politik identitas menghadapkan masyarakat pada berbagai dilema. Umat beragama ibarat hidup dalam kepompong-kepompong sempit, cenderung mudah tersinggung, dan menggunakan standar kelompoknya masing-masing untuk ukuran hidup bersama dengan kelompok lain yang berbeda-beda. Ini merupakan permasalahan yang dapat berujung pada perpecahan bangsa.
Di tengah situasi tersebut, gagasan ethico religious atau religiusitas etik yang dikemukakan oleh Ahmad Syafii Maarif menjadi relevan untuk digali kembali oleh generasi muda. Sebab, gagasan itu jauh dari semangat keagamaan yang sekadar formalistik.
Religiusitas etik justru terdiri dari semangat nilai-nilai universal yang diperas dari kitab suci, kemudian dikembangkan secara konstekstual dalam berbagai aspek kehidupan. ”Alquran dipahami bukan sebagai basis pembentukan politik identitas, melainkan sebagai nilai-nilai yang bisa diperas dan dikembangkan dalam konteks modern,” kata Ulil.
Menurut Ulil, gagasan tersebut tidak hanya dimiliki Syafii Maarif, tetapi juga para pemikir kebangsaan lain yang sezaman dengan dia, di antaranya Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Pada dekade 1980-an dan 1990-an, mereka dipertemukan dalam berbagai forum diskusi lintas golongan yang terdiri dari berbagai tokoh dari berbagai latar belakang. Jika iklim tersebut dihidupkan kembali saat ini, semangat kekelompokan atau tribalisme yang sempit tentu bisa diatasi.
Siti Ruhaini Dzuhayatin menambahkan, gagasan Syafii Maarif yang juga penting untuk terus digali adalah pemikirannya yang menempatkan Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan. Bukan menempatkan Indonesia dalam bingkai keislaman. Sebab, secara historis, bangsa Indonesia dibangun dari berbagai proses moderasi. Mulai dari moderasi beragama, etnis, ekonomi, dan tindakan sosial.
Selain itu, kelahiran bangsa Indonesia juga dimulai dari proklamasi kebangsaan dari akar rumput, yakni melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Proses itu dilanjutkan dengan pembentukan negara melalui Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.
”Artinya, bangsa Indonesia memang dilahirkan dari keinginan masyarakat, bukan keinginan elite semata. Ini yang membuat umat Islam di Indonesia lebih solid ketimbang di negara-negara lain,” kata Siti.
Ia menambahkan, penempatan Islam dalam bingkai keindonesiaan sebenarnya juga menunjukkan kesadaran Syafii Maarif atas adanya akar etnoreligius yang menyimpan sentimen-sentimen primordial. Pada masa lalu, sentimen tersebut pernah membelah masyarakat Nusa Tenggara menjadi tiga provinsi berdasarkan etnoreligiusitas, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.
”Dengan bingkai keindonesiaan itu, Buya Syafii Maarif juga ingin agar anak muda Indonesia terus melakukan transformasi Islam dari belenggu etnoreligius menjadi etika sosial dan etika publik yang bisa menjadi dasar bagi relasi kewargaan dalam negara bangsa ini,” ujar Siti.
Franz Magnis-Suseno mengatakan, ideologi Pancasila saat ini menghadapi ancaman ideologi transnasional berbasis agama. Namun, selama ini Pancasila terbukti mampu menangkisnya karena Pancasila dapat menaungi semua golongan dalam keindonesiaan.
Semangat Pancasila itu juga mewujud dalam sikap dan pemikiran Syafii Maarif yang ia kenal sejak sekitar 30 tahun lalu. Sebagai intelektual dan agamawan, ia memberikan contoh untuk menghargai dan memberikan rasa aman bagi penganut agama yang berbeda. ”Dia adalah contoh yang menunjukkan bagaimana kita yang berbeda, mempunyai identitas yang bersatu dalam kemanusiaan, ketuhanan, dan kebangsaan,” katanya.