Kesederhanaan dan Nilai Toleransi Buya Syafii Maarif Perlu Dihidupi Generasi Muda
Pemikiran dan laku hidup Buya Syafii menjadi inspirasi, teladan, dan pembelajaran yang perlu terus dihidupi generasi muda. Satu pesannya, semua orang berakal sehat akan hidup toleran, reflektif, dan menjaga pluralisme.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·5 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Berpulangnya tokoh bangsa Buya Ahmad Syafii Maarif meninggalkan duka di sejumlah daerah, termasuk di Medan, Sumatera Utara. Meski demikian, pemikiran dan laku hidup Buya Syafii telah menjadi inspirasi dan teladan hidup yang diharapkan bisa menjadi materi pembelajaran yang perlu terus dikembangkan oleh generasi muda.
Tokoh keberagaman di Sumatera Utara, Sofyan Tan, yang juga anggota Komisi X DPR menyatakan duka dan kehilangan mendalam atas berpulangnya mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu. ”Kami sangat kehilangan seorang tokoh bangsa yang hidup sederhana, yang berjuang terus agar rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan ras dapat hidup rukun damai membangun Indonesia yang sangat plural. Almarhum tidak pernah lelah mengimbau, menyampaikan pikiran-pikiran agar semua pihak dapat saling hormat menghormati, baik terhadap budaya maupun keyakinan yang berbeda,” tutur Sofyan Tan kepada Kompas, Jumat (27/5/2022).
Tokoh seperti Buya sangat dibutuhkan, apalagi kini muncul tantangan besar yang dilakukan sekelompok orang yang menginginkan Indonesia terpencar-pencar dengan berbagai cara ingin mengusik rasa kebangsaan. Ketokohan Buya sangat dibutuhkan di tingkat nasional hingga akar rumput. Rumput kering, dianalogikan Sofyan, mudah terbakar. Namun, tidak akan terbakar jika disirami dengan air pengajaran yang benar dan menyejukkan.
Menurut Sofyan, Buya adalah inspirasi dan model bagi generasi mendatang. Pemikiran beliau menjadi warisan untuk Indonesia yang maju dan damai yang memiliki potensi bonus demografi dan kekayaan sumber daya alam luar biasa.
Menurut Sofyan, Buya juga bukan hanya antikorupsi, melainkan juga menjalankan laku hidup sederhana, pendamai, dan mendorong pemberdayaan masyarakat. Buya juga adalah tokoh agama yang memiliki jaringan koneksi luas dari berbagai golongan, termasuk pengusaha, tetapi tidak mau memperkaya diri. Tali kasih dari banyak pihak digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan program kemanusiaan.
Kata dan perbuatannya sama, di tengah banyak orang yang suka bersandiwara. Pria kelahiran Sumpurkudus, Sumatera Barat, tersebut juga memberi teladan dan tidak bisa ditemukan cacatnya seperti harta, wanita, dan kekuasan. Padahal, dalam pergaulannya, semua hal itu bisa didapatkan. ”Sampai 100 tahun sulit untuk menemukan tokoh seperti beliau,” kata Sofyan.
Sofyan berharap Maarif Award, penghargaan bagi tokoh dan lembaga yang mendorong dan menjaga keberagaman, terus dilanjutkan. ”Karya-karya perdamaian yang ia tinggalkan bisa diambil perguruan tinggi menjadi bagian dari Kurikulum Merdeka bersama tokoh-tokoh kebangsaan lainnya, seperti Gus Dur dan Cak Nur,” kata Sofyan.
Karya-karya perdamaian yang ia tinggalkan bisa diambil perguruan tinggi menjadi bagian dari Kurikulum Merdeka bersama tokoh-tokoh kebangsaan lainnya, seperti Gus Dur dan Cak Nur. (Sofyan Tan)
Dalam kunjungannya ke Perguruan Iskandar Muda di Medan yang dipimpin Sofyan Tan untuk meresmikan pura di sekolah—menyusul masjid, gereja, dan wihara yang sudah didirikan sebelumnya—Sabtu, (7/1/2017), Buya Syafii menyampaikan, toleransi dalam kehidupan berbineka merupakan simbol masyarakat beradab. Untuk itu, peradaban yang sudah terbangun di Tanah Air jangan sampai dihancurkan tindakan intoleransi yang diimpor dari luar oleh pihak-pihak yang tak mengerti bagaimana membangun peradaban yang bermartabat.
”Toleransi itu sebelumnya telah terwujud sejak zaman Majapahit. Mpu Tantular, penulis Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, adalah penganut Buddha aliran Tantrayana. Meski demikian, ia diterima Kerajaan Majapahit yang menganut Hindu. Namun, saat ini, ada pihak-pihak yang memonopoli kebenaran dan merasa masuk surga sendiri,” ujarnya seperti dilaporkan Kompas.
Padahal, kata Syafii, orang yang tidak beriman pun berhak hidup di planet Bumi ini. ”Jika Allah menghendaki, akan berimanlah seluruh masyarakat. Memaksa orang menjadi beriman itu bukan tanggung jawabmu. Namun, itu dipahami berbeda oleh orang-orang yang berwawasan pendek,” pesan Syafii.
Semua orang yang berakal sehat selalu akan membawa kepingan surga ke muka bumi dengan sikap hidup toleran, lebih reflektif, dan kontemplatif untuk menjaga pluralisme. ”Tanpa itu, hidup di muka bumi akan sangat menyengsarakan karena membawa neraka ke bumi,” katanya.
Semua orang yang berakal sehat selalu akan membawa kepingan surga ke muka bumi dengan sikap hidup toleran, lebih reflektif dan kontemplatif untuk menjaga pluralisme. (Ahmad Syafii Maarif)
Meskipun sering diserang karena pandangannya itu, Syafii mengaku tak mempermasalahkan karena semata-mata ia menyatakan kebenaran. Syafii juga tak merasa sendirian jika ia diserang akibat pandangannya. ”Marilah menjadi pencari kebenaran. Mereka yang mencari kebenaran pasti jiwa dan dadanya lapang dan pikirannya jernih,” ujarnya.
Ia menilai gerakan intoleransi yang muncul belakangan ini tidak akan berlangsung lama karena bangsa Indonesia pada dasarnya adalah toleran dan beragam (Kompas, 8/1/2017).
Saat peluncuran buku otobiografinya yang berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku, 6 Juni 2006 di Jakarta, yang dihadiri banyak tokoh nasional, Buya Syafii menyampaikan pertemuannya dengan Fazlur Rahman, dosennya di Universitas Chicago, Amerika Serikat, menjadi salah satu titik kisarnya yang mampu mengubah visi dan cara pandang keberagaman secara radikal seperti dilaporkan Kompas (8/6/2006).
Simak tulisan jujur Syafii di halaman 195 buku otobiografinya: Cobalah ikuti pernyataan vulgarku di depan Rahman (Fazlur Rahman-Dosen Universitas Chicago) sekitar tahun 1979: ”Profesor Rahman, please just give me one fourt of your knowledge of Islam, I'll convert Indonesia into an Islamic State” (Profesor Rahman, mohon limpahkanlah kepadaku seperempat dari ilmumu tentang Islam, saya akan mengubah Indonesia menjadi sebuah Negara Islam). Tentu Rahman geli mendengar ucapan ingusan ini, tetapi dengan sopan ia menjawab: ”You can take all my knowledge” (Anda boleh mengambil semua ilmuku).
Pertemuan dengan Fazlur Rahman itu menjadi salah satu titik kisar Syafii yang mampu mengubah visi dan cara pandang keberagaman secara radikal. Di dalamnya, terjadi penemuan autensitas seorang Muslim Indonesia.
Buya Syafii mengatakan, kemajemukan Indonesia kini menjadi arena pertikaian karena masyarakat tidak beragama secara dewasa dan otentik. ”Dewasa artinya orang tampil lapang dada. Kita harus lapang dada, langit ini untuk semua orang, termasuk mereka yang tidak percaya kepada Tuhan,” kata Syafii.
”Kita harus mencintai negeri ini dengan tulus meskipun saat ini keadaannya kacau dan ruwet,” lanjut Syafii. Salah satunya lewat kritik yang sopan. Jika masyarakat sudah diam dan membenarkan langkah pemerintah, itu akan menjadikan keadaan tambah kacau.
Menurut dia pesimistis juga tak perlu karena banyak anak muda yang kini juga memiliki idealisme tinggi, hanya memang perlu menunggu waktu. ”Oleh sebab itu, keutuhan bangsa harus dijaga. Kalau bangsa tidak utuh generasi berikutnya akan berserakan. Ini yang saya khawatirkan,” kata Syafii.