Mahasiswa dan Akademisi Kritik Proses dan Substansi RKUHP
Pembahasan RKUHP dinilai tak transparan dan di dalamnya masih mengandung substansi yang bernuansa kolonial.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
Ketua BEM Universitas Indonesia Bayu Satria Utomo dalam pernyataan BEM UI, Senin (27/6/2022), mengatakan, RKUHP yang ada saat ini adalah RKUHP yang tertunda pembahasannya pada 2019. Saat itu, RKUHP ditunda disahkan karena penolakan luas masyarakat di berbagai daerah.
Ada 24 isu bermasalah yang ditolak masyarakat seperti pidana mati, penyerangan harkat dan martabat president, penghinaan pengadilan, aborsi, ujaran kebencian, dan kohabitasi. Namun, bukannya belajar dari kesalahan, pemerintah malah menyembunyikan draf RKUHP meski pembahasannya telah dimulai.
Keengganan pemerintah membuka draf terbaru RKUHP ini memperparah kekhawatiran masyarakat atas hukum yang nantinya berpotensi menjerat mereka.
Ia mengatakan, kekhawatiran ini membuat masyarakat sipil membuat berbagai tuntutan.
Tuntutan itu di antaranya, mendesak Presiden dan DPR untuk membuka draf terbaru RKUHP dalam waktu dekat serta melakukan pembahasan RKUHP secara transparan dengan menjunjung tinggi partisipasi publik yang bermakna.
Mereka juga menuntut agar pasal-pasal bermasalah dan berpotensi membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara meski tidak termasuk ke dalam 14 isu krusial, untuk dibahas kembali.
BEM UI mensinyalir tuntutan-tuntutan itu tidak dipedulikan. Oleh karena itu, BEM UI menyatakan akan turun ke jalan. “Kami tetap menuntut atas keterbukaan draf RKUHP, keterlibatan masyarakat yang sejati dalam perancangan RKUHP, dan segera membuang pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP yang turut mengancam HAM dan demokrasi,” kata Bayu yang merupakan bagian dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP.
Sebelumnya, Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2022 menyimpulkan, penyempurnaan RKUHP harus dilakukan dengan memerhatikan bahwa proses dekolonialisasi harus dilakukan dengan mengevaluasi watak kolonial dalam ketentuan pidana seperti seperti pidana mati, penghinaan presiden/wakil presiden, penghinaan terhadap Pemerintah, penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, dan sebagainya.
Fachrizal Afandi dari Universitas Brawijaya selaku narahubung Konsultasi Nasional Pembaruan KUHP 2022 mengatakan, seharusnya pidana mati dihapuskan. Masalah adat juga disoroti yaitu skema pengakuan terhadap nilai dan norma hukum yang hidup dalam masyarakat yang digunakan untuk menghukum perbuatan seseorang dalam Pasal 2 RKUHP justru kontraproduktif dengan dinamika kehidupan masyarakat adat.
Selain itu, masih dipertahankannya delik-delik yang memberikan perlindungan berlebih terhadap ideologi dan simbol negara, termasuk penghinaan yang ditujukan terhadap presiden/wakil presiden, pemerintah, penguasa atau badan umum, dan mengancam pidana yang berat bagi pelanggarnya, justru bertolakbelakang dengan misi demokratisasi hukum pidana.
Dalam audiensi bersama pimpinan redaksi media massa dan masyarakat sipil, pekan lalu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy OS Hiariej menyampaikan, tim pemerintah masih membaca ulang draf RKUHP. Pemerintah tidak mau apa yang terjadi dalam penyusunan UU Cipta Kerja terulang dalam pembentukan RKUHP. Pemerintah ingin membaca secara teliti draf RKUHP sebelum diserahkan ke DPR untuk dibahas bersama. Jika sudah selesai, draf segera diserahkan kepada DPR.