Dekriminalisasi Narkotika Cegah Kepadatan Lapas Berpindah ke Pusat Rehabilitasi
Jika fokus penanganan pengguna narkoba hanya rehabilitasi, dikhawatirkan memindahkan kepadatan lapas ke pusat-pusat rehabilitasi. Sebab, sebagian besar penghuni lapas adalah pengguna narkoba.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang lebih berorientasi pada keadilan restoratif diharapkan tidak memindahkan persoalan dari kepadatan di lembaga pemasyarakatan ke pusat rehabilitasi. Sebab, jika itu yang terjadi, negara akan mengeluarkan biaya yang tidak murah dibandingkan dengan ketika pengguna atau pemakai narkotika dipenjarakan.
Oleh karena itu, pendekatan dekriminalisasi pengguna narkotika dapat menjadi pilihan perspektif bagi pembuat UU untuk mencegah dampak tidak diinginkan tersebut. Namun, pendekatan ini bukan berarti melegalisasi penggunaan narkotika. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perdagangan dapat menjadi regulator untuk mengatur peredaran serta distribusi narkotika untuk kepentingan medis atau kepentingan lain yang diperbolehkan.
Direktur Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar Wicaksana mengatakan, pendekatan penegakan hukum dapat dilakukan pada peredaran ilegal narkotika yang memicu penyalahgunaan narkotika. Namun, untuk penggunaan lain yang diatur dan dibolehkan oleh UU, pemakai atau pengguna narkotika tidak boleh dikriminalisasi.
”Kalau kita mengacu pada standar WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), narkotika sekarang adalah masalah kesehatan, bukan lagi penegakan hukum. Artinya, kalau memang ada revisi UU Narkotika, konteksnya tidak ada penegakan hukum untuk pengguna. Tindak pidana itu terkait dengan peredaran gelapnya,” kata Dio, Minggu (26/6/2022), di Jakarta.
Dengan substansi RUU Narkotika yang saat ini ada, yakni dengan fokus rehabilitasi, Dio mengingatkan, ada dampak sampingan yang harus pula dipikirkan. Sebab, sebagian besar penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) adalah pengguna atau pemakai narkotika.
”Kalau fokusnya hanya rehabilitasi, maka kita hanya memindahkan kepadatan lapas ke pusat-pusat rehabilitasi. Ini tentu tidak mengatasi masalah narkotika. Sebab, negara juga harus mengeluarkan biaya untuk rehabilitasi pemakai narkotika yang diputus (divonis) oleh pengadilan,” katanya.
Di banyak negara, menurut Dio, dekriminalisasi itu disertai dengan pengaturan yang ketat mengenai jenis narkotika dan penggunaannya yang diperbolehkan. Regulasi ini diatur oleh pemerintah. Hal serupa dapat dilakukan di Indonesia. Misalnya, ada takaran atau ukuran tertentu bagi jenis narkotika yang dapat digunakan dengan pengawasan dokter.
”Kalau, misalnya, orang hanya menggunakan selinting ganja, dan ditangkap, lalu diputuskan untuk menjalani rehabilitasi, sementara penggunanya tidak kecanduan, ini akan menjadi beban pusat rehabilitasi. Sementara dampak adiktif rokok sebenarnya lebih tinggi daripada ganja, tetapi rokok legal, dan tidak ada kewajiban rehabilitasi,” katanya.
Di banyak negara, menurut Dio, dekriminalisasi itu disertai dengan pengaturan yang ketat mengenai jenis narkotika dan penggunaannya yang diperbolehkan.
Dalam sidang paripurna, 31 Mei 2022, DPR menyepakati perpanjangan waktu pembahasan RUU Narkotika sampai Masa Persidangan I Tahun 2022/2023. Artinya, RUU Narkotika tidak ditargetkan selesai di masa sidang ini, tetapi akan diteruskan pada masa sidang berikutnya.
Kendati demikian, pembahasan RUU Narkotika ini diharapkan holistik dan tidak menimbulkan persoalan baru. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), I Wayan Sudirta, mengatakan, upaya pemerintah merehabilitasi pengguna narkotika sudah baik. Sebab, ini memperjelas posisi antara pengguna dan pengedar narkotika. Pengguna tidak lagi dipenjarakan, tetapi direhabilitasi.
Ia meminta agar rehabilitasi tidak dipersulit. ”Kalau persyaratan macam-macam diberikan untuk pengguna, nanti bisa berubah menjadi celah permainan persyaratan. Kalau bisa jangan diberikan persyaratan yang terlalu berbelit,” katanya.
Mengenai besarnya anggaran negara untuk melakukan rehabilitasi bagi pengguna, menurut Wayan, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengguna yang dipenjarakan. Namun, dampaknya bagi pengguna akan berbeda. Kemungkinan bagi pengguna untuk terlepas dari kecanduan narkotika lebih besar jika mereka menjalani rehabilitasi daripada jika dipenjarakan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, mengatakan, salah satu hal yang perlu untuk ditekankan di dalam pembahasan RUU Narkotika ialah kedudukan dan peran Badan Narkotika Nasional (BNN).
”Sebenarnya kita perlu mengevaluasi ini agar kita kemudian bisa menyikapi kejahatan narkoba atau peredaran gelap atau peredaran tanpa izin narkoba ini bisa kita antisipasi,” ujarnya.