Tak Hanya Capres, Kerja Nyata dan Pelembagaan Partai Penting untuk Kerek Elektabilitas
Partai politik umumnya mengharapkan keuntungan elektoral dengan mengusung calon presiden dan calon wakil presiden yang memiliki derajat keterpilihan tinggi.
Oleh
Tim Kompas
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pilihan calon presiden yang diusung memang menjadi salah satu pertimbangan publik dalam menetapkan dukungan terhadap partai politik. Karena itu, untuk mengerek elektabilitas, banyak parpol memilih tokoh yang dengan elektabilitas tinggi sebagai capres. Namun, ada pula parpol yang tak melulu menjadikan elektabilitas figur capres sebagai acuan karena meyakini elektabilitas parpol tak akan naik jika tak diiringi kerja nyata seraya memperkuat organisasi partai.
Survei Litbang Kompas pada Juni 2022 merekam, pilihan publik terhadap kandidat potensial capres masih didominasi oleh Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto; Gubernur Jawa Tengah yang juga kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Ganjar Pranowo; dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Prabowo menempati posisi teratas dengan tingkat elektabilitas 25,3 persen, sedangkan Ganjar menyusul dengan elektabilitas 22 persen. Posisi berikutnya ditempati Anies dengan elektabilitas 12,6 persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Posisi ini belum berubah jika dibandingkan dengan survei serupa pada Januari lalu. Namun, terjadi penurunan elektabilitas pada Prabowo yang pada Januari elektabilitasnya mencapai 26,5 persen. Begitu juga Anies yang enam bulan lalu elektabilitasnya adalah 14,2 persen. Dari tiga figur itu, hanya Ganjar yang elektabilitasnya naik, dari 20,5 persen pada Januari menjadi 22 persen pada Juni.
Selain pilihan capres, survei juga merekam kecenderungan publik dalam memilih partai politik (parpol) yang sangat dipengaruhi oleh pilihan capres. Dari 1.200 responden yang diwawancara secara tatap muka, sebanyak 44 persen menyatakan akan tetap memilih parpol preferensinya meskipun partai mengusung capres yang tidak mereka sukai. Namun, ada 31 persen responden lainnya yang menyatakan akan berpindah ke parpol lain jika capres yang diusung tidak sesuai dengan preferensi pribadi mereka.
Berbeda dengan pilihan parpol yang sangat dipengaruhi figur capres, pilihan terhadap capres tidak terlalu dipengaruhi oleh parpol yang mengusung. Mayoritas atau 68 persen responden menyatakan akan tetap memilih capres yang disukai sekalipun diusung oleh parpol yang tidak mereka sukai.
Wakil Ketua Umum Gerindra Ferry Juliantono mengatakan, partainya berada dalam posisi yang diuntungkan dengan kecenderungan pemilih parpol yang sangat dipengaruhi figur capres. Dengan asumsi akan mengusung Prabowo Subianto, Gerindra semestinya tidak memiliki hambatan untuk mendulang suara secara maksimal. Meski belum secara resmi dideklarasikan dan sama sekali belum pernah berkampanye, tingkat elektabilitas Prabowo hingga saat ini konsisten berada di papan atas hasil survei berbagai lembaga.
Selain melihat posisi dan kompetensi Prabowo, tidak bisa dimungkiri Gerindra juga sangat mempertimbangkan preferensi konstituen untuk menentukan kandidat capres. ”Hasil survei semua lembaga masih menempatkan Pak Prabowo di posisi atas. Dengan dasar itulah, Partai Gerindra sampai saat ini masih mencalonkan beliau,” kata Ferry saat dihubungi di Jakarta, Rabu (22/6/2022).
Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Kholid menyampaikan, ada tiga kriteria capres dan calon wakil presiden (cawapres) yang akan diusung oleh PKS. Pertama, kombinasi kandidat memiliki kapasitas untuk menang yang diterjemahkan dalam hal kapasitas memenangkan pilpres dan pemilihan legislatif (pileg). Kandidat harus memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi berdasarkan survei internal dan eksternal. Paslon tersebut diharapkan bisa membawa efek ekor jas kepada PKS.
”Tentu kami akan memilih yang elektabilitasnya paling tinggi serta mempertimbangkan suara mayoritas pemilih. Sebab, kalau berbeda dengan suara pemilih, tentu mereka akan migrasi ke parpol lain,” ujarnya.
Pertimbangan kedua, lanjut Khalid, kapasitas untuk mengelola pemerintahan. PKS melihat rekam jejak kandidat seperti kepala daerah ataupun pengalaman di parpol. Terakhir, kandidat harus bisa mempersatukan masyarakat agar tidak ada lagi polarisasi. PKS pun berupaya bisa memunculkan minimal tiga pasangan capres-cawapres agar tidak ada lagi pengutuban, seperti di Pilpres 2019.
Prioritaskan rakyat
Kendati memahami bahwa elektabilitas capres berpengaruh pada pilihan parpol, Partai Demokrat tetap berupaya untuk mengusung kader sendiri sebagai capres. Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani menuturkan, segenap kader dan pengurus partai menyampaikan aspirasi agar Demokrat mengusung Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono sebagai capres. Para kader meyakini, saat ini masih cukup waktu untuk bekerja meningkatkan elektabilitas Agus. Namun, Demokrat tetap rasional dan realistis dalam menentukan pilihan capres.
”Kami akan mengusung figur yang menjadi representasi perubahan, berbeda dengan kepemimpinan sekarang dalam hal arah prioritas kebijakan serta menempatkan rakyat sebagai yang utama,” kata Kamhar.
Secara terpisah, di sela-sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Jakarta, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengungkapkan bahwa pada umumnya parpol masih mengharapkan efek ekor jas (coattail effect). Mereka menggunakan strategi merekrut figur capres dengan elektabilitas tinggi sebagai jalan pintas untuk meningkatkan derajat keterpilihan parpol.
Perekrutan figur capres harus tumbuh dari bawah melalui proses kaderisasi kepemimpinan partai.
Namun, bagi PDI-P, lanjut Hasto, perekrutan figur capres harus tumbuh dari bawah melalui proses kaderisasi kepemimpinan partai, salah satunya sekolah partai. Dalam konteks itu, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri kini masih merupakan figur sentral di dalam tradisi demokrasi PDI-P.
Seiring dengan itu, PDI-P fokus membangun dan memperkuat organisasi partai. Menurut Hasto, hal itu jauh lebih penting daripada menggantungkan pada popularitas dan elektabilitas figur tertentu.
”Sebab, ketika organisasi ini bergerak menjadi satu kekuatan yang efektif yang betul-betul akarnya itu sampai ke tingkat bawah, ke lapisan RT/RW, maka semua apa yang menjadi harapan rakyat bisa ditangkap dan diformulasikan menjadi kebijakan politik. Itulah jurus yang terbaik bagi PDI-P di dalam memenangi pemilu. Coattail effect yang kami harapkan justru dari rakyat itu. Bukankah rakyat sebenarnya pemimpin dari para pemimpin,” ucap Hasto.
Soal elektabilitas Ganjar yang terus meningkat, Hasto berpendapat, hal itu merupakan hal yang biasa dalam sebuah survei, entah peningkatan ataupun penurunan. Namun, yang pasti, dalam menentukan figur capres di Pilpres 2024, itu merupakan hak prerogatif ketua umum. Ia meyakini, ketua umum akan mempertimbangkannya dengan sangat jernih dan matang.
Pengaruh ketokohan
Peneliti Indikator Politik Indonesia, Kennedy Muslim, mengatakan, berkaca pada pengalaman Pemilu 2019, pemilih capres dan parpol yang mengusung memang tidak selalu sejalan. Akibatnya, tidak semua partai bisa mendapatkan efek ekor jas dari capres yang diusung.
Dari lima parpol yang mengusung Joko Widodo, misalnya, hanya PDI-P, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Nasdem yang mendapatkan pengaruh dari ketokohan Jokowi terhadap suara partai. Sementara itu, dua partai lainnya, yakni Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tidak mendapatkan efek ekor jas secara optimal karena tidak semua pendukungnya memilih Jokowi.
Untuk itu, penting bagi parpol untuk mengusung capres yang sesuai dengan preferensi konstituen atau sejalan dengan ideologi basis massa mereka. ”Jika keputusan elite parpol tidak melihat preferensi basis massa mereka dalam memilih capres, hal itu akan merugikan perolehan suara di pileg. Jika ingin mendapatkan coattail effect, mereka harus memastikan basis ideologi partai dan preferensi konstituen,” kata Kennedy.
Menurut dia, harus diakui tingginya ambang batas pencalonan presiden mengharuskan partai untuk berkoalisi. Manuver koalisi pun nantinya harus disesuaikan dengan dengan konstituen.
”Secara natural, misalnya, basis pemilih PKS (Partai Keadilan Sejahtera) lebih menyukai Anies Baswedan, ketika partai tidak mencalonkan Anies, boleh jadi konstituen menghukum partai dengan tidak datang ke tempat pemungutan suara atau malah memilih partai dan calon lain,” ujar Kennedy.
Penentuan capres, lanjut Kennedy, harus cermat dan disesuaikan dengan preferensi konstituen maupun ideologi partai masing-masing. (NIA/SYA/REK/BOW)