Survei Litbang "Kompas" : Prabowo, Ganjar, Anies Tetap Teratas
Tiga besar tokoh potensial capres kembali diisi oleh Prabowo, Ganjar, dan Anies. Dibandingkan survei Januari 2022, elektabilitas Prabowo dan Anies turun, sedangkan Ganjar naik.
JAKARTA, KOMPAS– Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan masih konsisten berada di posisi teratas tokoh potensial calon presiden pilihan publik. Partai politik mesti mempertimbangkan preferensi masyarakat dalam menetapkan capres jika tak ingin kehilangan pemilih. Ini karena figur capres masih menjadi magnet yang menentukan pilihan publik pada partai politik.
Kondisi itu, di sisi lain juga menunjukkan masih lemahnya identifikasi kepartaian (party id). Publik belum bisa membedakan perbedaan ideologi serta program antara satu partai dengan partai lainnya, sehingga ikatan psikopolitis dengan rakyat pun tidak terjalin kuat.
Survei Litbang Kompas pada 26 Mei hingga 4 Juni 2022 menunjukkan, Prabowo Subianto masih menduduki urutan teratas dengan elektabilitas 25,3 persen. Ganjar Pranowo di urutan kedua dengan elektabilitas 22 persen. Adapun Anies Baswedan memiliki tingkat keterpilihan 12,6 persen.
Posisi ini belum berubah jika dibandingkan dengan survei serupa pada Januari lalu. Namun, elektabilitas Prabowo dan Anies cenderung turun jika dibanding survei Januari lalu, dimana elektabilitas mereka saat itu 26,5 persen dan 14,2 persen. Sedangkan elektabilitas Ganjar naik dibanding survei Januari yang ada di 20,5 persen.
Lewat survei itu juga terekam kecenderungan publik dalam memilih parpol sangat dipengaruhi oleh pilihan capres. Dari 1.200 responden yang diwawancara secara tatap muka, 31 persen menyatakan akan berpindah ke parpol lain jika capres yang diusung tidak sesuai preferensi pribadi mereka.
Pentingnya preferensi publik terhadap pilihan capres amat dipahami Partai Gerindra. Wakil Ketua Umum Gerindra Irfan Yusuf Hasyim mengungkapkan, sebenarnya seluruh pengurus pusat dan daerah sudah meminta Prabowo untuk kembali maju di Pilpres 2024. Mereka juga kerap mendorong Prabowo untuk segera berkampanye. “Tetapi, hingga saat ini, Pak Prabowo masih fokus bekerja sebagai Menhan, tidak mau menggunakan jam kerjanya untuk berkampanye,” kata Irfan di Jakarta, Selasa (21/6/2022).
Meski belum berkampanye, lanjut Irfan, elektabilitas Prabowo konsisten di papan atas. Ini berarti keinginan partai sudah sejalan dengan preferensi publik.
Upaya untuk mencari capres yang sesuai dengan preferensi publik juga dilakukan oleh Partai Nasdem. Pada rapat kerja nasional (Rakernas) 2022 pekan lalu, Nasdem mengerucutkan tiga nama kandidat potensial capres yang akan didukung Nasdem, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
Sekretaris Jenderal Nasdem Johnny G Plate menyebut, tiga bakal capres yang direkomendasikan partainya juga merupakan hasil kristalisasi suara dari pengurus daerah. Mereka telah menjaring suara akar rumput, karena bagi Nasdem, penting untuk mendapatkan presiden yang memiliki dukungan elektoral kuat.
Jika mekanisme tersebut dapat memberikan insentif elektoral, kata Johnny, tentu akan disyukuri. Namun yang pasti, Nasdem tidak dengan sengaja mencari sosok bakal capres yang sesuai dengan preferensi publik demi mendapatkan keuntungan elektoral. “Karenanya kami membuka kesempatan yang luas kepada segenap anak bangsa, tidak harus mengutamakan kader internal Nasdem, namun mengutamakan kader bangsa terbaik atau primus inter pares,” tuturnya.
Kajian mendalam
Wakil Sekretaris Jenderal PDI-P Arif Wibowo mengatakan, preferensi publik yang terekam dalam berbagai hasil survei memang menjadi bahan kajian PDI-P untuk menentukan capres. Namun, masih ada pertimbangan lain yang bermuara pada keputusan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.
Berkaca dari Pemilu 2014 dan 2019, lanjut Arif, perolehan suara PDI-P maupun parpol lain memang dipengaruhi kuat oleh capres yang diusung. Namun saat ini PDI-P ingin melepaskan ketergantungan itu. “Kami memperkuat kerja-kerja partai, sehingga nanti pada saatnya, partai tidak tergantung kepada personal,” ucap dia.
Menurut Arif, adanya partai yang kuat tidak hanya memudahkan implementasi strategi pemenangan. Ketika memenangi Pilpres, hal itu juga berguna untuk memastikan pemerintahan berjalan efektif. Sebab, partai bisa menggaransi pelaksanaan berbagai kebijakan dan program yang dijanjikan.
Berdasarkan pengalaman pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah, lanjut Arif, calon kepala daerah dengan tingkat elektabilitas rendah ternyata bisa tetap memenangi kontestasi. Umumnya kondisi itu terjadi di daerah-daerah yang menjadi basis massa kuat PDI-P.
Pengalaman itu diharapkan juga bisa diterapkan dalam kontetasi politik di tingkat nasional. “Sebab, kalalu urusannya hanya terkait popularitas dan elektabilitas belaka, tetapi partainya lemah, ya, bubarkan saja partai, partai menjadi tidak ada gunanya,” ujar anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat itu.
Sementara itu, Ketua DPP Golkar M Misbakhun mengungkapkan, pilihan untuk mengusung Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sebagai capres merupakan respons atas minimnya efek ekor jas yang dirasakan di Pemilu 2014 dan 2019. “Dengan mengusung kader sendiri, kami meyakini kerja-kerja politik caleg di lapangan dalam menjaring pemilih loyal dan ideologis dapat teragregasi lebih besar,” tuturnya.
Upaya untuk mengusung Airlangga juga dinilai strategis. Setiap calon anggota legislatif (caleg) yang berkampanye nantinya dapat menjelaskan capaian-capaian Golkar melalui kerja Airlangga di pemerintahan. Selanjutnya, caleg juga akan memaparkan program kerja yang ditawarkan jika Golkar kembali duduk di pemerintahan.
Kecenderungan mementingkan sosok capres ketimbang partai sudah terjadi sejak pilpres secara langsung pertama kali digelar pada 2004. Ini menjadi peneguhan realitas politik bahwa figur capres masih menjadi magnet bagi pemilih ketimbang parpol, karena lemahnya party id serta peran dan fungsi parpol di tengah masyarakat
Secara terpisah, pengajar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Gun Gun Heryanto, menjelaskan, kecenderungan mementingkan sosok capres ketimbang partai sudah terjadi sejak pilpres secara langsung pertama kali digelar pada 2004. “Ini menjadi peneguhan realitas politik bahwa figur capres masih menjadi magnet bagi pemilih ketimbang parpol, karena lemahnya party id serta peran dan fungsi parpol di tengah masyarakat,” ujarnya.
Saat ini, publik belum bisa menemukan perbedaan mendasar baik dari segi program maupun ideologi diantara partai yang ada. Hal itu diperparah dengan kerja politik partai yang belum bisa dirasakan warga secara optimal. Akibatnya, ikatan psikopolitis antara pemilih dan parpol pun tidak terjalin kuat.
Di tengah situasi itu, kecenderungan masyarakat untuk lebih memerhatikan figur yang diusung partai menjadi tak terhindarkan. Apalagi, informasi politik menyangkut kandidat capres lebih banyak didapatkan. “Faktor psikologis ini seringkali membuat pemilih tidak memikirkan apa program para calon, tetapi lebih kepada terbentuknya ikatan psikologis, rasa memiliki terhadap para figur,” kata Gun Gun.
Oleh karena itu, penentuan kandidat capres oleh partai tentu tidak bisa mengabaikan preferensi konstituen masing-masing. “Pengabaian terhadap capres pilihan publik bisa berdampak hilangnya basis pemilih,” ujarnya.
Namun, lanjut Gun Gun, parpol juga harus berbenah. Parpol mesti mulai melepas dominasi elite serta tidak lagi hanya sekadar menjadi "kendaraan sewaan" para kontestan. Parpol semestinya mendistribusikan kadernya ke berbagai jabatan publik, termasuk capres secara optimal, dengan memperbaiki sistem rekrutmen dan pembinaan.