Loyalitas pemilih kian terikat dengan figur potensial capres. Meski tetap memiliki dampak elektoral, eksistensi parpol sebagai ”kendaraan” pengusung capres tak lagi menjadi faktor besar dalam memengaruhi pilihan capres.
Oleh
Eren Marsyukrilla, Litbang Kompas
·6 menit baca
MARINA EKATARI
Ganjar Pranowo (kiri), Prabowo Subianto (tengah), dan Anies Baswedan (kanan)
Hasil survei Litbang Kompas periode Juni 2022 semakin meneguhkan tingkat elektabilitas calon presiden pada tiga sosok teratas. Capaian elektabilitas Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan, yang secara berurutan menempati posisi tiga besar, tetap tak beranjak dari hasil periode survei sebelumnya.
Prabowo Subianto yang bertengger pada urutan teratas mendulang elektabilitas 25,3 persen. Angka keterpilihan Ketua Umum Gerindra itu nyaris tak berubah jika dibandingkan dengan hasil survei Litbang Kompas periode Januari 2022.
Di posisi kedua menyusul nama Ganjar Pranowo dengan capaian elektabilitas sebesar 22,0 persen. Tingkat keterpilihan kader PDI-P yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah ini terbaca stagnan dari survei sebelumnya. Tak jauh berbeda, elektabilitas untuk Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun konsisten dengan capaian 12,6 persen.
Jika dilihat secara keseluruhan, ketiga sosok bakal capres di papan atas itu telah menyerap tiga perlima total elektabilitas semua nama yang digadang-gadang maju dalam Pemilu Presiden 2024. Adapun figur potensial capres di luar ketiga nama itu terpaut cukup jauh, bahkan tak ada yang elektabilitasnya lebih dari 5 persen.
Elektabilitas yang kian mengerucut itu juga membuktikan bahwa kemantapan pilihan publik terus menguat dengan lebih mendasarkan penilaian pada figur yang selama ini dipersonakan sebagai capres. Ini tergambarkan dari alasan utama yang diungkap responden dalam memilih capres.
Sisi personal yang dicitrakan capres, seperti ketegasan dan kewibawaan, hingga pribadi yang sederhana dan merakyat menjadi alasan yang diungkap separuh lebih responden. Bahkan, proporsi itu jauh lebih besar jika dibandingkan dengan alasan lain yang diungkap terkait latar pengalaman kiprah, prestasi, ataupun pendidikan capres.
Meski demikian, persyaratan maju dalam gelanggang pemilihan tetap mengamanatkan capres-cawapres harus diusung partai politik (parpol) sesuai ketentuan ambang batas pencalonan presiden di Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal itu menyatakan pasangan calon diusulkan parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Keberadaan parpol sebagai pengusung capres dan cawapres tentu memiliki posisi tawar dalam menentukan tiket pencalonan. Namun, hal itu bukan berarti pula eksistensi parpol pengusung sepenuhnya berpengaruh pada loyalitas dukungan terhadap capres.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Deretan bendera partai politik peserta pemilu serentak 2019 menghiasi jalan layang di kawasan Senayan, Jakarta, Minggu (7/4/2019).
Loyalitas
Besarnya tingkat loyalitas pemilih capres dengan pertimbangan faktor partai pengusung itu terungkap pula dari hasil survei Litbang Kompas. Sebagian besar responden (67,7 persen) menyatakan tetap teguh akan memilih capres yang mereka sukai sekalipun diusung parpol yang tidak disukai.
Proporsi ini meningkat sekitar 5 persen dari temuan yang ditangkap pada survei periode Januari 2022. Kenaikan ini sejalan dengan penurunan respons publik untuk tidak akan memilih capres karena faktor partai pengusung.
Pada kondisi ini, sikap responden yang menganulir pilihannya pada salah satu capres dapat dihitung sebagai potensi suara pendukung yang akan tergerus. Limpahan dukungan pun dapat menjadi keuntungan bagi calon lain yang dipilih atau hanya menjadi suara golput.
Hasil survei memotret, proporsi responden yang menyatakan tidak jadi memilih capres yang disukai karena diusung partai yang tidak tepat sebesar 13,1 persen. Sementara terdapat 4,5 persen responden lainnya yang mengaku tidak jadi memilih capres idaman dan akan bersikap golput.
Secara tren, proporsi responden yang akan mengalihkan dukungan kepada capres alternatif turun dari angka hasil survei periode sebelumnya yang mencapai 18,7 persen. Begitu pula responden yang lebih memilih bersikap golput dengan penurunan hingga separuh.
Di luar itu, hal yang juga perlu cermat untuk disoroti pada temuan ini berkaitan dengan kenaikan respons ketidaktahuan untuk dapat menyikapi pilihan capres jika berbenturan dengan partai pengusungnya. Angka kenaikannya pun cukup signifikan, mencapai 14,7 persen, dari survei periode Januari 2022 sebesar 9,1 persen.
Boleh jadi kondisi ini menjadi gambaran terhadap tingginya loyalitas dukungan masyarakat pada sosok capres andalannya. Namun, di sisi lain, loyalitas ini juga bisa menjadi bumerang dari perspektif pemilih. Saat terganjal kondisi bimbang pada pilihannya, termasuk faktor partai pengusung, responden pada kelompok ini cenderung tak lagi mempunyai calon alternatif untuk mengalihkan suara pilihannya.
Dalam konteks lebih luas, pemilih pada kelompok ini pun kemungkinan berpotensi besar menjadi golput. Berdasarkan hasil temuan pada dua periode survei terakhir, besaran proporsi gabungan untuk sikap responden yang cenderung memilih golput terus bergeming pada kisaran 18 persen. Angka ini pun terpaut sedikit dari hitungan pemilih golput pada Pilpres 2019 sebesar 19,2 persen.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di Kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Kehati-hatian
Dari perspektif parpol, kecenderungan loyalitas pemilih parpol jika partai pilihannya mengusung capres yang tidak disukai berpotensi menggerus suara pemilih. Untuk sejumlah partai tertentu bahkan potensi suara pemilih yang dapat tergerus mencapai lebih dari sepertiga bagian.
Kondisi ini sama halnya bagi perolehan suara capres-cawapres. Dalam proporsi yang lebih kecil, bergesernya dukungan pemilih capres yang disebabkan faktor ketidakcocokan pada partai pengusung secara langsung akan berdampak pada defisit perolehan suara yang merugikan pasangan capres-cawapres.
Dampak elektoral langsung yang ditimbulkan ini sudah semestinya menjadi dasar pertimbangan bagi para capres agar lebih berhati-hati melabuhkan diri pada parpol sebagai kendaraan pengusung. Terlebih dalam kondisi peta politik saat ini yang banyak memunculkan figur potensial capres dari kalangan nonpartai.
Secara lebih mendetail, temuan survei pun dapat mengukur seberapa besar loyalitas responden dan potensi tergerusnya suara pemilih untuk setiap capres karena diusung parpol yang mereka tidak sukai. Pada panggung capres papan atas, Ganjar Pranowo menjadi sosok capres dengan tingkat pemilih loyal tertinggi (81,1 persen), yang berarti tetap akan memilih sekalipun didukung partai yang tak disukai. Adapun potensi kehilangan suara pemilih yang akan mengalihkan dukungan untuk calon lain mencapai 8,3 persen dan memilih bersikap golput sebesar 4,5 persen.
Sementara pemilih loyal Prabowo Subianto ataupun Anies Baswedan terbilang lebih rendah, secara berturut, yaitu 72,4 persen dan 68,7 persen. Proporsi potensi tergerusnya suara Prabowo karena pemilih beralih dukungan ataupun memutuskan bersikap golput mencapai seperenam bagian pemilihnya. Tidak jauh berbeda, pada Anies Baswedan, besaran suara yang kemungkinan hilang itu bisa mencapai seperlima bagian dari pemilihnya.
Di papan menengah, untuk kelompok capres dengan elektabilitas di atas 3 persen. Berdasarkan temuan survei, sosok Ridwan Kamil menjadi capres dengan pemilih loyal yang terbilang tinggi, mencapai 70,7 persen. Disusul Sandiaga Salahuddin Uno (64,2 persen) dan Agus Harimurti Yudhoyono (61,1 persen).
Sejalan dengan itu, besaran proporsi pemilih Ridwan Kamil yang mungkin tergerus akibat beralih dukungan hingga bersikap golput karena faktor partai pengusung sekitar 17 persen. Sementara untuk Sandiaga Uno ataupun Agus Harimurti Yudhoyono, potensi kehilangan suara mencapai seperempat dari pemilihnya.
Kini, dengan semakin meruncingnya pilihan publik pada figur capres, sebaiknya disikapi pula dengan kehati-hatian untuk bisa memperoleh partai politik pengusung yang tepat. Dengan demikian, bisa menuai efek elektoral yang positif, bukan justru sebaliknya.