Putusan Sidang Etik Brotoseno Akan Ditinjau Kembali
Polemik terkait mantan terpidana kasus korupsi, Raden Brotoseno, yang kini masih menjadi anggota kepolisian diharapkan akan segera mendapat jawaban. Kapolri akan meninjau kembali putusan sidang etik terhadap Brotoseno.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menyatakan akan meninjau kembali putusan sidang etik terhadap mantan terpidana kasus korupsi yang kini masih aktif sebagai anggota Polri, yakni Ajun Komisaris Besar Raden Brotoseno. Mekanisme itu akan dilakukan dengan merevisi dua peraturan kapolri.
Dua peraturan kapolri yang akan direvisi tersebut adalah Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Perkap No 19/2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri. Keputusan untuk merevisi dua perkap tersebut dilakukan setelah berkonsultasi dengan Komisi Kepolisian Nasional dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Hal itu disampaikan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo seusai Rapat Kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (8/6/2022). Menurut Listyo, dengan revisi perkap dan menggabungkannya menjadi peraturan kepolisian (perpol) tersebut, akan diatur mekanisme peninjauan kembali terhadap putusan sidang etik. Melalui itu, nantinya akan ditinjau ulang putusan sidang etik terhadap Brotoseno.
”Polri memperhatikan apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Dan salah satunya di dalam perubahan peraturan kapolri tersebut kami jadikan satu menjadi peraturan kepolisian. Kami menambahkan klausa mekanisme peninjauan kembali terhadap putusan-putusan yang telah dikeluarkan oleh sidang komisi kode etik,” kata Listyo.
Listyo mengatakan, dalam penyusunan peraturan kepolisian tersebut, pihaknya meminta masukan dari para ahli dan berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Dengan adanya payung hukum tersebut, dirinya akan memiliki ruang untuk meninjau kembali putusan sidang etik yang ternyata di kemudian hari terdapat kekeliruan. Terkait polemik yang menyangkut Brotoseno tersebut, komisi etik akan melakukan sidang peninjauan kembali terhadap putusan sidang etik yang telah dijatuhkan kepada Brotoseno sebelumnya.
”Harapan kami, itu bisa segera diundangkan sehingga kemudian komisi (etik) yang baru akan segera ditunjuk untuk melakukan peninjauan kembali terhadap keputusan yang telah dikeluarkan. Dan mudah-mudahan menjadi solusi untuk menghadapi apa yang saat ini menjadi aspirasi masyarakat,” ujar Listyo.
Terkait polemik yang menyangkut Brotoseno tersebut, komisi etik akan melakukan sidang peninjauan kembali terhadap putusan sidang etik yang telah dijatuhkan kepada Brotoseno sebelumnya.
Listyo memastikan bahwa Polri beserta jajarannya berkomitmen mewujudkan institusi Polri yang maju, modern, dan transparan dengan melakukan perubahan-perubahan. Ia juga meyakinkan publik bahwa Polri berkomitmen untuk memberantas korupsi.
”Kami akan terus memperbaiki terhadap hal-hal yang menurut masyarakat itu mencederai rasa keadilan masyarakat. Dan kami komit,” kata Listyo.
Brotoseno adalah mantan Kepala Unit III Subdit III Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri berpangkat ajun komisaris besar. Ia bersama rekannya sesama penyidik, Dedy Setyawan Yunus, terbukti bersalah menerima suap dalam penyidikan kasus cetak sawah di Ketapang, Kalimantan Barat, tahun anggaran 2012-2014 dan dihukum 5 tahun penjara serta denda Rp 300 juta subsider tiga bulan kurungan. Brotoseno menjalani hukuman dan bebas bersyarat pada Februari 2020.
Dalam perkara itu, majelis hakim juga menghukum 3 tahun penjara dua advokat, yakni Harris Arthur Hedar dan Lexi Mailowa Budiman. Keduanya dinyatakan terbukti menyuap. Namun, belakangan, Harris Arthur Hedar diputus bebas meski dalam putusan bebas tersebut tidak bulat atau terjadi perbedaan pendapat.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Desmond Junaidi Mahesa berpandangan, langkah Kapolri tersebut dinilai emosional. Sebab, hal itu dilakukan untuk merespons kritik publik yang rasa keadilannya terusik akibat seorang anggota Polri yang diputus bersalah dan telah dihukum. Namun, ternyata ia tidak diberhentikan sebagai anggota Polri, bahkan disebut berprestasi.
Di sisi lain, lanjut Desmond, dalam perkara korupsi yang menjerat Brotoseno, Mahkamah Agung telah memutus bebas pihak pemberi suap. Putusan bebas tersebut dinilai dapat menjadi bukti baru (novum) yang dapat digunakan untuk melakukan peninjauan kembali oleh Brotoseno kepada MA.
”Dia memang diputus bersalah, tapi si pemberi (suap) kemudian diputus bebas. Kalau menurut saya, Brotoseno sendiri yang harus mengambil langkah berupa peninjauan kembali ke MA untuk kepentingan dia dan untuk kepentingan Polri,” kata Desmond.
Jika terhadap upaya peninjauan kembali tersebut MA tetap pada putusannya menghukum Brotoseno, Polri harus memecat Brotoseno. Jika yang terjadi sebaliknya, Polri harus menerima Brotoseno untuk aktif sebagai anggota kepolisian. Dengan tidak adanya langkah hukum dari Brotoseno, pandangan orang bahwa institusi Polri dengan sengaja tetap mempertahankan seorang mantan terpidana korupsi dinilai benar.
Menurut Desmond, langkah untuk menganulir putusan etik di masa lalu sebagai respons terhadap keinginan publik tidak sepenuhnya benar. Sebab, desakan publik semestinya tidak sampai memengaruhi keputusan hukum.
Agar permasalahan serupa tidak terjadi di masa depan, yang perlu direvisi adalah Peraturan Pemerintah No 1/2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Perlu revisi PP
Sementara itu, peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berpandangan, pihaknya mengapresiasi langkah Kapolri untuk memasukkan klausul tentang mekanisme peninjauan kembali ke dalam peraturan kepolisian (perpol). Hal itu diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan terhadap Brotoseno yang hingga saat ini masih menjadi anggota polisi aktif.
Meski demikian, lanjut Kurnia, langkah tersebut dinilai belum paripurna. Agar permasalahan serupa tidak terjadi di masa depan, yang perlu direvisi adalah Peraturan Pemerintah No 1/2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
”Jadi, di PP tersebut dimasukkan klausul bahwa jika putusan pidana sudah inkrah karena seorang anggota kepolisian melakukan kejahatan serius, seperti korupsi dan narkoba, ia langsung diberhentikan dari anggota Polri. Dengan demikian tidak ada lagi ruang perdebatan mengenai perlu tidaknya peninjauan kembali,” kata Kurnia.
Terkait hal itu, Kapolri diharapkan memantau langsung proses pengundangan regulasi yang membuka celah untuk melakukan peninjauan kembali terkait dengan putusan etik terhadap Brotoseno. Selain itu, Kapolri juga diharapkan memprioritaskan agenda bersih-bersih lembaga Polri dari oknum yang terbukti melakukan praktik korupsi dengan cara langsung memberhentikannya secara tidak hormat.
Kurnia mengapresiasi komitmen Kapolri untuk mewujudkan institusi Polri yang transparan dan modern. Namun, hal itu semestinya juga diikuti dan dilaksanakan oleh jajaran di bawahnya, tidak hanya di level pimpinan tertinggi.
Sebab, menurut Kurnia, Polri tidak transparan terkait kasus Brotoseno. Hal itu tampak dari surat permintaan klarifikasi dari ICW tentang status keanggotaan R Brotoseno yang dikirim pada Januari 2022 dan ditujukan kepada Asisten Sumber Daya Manusia Kapolri Inspektur Jenderal Wahyu Widada, yang hingga saat ini tidak dibalas.
”Ini, kan, kontras dengan pernyataan Kapolri yang menyebut bahwa Polri sebagai institusi yang modern dan transparan. Sebab, dalam konteks Brotoseno, kami merasa Polri menutup-nutupi permasalahan ini. Bukti konkretnya, surat permintaan informasi perihal status keanggotaan Brotoseno yang kami kirimkan ke Asisten SDM Kapolri diabaikan begitu saja,” ujar Kurnia.