Sepanjang 2021, 2.644 Polisi Dijatuhi Sanksi Etik hingga Pidana
Sepanjang tahun 2021, 2.644 anggota Polri mendapatkan sanksi. Sebanyak 1.964 diantaranya dihukum karena melanggar disiplin, 803 melanggar kode etik, dan 147 personel lainnya dihukum lantaran melakukan tindak pidana.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu/Nikolaus Harbowo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah sorotan publik terhadap profesionalisme polisi dalam bekerja, Korps Bhayangkara berkomitmen terus membenahi organisasi. Lebih dari 2.000 polisi yang melanggar peraturan telah diganjar sanksi etik hingga pidana, sedangkan yang berprestasi diberi penghargaan. Akan tetapi, itu saja tidak cukup, perbaikan institusi perlu dilakukan sejak pembentukan karakter personel di lembaga pendidikan Polri.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono dihubungi dari Jakarta, Selasa (3/11/2021), mengatakan, Polri akan terus melakukan pembenahan dari berbagai aspek organisasi. Ini dilakukan agar pelaksanaan tugas pokok dapat berjalan semakin baik, sesuai dengan keinginan masyarakat sebagai pihak yang dilayani oleh Polri.
Salah satunya dengan menjatuhkan sanksi, jika ada polisi yang melanggar peraturan. Sepanjang 2021, total 2.644 polisi dijatuhi sanksi sesuai dengan jenis pelanggaran masing-masing. ”Selama 2021, Polri telah memberikan sanksi terhadap pelanggaran disiplin sebanyak 1.694 personel, pelanggaran kode etik sebanyak 803 personel, dan 147 personel yang melakukan tindak pidana,” kata Rusdi.
Brigadir NP, polisi yang melakukan kekerasan terhadap mahasiswa pengunjuk rasa di Kabupaten Tangerang, Banten, Oktober 2021, salah satunya. Setelah dinyatakan berbuat eksesif, di luar prosedur, menimbulkan korban, dan dapat menjatuhkan nama baik Polri, ia dihukum pidana selama 21 hari penjara, didemosi menjadi Bintara Polresta Tangerang tanpa jabatan, serta mendapatkan teguran tertulis.
Tujuh pejabat Polri juga dicopot dari jabatannya pada akhir Oktober lalu. Mereka adalah Direktur Polairud Polda Sulawesi Barat Komisaris Besar Fransiscus X Tarigan; Kapolres Labuhan Batu, Sumatera Utara, Ajun Komisaris Besar (AKBP) Deni Kurniawan; Kapolres Pasaman, Sumatera Barat, AKBP Dedi Nur Andriansyah; dan Kapolres Tebing Tinggi, Sumatera Utara, AKBP Agus Sugiyarso.
Selain itu, AKBP Jimmy Tana, Kapolres Nganjuk, Jawa Timur; AKBP Saiful Anwar, Kapolres Nunukan, Kalimantan Utara; dan AKBP Irwan Sunuddin, Kapolres Luwu Utara, Sulawesi Selatan, juga dicopot dari jabatannya. Ketujuh perwira tersebut terlibat dalam berbagai persoalan yang viral di dunia maya, mulai dari melakukan kekerasan terhadap bawahan, hingga menunjukkan gaya hidup hedonis. Setelah dicopot dari jabatannya, tujuh orang ini ditempatkan sebagai Perwira Menengah Pelayanan Markas (Pamen Yanma) Polri.
Di samping memberikan sanksi kepada para pelanggar, Rusdi melanjutkan, pimpinan Polri juga menegaskan bahwa anggota yang berdedikasi akan diapresiasi. ”Siapa pun anggota Polri akan diberikan penghargaan atas pengabdian dan dedikasi selama bertugas. Hal ini dibuktikan Kapolri—Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo—dengan memberikan perhargaan kepada 2.850 anggota Polri,” ujarnya.
Dari 2.850 perhargaan tersebut, sebanyak 91 polisi mendapatkan kenaikan pangkat luar biasa (KPLB), lima polisi mendapatkan KPLB anumerta. Adapun 603 polisi mendapatkan penghargaan berupa kesempatan mengikuti program pendidikan, dan promosi jabatan untuk tujuh polisi.
Penghargaan secara simbolik juga diberikan, yakni piagam penghargaan untuk 234 polisi, piagam dan pin emas kepada 23 polisi, piagam dan pin perak untuk 21 polisi. Selain itu, ada 1.155 orang yang mendapatkan pin emas, 277 orang mendapatkan pin perak, dan 434 orang mendapatkan pin perunggu.
Evaluasi pendidikan
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengapresiasi pembenahan internal Polri yang terus dilakukan. Namun, perbaikan budaya kerja melalui mekanisme reward and punishment saja tidak cukup. Pembenahan harus dilakukan secara sistematis yang meliputi elemen regulasi, kelembagaan, dan budaya kerja.
”Kami mengharapkan ketiga aspek tadi terus dibenahi. Karena yang sering jadi sorotan publik adalah aspek budaya kerja serta perilaku, masih terjadinya kekerasan oleh anggota Polri, maka penindakan terhadap polisi yang berperilaku menyimpang perlu terus dilakukan, termasuk diproses hukum jika memenuhi unsur pidana,” kata Arsul.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Taufik Basari menambahkan, pemberian sanksi kepada polisi yang melanggar peraturan perlu diikuti dengan strategi perbaikan yang komprehensif, dari hulu ke hilir. Sebab, permasalahan mendasar di kepolisian adalah kultur dan cara berpikir anggota kepolisian.
Perbaikan budaya kerja melalui mekanisme reward and punishment saja tidak cukup. Pembenahan harus dilakukan secara sistematis yang meliputi elemen regulasi, kelembagaan, dan budaya kerja.
”Pembenahan ini harus dimulai dengan mengevaluasi sistem pendidikan Polri sebagai pintu masuk institusi, hingga bagaimana kultur yang selama ini terbangun dalam pola pikir dan pola interaksi sosial para anggota Polri,” ujar Taufik.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti sepakat, pembenahan kepolisian harus dimulai dari hulu hingga hilir. Di hulu, sistem perekrutan untuk pendidikan kepolisian dinilai sudah berjalan secara transparan, penindakan atas penyelewengan yang terjadi pun cenderung dilakukan secara cepat.
Akan tetapi, kurikulum pendidikan yang masih sarat akan teori perlu dievaluasi. Kompolnas merekomendasikan agar alokasi waktu untuk praktik ditambah. Mata pelajaran hak asasi manusia (HAM), misalnya, meski materi yang diajarkan lengkap, porsi untuk mensimulasikannya masih jauh dari harapan.
”Ini berakibat serius karena pada saat penugasan, anggota kebanyakan lupa dengan pendidikan HAM. Walaupun sudah ada Perkap No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar dan Prinsip HAM dalam Pelaksanaan Tugas Polri, tetapi pola pikir dan budaya anggota masih belum banyak yang sesuai dengan aturan,” kata Poengky.