Terbukti Berencana Membunuh, Kolonel Priyanto Divonis Hukuman Seumur Hidup
Kolonel (Inf) Priyanto, terdakwa kasus Nagreg, divonis hukuman penjara seumur hidup dan dipecat dari dinas militer. Hakim menyatakan dia terbukti melakukan pembunuhan berencana dan menghilangkan jasad korban.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa kasus Nagreg, Kepala Seksi Intelijen Komando Resor Militer 133/Nani Wartabone Gorontalo Kolonel (Inf) Priyanto divonis hukuman penjara seumur hidup dan dipecat dari dinas militer karena terbukti melakukan pembunuhan berencana dan membuang mayat untuk menyembunyikan kematian secara bersama-sama. Meski hukuman yang dijatuhkan sama dengan tuntutan oditur, hakim menggunakan pasal pembuktian yang berbeda dari tuntutan oditur atau jaksa militer.
Putusan dibacakan oleh majelis hakim di ruang sidang utama Pengadilan Militer Tinggi II, Jakarta, Selasa (7/6/2022). Sidang yang berlangsung sekitar dua jam dipimpin oleh ketua majelis hakim Brigadir Jenderal (TNI) Faridah Faisal, dengan hakim anggota Kolonel (Chk) Suryadi Syamsir dan Kolonel (Sus) Mirtusin.
Dalam putusannya, Brigjen (TNI) Faridah Faisal memaparkan, Kolonel Priyanto terbukti melakukan pembunuhan berencana, perampasan kemerdekaan orang lain, dan menghilangkan mayat dengan maksud menyembunyikan kematiannya. Ketiga hal itu dilakukan bersama-sama. Perbuatan tersebut terbukti melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); Pasal 338 KUHP, Pasal 328 KUHP, Pasal 333 KUHP, dan Pasal 181 KUHP juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Pembunuhan berencana yang dimaksud terjadi pada 8 Desember 2021. Saat itu, Priyanto bersama dengan dua mantan anak buahnya ketika bertugas di Kodim Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yakni Kopral Dua (Kopda) Ahmad dan Kopda Dwi Andreas, berada dalam satu mobil dari Cimahi, Jawa Barat, menuju DIY. Dalam perjalanan, mobil mereka menabrak sepeda motor yang dikendarai Handi Hariasaputra (17) dan Salsabila (14).
Alih-alih menolong Handi dan Salsabila yang terpental dari sepeda motor, tiga prajurit itu justru membawa dan membuang mereka ke Sungai Serayu, Jawa Tengah. Padahal, Handi diketahui masih hidup. Warga setempat yang menyaksikan kecelakaan pun meminta para prajurit itu tidak memindahkan korban sebelum polisi datang.
Dalam persidangan, terungkap bahwa pembuangan jasad Handi dan Salsabila adalah ide dari Priyanto. Ia menggunakan aplikasi Google Maps di ponselnya untuk mencari sungai yang besar, dalam, dan sepi sebagai lokasi pembuangan agar mayat hilang, tenggelam, dan hanyut ke muara sungai.
Dalam persidangan, terungkap bahwa pembuangan jasad Handi dan Salsabila adalah ide dari Priyanto.
Priyanto juga menolak usul dari Ahmad untuk membawa dua pemuda itu ke puskesmas yang mereka lewati dalam perjalanan. Bahkan, ia meminta dua rekannya untuk merahasiakan peristiwa tersebut.
Faridah melanjutkan, sifat perbuatan Priyanto sesungguhnya merupakan upaya untuk melaksanakan niat menghilangkan jejak sehingga ia tidak memedulikan lagi keselamatan dan nyawa orang lain. Lebih dari itu, ia juga mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku.
Hakikatnya, perbuatan melakukan dan turut serta melakukan pembunuhan dengan merencanakannya terlebih dulu merupakan upaya Priyanto untuk melindungi Dwi Andreas dari tanggung jawabnya secara hukum. Ia bermaksud melindungi Kopda Andreas yang terlibat dalam kecelakaan yang mengakibatkan tewasnya Handi dan Salsabila agar tidak diketahui pihak berwajib.
”Hal ini menunjukkan arogansi dan mengikuti keinginan nafsu semata, sikap egoisme berlebihan tanpa memedulikan nasib korban dan keluarganya. Menunjukkan oknum prajurit yang jauh dari sifat ksatria dan berperikemanusiaan,” kata Faridah.
Penghilangan nyawa dua orang tersebut, tambahnya, menimbulkan penderitaan dan trauma berkepanjangan bagi keluarga korban. Kedua korban berusia masih sangat muda, diharapkan bisa menjadi kebanggaan keluarga di masa depan. Selain itu, perbuatan Priyanto juga dapat memperburuk citra TNI, merusak hubungan baik antara TNI dan masyarakat, serta meresahkan masyarakat.
Majelis hakim juga memandang, terdapat beberapa hal yang memberatkan hukuman Priyanto. Pertama, dalam kapasitasnya sebagai prajurit, ia dididik, dilantik, dan dipersiapkan oleh negara untuk melaksanakan tugas-tugas selain perang. Pada hakikatnya, tugas tersebut diberikan oleh negara untuk melindungi keberlangsungan hidup negara dan masyarakat. Bukan untuk membunuh rakyat yang tidak berdosa.
Perbuatan itu juga bertentangan dengan kepentingan militer yang senantiasa menjaga soliditas dengan rakyat untuk mendukung tugas pokok TNI. Dari aspek rasa keadilan masyarakat, perbuatan itu juga bertentangan dengan nilai kearifan lokal di masyarakat. Bertentangan pula dengan norma hukum yang tertuang di Pancasila serta tidak mencerminkan nilai perikemanusiaan yang beradab. Selain itu, pembunuhan berencana yang disertai perampasan kemerdekaan orang lain juga telah merusak ketertiban, keamanan, dan kedamaian dalam masyarakat.
”Mengingat perbuatan terdakwa yang sedemikian berat, berakibat pada kondisi psikologis masyarakat secara umum, dan secara khusus kondisi psikologis keluarga korban, sehingga dalam penjatuhan pidana, harus setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya,” tegas Farida.
Untuk memastikan ia tidak melarikan diri, hakim juga memerintahkan Priyanto tetap ditahan di tahanan militer hingga putusan berkekuatan hukum tetap.
Namun, masa bakti Priyanto di dinas militer selama sekitar 28 tahun dan belum pernah dijatuhi hukuman pidana dan disiplin menjadi hal yang meringankan hukuman. Selain itu, selama persidangan berlangsung, ia juga menyatakan menyesal atas perbuatannya.
Atas sejumlah pertimbangan tersebut, majelis hakim menjatuhi Priyanto dengan pidana pokok penjara seumur hidup. Juga dengan pidana tambahan, yakni dipecat dari dinas militer. Untuk memastikan ia tidak melarikan diri, hakim juga memerintahkan Priyanto tetap ditahan di tahanan militer hingga putusan berkekuatan hukum tetap.
Seusai putusan dibacakan, Priyanto yang menyimak dalam posisi berdiri sepanjang sidang mengatakan, mengerti atas putusan tersebut. Namun, setelah berdiskusi dengan tim kuasa hukumnya, ia menyatakan untuk tak langsung menerima putusan tersebut, tetapi pikir-pikir.
Sebelumnya, saat membacakan pleidoi pada 10 Mei lalu, tim kuasa hukum Priyanto juga membantah bahwa terdakwa telah melakukan pembunuhan berencana dan penculikan terhadap Handi dan Salsabila. Priyanto menganggap kedua korban sudah meninggal sehingga berniat membawa kabur dan membuang mereka ke sungai.
Pasal berbeda
Kuasa hukum memandang, Priyanto hanya melanggar Pasal 181 KUHP yang ada pada dakwaan subsider ketiga oditur. Pasal tersebut mengatur hukuman menghilangkan mayat dengan maksud menyembunyikan kematian seseorang. Adapun ancaman hukuman pidana terkait adalah sembilan bulan penjara.
Serupa dengan terdakwa, oditur militer Kolonel (Sus) Wirdel Boy juga menyatakan akan pikir-pikir terhadap putusan majelis hakim. Meski hukuman yang diputuskan sama dengan tuntutan yang diajukan, pasal pembuktian yang digunakan hakim berbeda dengan yang ada pada dakwaan primer.
Sebelumnya, oditur menuntut Priyanto dengan hukuman penjara seumur hidup dan pidana tambahan dipecat dari dinas militer. Tuntutan itu merujuk pada perbuatan pembunuhan berencana, penculikan, dan menyembunyikan kematian yang diatur dalam Pasal 340 KUHP, Pasal 338 KUHP, Pasal 328 KUHP, dan Pasal 181 KUHP. Sementara itu, hakim menggunakan Pasal 333 KUHP yang ada di dakwaan alternatif untuk menggantikan Pasal 328 KUHP. Jadi, di dalam putusan, hakim menyatakan salah satu perbuatan yang dilakukan oleh Priyanto adalah perampasan kemerdekaan orang lain, bukan penculikan.
Selain itu, Wirdel juga keberatan atas status barang bukti. Dalam tuntutan, ia meminta mobil dan ponsel yang digunakan dalam peristiwa tersebut dirampas karena telah digunakan untuk melakukan tindak pidana. Akan tetapi, hakim memutuskan untuk mengembalikannya.
”Perbedaan-perbedaan ini bisa menjadi argumentasi kami dalam mengajukan banding,” katanya. Meski demikian, ia belum bisa memastikan apakah pihaknya akan mengajukan banding atas vonis tersebut. Hal itu masih menunggu keputusan pimpinan.