Kolonel Priyanto Diduga Biarkan Dua Korban Kecelakaan Nagreg Tewas
Sidang perdana kasus kecelakaan Nagreg yang melibatkan tiga prajurit TNI Angkatan Darat dimulai di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Selasa (8/3/2022).
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Seksi Intelijen Komando Resor Militer 133/Nani Wartabone Gorontalo Kolonel (Inf) Priyanto didakwa telah melakukan pembunuhan berencana atas dua korban kecelakaan lalu lintas di Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Desember 2021. Ia bermaksud menghilangkan bukti kecelakaan dengan membuang dan membiarkan kedua korban tewas di Sungai Serayu, Jawa Tengah.
Dakwaan terhadap Kolonel (Inf) Priyanto dibacakan oditur militer atau jaksa penuntut umum Kolonel (Sus) Wirdel Boy dalam sidang perdana kasus kecelakaan Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Selasa (8/3/2022). Sidang dipimpin oleh ketua majelis hakim Brigadir Jenderal Faridah Faisal. Adapun hakim anggota yang mendampingi ketua majelis adalah Kolonel (Chk) Surjadi Syamsir dan Kolonel (Sus) Mirtusin.
Dalam dakwaan, Wirdel menyebutkan, Priyanto telah melakukan pembunuhan berencana atas Handi Hariasaputra (17) dan Salsabila (14), dua korban kecelakaan lalu lintas di Nagreg, 8 Desember 2021. Saat itu, Priyanto bersama dengan dua mantan anak buahnya saat bertugas di Kodim Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yakni Kopral Dua (Kopda) Ahmad dan Kopda Dwi Andreas berada dalam satu mobil dari Cimahi, Jawa Barat, menuju DIY. Adapun Ahmad saat ini bertugas di Kodim Demak, Jawa Tengah, sedangkan Dwi di Kodim Gunungkidul.
Di perjalanan, mobil mereka bertabrakan dengan sepeda motor yang dikendarai Handi dan Salsabila. Tabrakan mengakibatkan Handi dan Salsabila terluka. Keduanya terlempar dari sepeda motor. Handi terpental ke jalan, sedangkan Salsabila di kolong mobil. Kejadian itu disaksikan dua warga yang meminta agar posisi kedua korban tidak dipindah hingga polisi datang. Mereka juga merekam kejadian dengan ponsel.
Alih-alih mendengarkan saran warga, Priyanto, Ahmad, dan Dwi tetap memindahkan para korban lalu memasukkannya ke dalam mobil. Saat itu, salah satu warga menduga bahwa Salsabila telah meninggal karena nadinya tidak berdenyut saat diperiksa, napasnya juga tidak berembus. Namun, hal itu berbeda dengan Handi.
”Saat Handi Hariasaputra dipindahkan dari pinggir jalan dan dimasukkan ke kendaraan Isuzu Panther, saksi 4, 5, 6, dan 7 melihat bahwa dia dalam keadaan hidup, masih bernapas, bergerak, seperti merintih menahan sakit,” kata Wirdel.
Melihat para prajurit memasukkan Handi dan Salsabila ke dalam mobil, warga sekali lagi mengingatkan untuk tidak membawa mereka sebelum menghubungi polisi atau keluarga korban. Akan tetapi, lagi-lagi hal itu tak diindahkan. Priyanto memerintahkan Ahmad dan Dwi untuk masuk ke mobil. Di dalam mobil, Ahmad berada di kursi pengemudi, Priyanto duduk di sebelahnya. Sementara, Dwi berada di kursi tengah bersama dengan Salsabila, sedangkan Handi diletakkan di bagasi.
Tolak selamatkan korban
Dalam perjalanan, Dwi sempat menyarankan kepada Priyanto untuk membawa kedua korban ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Usulan itu ditolak oleh Priyanto. ”Sudah ikuti perintah saja, lagian dia sudah meninggal,” kata Priyanto sebagaimana dibacakan Wirdel.
Tak hanya saran dari Dwi, Ahmad pun memohon kepada Priyanto untuk menolong para korban. Ia khawatir tindakan mereka menyalahi aturan dan akan berakibat buruk pada keluarganya di rumah. Oleh karena itu, ia tidak konsentrasi mengemudi. Tubuhnya gemetar dan terus-menerus bicara sepanjang 10 menit perjalanan. Melihat kondisi itu, Priyanto mengambil alih kemudi mobil untuk melanjutkan perjalanan.
Setelah berjalan sekitar satu jam, mereka melintas di depan Unit Gawat Darurat Puskesmas Limbangan, Garut, Jawa Barat. Namun, Priyanto melewatinya begitu saja. Berulang kali Ahmad meminta untuk kembali ke puskesmas itu, Priyanto pun bergeming. ”Kamu jangan cengeng, nanti kita buang saja mayatnya ke sungai setelah sampai di Jawa Tengah,” ujar Priyanto.
Mendengar ide itu, Ahmad kembali menyatakan ketidaksetujuan karena tak ingin membuat masalah. Sekali lagi, Priyanto menenangkan bekas anak buahnya itu dengan menceritakan bahwa ia pernah mengebom satu rumah tanpa diketahui. Oleh karena itu, ia meminta Ahmad dan Dwi untuk tidak panik dan memastikan kejadian ini hanya diketahui oleh mereka bertiga.
Memasuki wilayah Jawa Tengah, ketiganya membuang Handi dan Salsabila ke Sungai Serayu, tetapi di lokasi yang berbeda. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan ke DIY dengan bertukar posisi, yakni Dwi sebagai pengemudi. Di tengah perjalanan, Priyanto sempat menanyakan kepada dua prajurit lainnya apakah kecelakaan tersebut sudah menjadi pembicaraan di media sosial. Ia pun kembali menekankan agar jangan sampai kejadian ini diketahui orang lain.
Kecelakaan yang terjadi di Nagreg itu kemudian viral di media sosial, video yang direkam warga saat kejadian berlangsung beredar jagat maya. Beberapa hari setelahnya, mayat Handi dan Salsabila juga ditemukan di Jawa Tengah. Pemeriksaan dari kepolisian mengungkap identitas mereka.
Saat ketiga prajurit membawa Handi dan Salsabila, Handi disebut masih dalam keadaan hidup. Hal itu dibuktikan dengan hasil visum et repertum dari RSUD Prof Dr Margono Soekarjo, Purwokerto, Jawa Tengah. Hasil visum menunjukkan, ada pembusukan di paru-paru. Paru-paru itu juga berisi pasir. ”Itu membuktikan bahwa Handi masih dalam keadaan hidup saat dibuang di sungai dan meninggal akibat tenggelam dalam keadaan tidak sadar,” ujar Wilder.
Atas perbuatan tersebut, oditur menjerat Priyanto dengan pasal berlapis, yakni Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang penyertaan pidana, subsider Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP.
Terdapat pula tiga subsider pasal. Subsider pertama, yakni Pasal 328 KUHP tentang penculikan juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Subsider kedua, Pasal 333 KUHP tentang kejahatan terhadap kemerdekaan orang juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Subsider ketiga, Pasal 181 KUHP tentang mengubur, menyembunyikan, membawa lari, atau menghilangkan mayat dengan maksud menyembunyikan kematian juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP. Dari sejumlah pasal itu, Priyanto terancam hukuman mati, penjara seumur hidup, atau selama rentang waktu tertentu, atau paling lama 20 tahun.
Tanpa eksepsi
Setelah mendengarkan pembacaan dakwaan, Faridah Faisal menanyakan apakah Priyanto mengerti tentang dakwaan tersebut. Ia juga memberi tahu bahwa sebagai terdakwa, Priyanto bisa mengajukan eksepsi dan berkoordinasi dengan tim penasihat hukum.
Menanggapi hal itu, Priyanto mengatakan, mengerti atas dakwaan terhadap dirinya yang dibacakan oditur. Setelah berdiskusi dengan tim pengacara, ia juga memutuskan untuk tidak menyampaikan eksepsi.
Oleh karena itu, tambah Faridah, sidang akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi. Sebagaimana diajukan oditur, terdapat 21 saksi yang berasal dari berbagai pihak. ”Sidang akan dilanjutkan untuk pemeriksaan saksi pada Selasa, 15 Maret 2022,” tutupnya.