Putuskan Buang Korban Kecelakaan Nagreg, Kolonel Priyanto Dituntut Seumur Hidup
Kolonel (Inf) Priyanto memutuskan membuang jasad korban kecelakaan dengan harapan korban akan dimakan binatang atau tenggelam di dasar sungai sehingga tidak dapat ditemukan.
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Seksi Intelijen Komando Resor Militer 133/Nani Wartabone Gorontalo Kolonel (Inf) Priyanto dituntut penjara seumur hidup dalam kasus pembunuhan berencana terhadap dua korban kecelakaan lalu lintas di Nagreg, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Desember 2021. Priyanto diyakini bersalah telah bersama-sama melakukan pembunuhan berencana, penculikan, dan menyembunyikan mayat.
Selain itu, oditur militer atau jaksa penuntut umum juga meminta majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer TNI Angkatan Darat.
”Kami memohon agar Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta menjatuhkan pidana kepada Kolonel (Inf) Priyanto dengan pidana pokok penjara seumur hidup. Pidana tambahan dipecat dari dinas militer cq TNI Angkatan Darat,” kata oditur militer Kolonel (Sus) Wirdel Boy di Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta, Kamis (21/4/2022).
Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan itu dipimpin oleh ketua majelis hakim Brigadir Jenderal Faridah Faisal. Adapun hakim anggota yang mendampingi ketua majelis adalah Kolonel (Chk) Surjadi Syamsir dan Kolonel (Sus) Mirtusin.
Wirdel menyebutkan, setelah mendengar keterangan dari 22 saksi, oditur meyakini terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana, penculikan, dan membawa lari mayat korban kecelakaan.
Peran Priyanto dalam kasus ini adalah sebagai pencetus ide untuk membuang korban kecelakaan, Handi Hariasaputra (17) dan Salsabila (14), ke Sungai Serayu, Jawa Tengah. Priyanto dibantu dua mantan anak buahnya, yaitu Kopral Dua (Kopda) Ahmad dan Kopda Dwi Andreas, lalu membuang dua korban kecelakaan ke sungai.
”Terdakwa telah menimbang tempat dan alat (untuk membuang korban kecelakaan) ke sungai. Ada cukup waktu antara perbuatan dan persiapan untuk berpikir sehingga bukan merupakan hal segera dalam pembunuhan. Pembunuhan berencana dibutuhkan pikiran yang tenang, waktu yang tenggang dan cukup,” kata Wirdel.
Baca juga : Kolonel Priyanto Diduga Biarkan Dua Korban Kecelakaan Nagreg Tewas
Sepanjang perjalanan, Priyanto juga membuka Google Maps serta memilih sungai yang besar, dalam, dan sepi agar mayat hilang, tenggelam, dan hanyut ke muara sungai. Terdakwa juga berharap jasad korban kecelakaan dimakan binatang, ikan atau tenggelam di dasar sungai sehingga tidak dapat ditemukan. Pemilihan sungai yang dalam dianggap menunjukkan bahwa langkah itu melalui perencanaan yang matang untuk menghilangkan nyawa seseorang sehingga bisa disebut sebagai pembunuhan berencana.
Peran Priyanto dalam kasus ini adalah sebagai pencetus ide untuk membuang korban kecelakaan, Handi Hariasaputra (17) dan Salsabila (14), ke Sungai Serayu, Jawa Tengah. Priyanto dibantu dua mantan anak buahnya, yaitu Kopral Dua (Kopda) Ahmad dan Kopda Dwi Andreas, lalu membuang dua korban kecelakaan ke sungai.
Sebelumnya, pada 8 Desember 2021, Priyanto bersama dengan Kopda Ahmad dan Kopda Dwi Andreas berada di dalam satu mobil dari Cimahi, Jawa Barat, menuju Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam perjalanan, tepatnya di lintas Nagreg, mobil Isuzu Panther yang mereka naiki bertabrakan dengan sepeda motor Suzuki Satria FU yang dikendarai Handi dan Salsabila. Tabrakan mengakibatkan Handi dan Salsabila terluka. Keduanya terlempar dari sepeda motor. Handi terpental ke jalan, sedangkan Salsabila di kolong mobil. Kejadian itu disaksikan oleh sejumlah warga yang meminta agar posisi kedua korban tidak dipindah hingga polisi datang. Warga juga sempat merekam kejadian itu dengan kamera ponsel (Kompas, 8/3/2022).
Tanpa mendengarkan saran dari warga, Priyanto, Ahmad, dan Dwi tetap memindahkan para korban lalu memasukkannya ke dalam mobil. Saat itu, menurut keterangan saksi, Salsabila diduga telah meninggal dunia karena nadinya tidak berdenyut dan napasnya tidak berembus. Namun, kondisi berbeda terjadi pada Handi. Handi diduga masih hidup. Sekitar empat saksi melihat Handi masih bernapas, bergerak, seperti merintih menahan sakit.
Melihat para prajurit memasukkan Handi dan Salsabila ke dalam mobil, warga sekali lagi mengingatkan untuk tidak membawa mereka sebelum menghubungi polisi atau keluarga korban. Akan tetapi, lagi-lagi hal itu tak diindahkan. Priyanto memerintahkan Ahmad dan Dwi untuk masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil, Ahmad berada di kursi pengemudi, Priyanto duduk di sebelahnya. Dwi berada di kursi tengah bersama dengan Salsabila, sedangkan Handi diletakkan di bagasi.
Di dalam perjalanan, Dwi sempat menyarankan kepada Priyanto untuk membawa kedua korban ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Usulan itu ditolak oleh Priyanto. Priyanto meminta kedua mantan anak buahnya itu mengikuti perintahnya.
Saat melintas di depan Unit Gawat Darurat Puskesmas Limbangan, Garut, Jawa Barat, Ahmad juga sempat meminta Priyanto untuk membawa korban ke fasilitas medis itu. Ahmad merasa kasihan karena kedua anak itu pasti akan dicari orangtuanya. Namun, Priyanto hanya bergeming. Dia lagi-lagi meyakinkan anak buahnya.
”Kamu jangan cengeng, nanti kita buang saja mayatnya ke sungai setelah sampai di Jawa Tengah,” ujar Priyanto seperti dibacakan oditur Wirdel.
Dalam pembacaan berkas tuntutan itu juga disebutkan bahwa hal-hal yang memberatkan terdakwa adalah terdakwa melakukan tindak pidana dengan melibatkan anak buahnya. Adapun hal-hal yang meringankan adalah terdakwa berterus terang sehingga mempermudah pemeriksaan selama persidangan, terdakwa belum pernah dihukum, serta menyesali perbuatannya.
Cukup waktu urungkan niat
Seusai persidangan, oditur Wirdel menjelaskan, pertimbangan yang digunakan untuk menuntut terdakwa seumur hidup adalah sebagai perwira menengah, Priyanto seharusnya mencegah perbuatan itu terjadi. Namun, Priyanto justru melibatkan anak buahnya dalam tindak pidana tersebut.
Selain itu, dari fakta persidangan ditemukan bahwa sebenarnya terdakwa memiliki waktu untuk mengurungkan niatnya melakukan pembunuhan atau membuang mayat Handi dan Salsabila ke sungai. Perjalanan dari lokasi kecelakaan di Limbangan sampai ke tempat pembuangan Jembatan Kali Tanjung, Banyumas, Jawa Tengah, membutuhkan waktu lebih kurang 5,5 jam perjalanan. Waktu itu dianggap cukup untuk mengurungkan niat jahatnya.
”Namun, yang dilakukan justru membuang kedua korban yang salah satu korbannya diketahui masih hidup,” terang Wirdel.
Sebagai warga negara, apalagi anggota militer yang baik, Priyanto seharusnya menolong dan membantu korban kecelakaan agar mendapatkan perawatan medis. Namun, hal itu tidak dilakukan.
Baca juga : Rekonstruksi Kecelakaan di Nagreg, 15 Menit yang Membuka Lagi Trauma
Selain itu, keterangan saksi ahli selama persidangan juga memperkuat kesaksian warga yang menyatakan bahwa korban Handi masih hidup saat diangkat dari lokasi kecelakaan ke mobil Isuzu Panther. Saksi ahli dalam keterangannya menyebutkan bahwa dari hasil otopsi korban Handi ditemukan benda-benda sungai, seperti air dan pasir, di dalam kerongkongan, paru-paru, dan lambung. Ini memperkuat bahwa pada saat dibuang ke sungai, Handi sebenarnya masih hidup. Sebab, jika sudah meninggal, tidak akan ditemukan benda-benda sungai di dalam perut pada saat dibuang.
Seusai tuntutan dibacakan, ketua majelis hakim Brigadir Jenderal Faridah Faisal menanyakan kepada terdakwa apakah tuntutan yang dibacakan sudah jelas. Terdakwa kemudian diizinkan untuk berkonsultasi kepada kuasa hukumnya untuk mengajukan nota pembelaan (pleidoi). Agenda sidang berikutnya, yaitu pembacaan pleidoi dari terdakwa dan kuasa hukumnya, diagendakan pada Selasa, 10 Mei 2022.