KY Gelar Pelatihan Hakim Guna Identifikasi Pelanggaran Terselubung
Selasa (7/6/2022) hingga Jumat (10/6), Komisi Yudisial mengadakan pelatihan Kode Etik dan Pedoman Perlilaku Hakim. Di pelatihan ini, para hakim akan melakukan studi kasus terkait kasus yang dilaporkan masyarakat ke KY.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Sebanyak 72 hakim dari wilayah pengadilan di Jawa Tengah dan Jawa Barat berkumpul di Purwokerto, Jawa Tengah, untuk mengikuti pelatihan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim atau KEPPH yang diselenggaran Komisi Yudisial. Dalam pelatihan kali ini, Komisi Yudisial akan mengeksplorasi dugaan pelanggaran etik terselubung di dalam putusan hakim yang sering dilaporkan oleh pencari keadilan ke lembaga pengawas eksternal peradilan tersebut.
Adapun 72 hakim itu terdiri atas 20 hakim pengadilan negeri di Jawa Tengah dan Jawa Barat, 40 hakim agama di Pengadilan Agama se-Jawa Tengah dan Jawa Barat, serta 12 hakim tata usaha negara (TUN) dari Pengadilan TUN terdekat. Mereka akan mengikuti pelatihan ”Eksplorasi Pelanggaran KEPPH, Studi Kasus Laporan Masyarakat di KY” yang akan diselenggarakan pada Selasa (7/6/2022) hingga Jumat (10/6) mendatang.
Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting, Senin (6/6), mengatakan, materi dalam pelatihan kali ini adalah studi kasus dari kasus-kasus yang dilaporkan masyarakat ke Komisi Yudisial (KY). Selain perilaku murni, seperti dugaan penerimaan suap atau bertemu pihak berperkara, KY juga menerima pengaduan masyarakat tentang tindakan hakim yang ”bukan perilaku murni”. Biasanya, jenis pengaduan tersebut sangat bersinggungan dengan hukum acara dan amat terkait dengan prinsip profesionalisme hakim dalam Kode Etik.
”Ini yang sulit untuk kami eksplor ke para hakim. Sebab, di situ ada indikasi pelanggaran yang terselubung. Ada hal-hal yang mereka langgar, tetapi tidak kasatmata. Nah, (pengetahuan) ini yang menjadi kebutuhan mereka,” kata Miko.
KY sudah menggelar pelatihan Eksplorasi Pelanggaran KEPPH dengan mendasarkan pada studi kasus laporan masyarakat sejak tahun 2018. Pada awalnya, kata Miko, banyak hakim yang menolak atau resistensi dengan pelatihan semacam ini. Akan tetapi, resistensi tersebut lama-kelamaan memudar setelah mengetahui bagaimana sebenarnya KY menyikapi dan menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran etik yang masuk.
”Tadinya, para hakim resisten dengan pelatihan ini. Terjadi penolakan karena KY dianggap masuk dalam putusan (atau ranah teknis yudisial). Namun, memang ada persinggungan atau daerah abu-abu yang berpotensi melanggar. Akhirnya mulai ada penerimaan. Rata-rata malah bersyukur menjadi peserta (pelatihan) karena ditunjukkan perilaku yang bisa menjerumuskan atau menimbulkan aduan dari masyarakat,” tuturnya.
Dari 2016 sampai sekarang, saya menemukan antara tiga sampai lima hakim yang sudah dilatih yang namanya masuk (laporan) KY.
Peningkatan pemahaman
Mengenai evaluasi pasca-pelatihan, Miko mengungkapkan bahwa pihaknya belum membuat parameter tentang perubahan perilaku dari para hakim yang mengikuti pelatihan. Evaluasi yang dilakukan baru secara kuantitatif, yaitu dengan menyebarkan kuesioner mengenai pengetahuan soal kode etik dan bagaimana perilaku penerapannya. Dari hasil survei yang dilakukan, Miko mengungkapkan ada peningkatan satu poin untuk pemahaman mereka, dari angka 98 menjadi 99.
Ia pun menemukan ada tiga atau lima hakim yang namanya dilaporkan ke KY meskipun telah mengikuti pelatihan kode etik. Angka tersebut relatif kecil dari total hakim yang sudah mengikuti pelatihan KY.
”Dari 2016 sampai sekarang, saya menemukan antara tiga sampai lima hakim yang sudah dilatih yang namanya masuk (laporan) KY. Itu kenapa? Saya ngomong ini ada dasarnya. Kami ada observasi perilaku di dalam kelas (pelatihan). Yang tiga hingga lima hakim ini memang dari sejak datang mengikuti pelatihan sudah menunjukkan manner (tata krama) yang enggak baik,” katanya.
Sekretaris Bidang Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) DPC Peradi Jakarta Barat Ilian Deta Artasari berharap, dengan pelatihan ini, hakim akan semakin profesional dalam menegakkan keadilan. Ia juga bermimpi hakim tetap menjaga integritas dalam membuat putusan, dengan mendasarkan pada hati nurani serta tidak terpengaruh oleh iming-iming atau bujukan janji dari pihak-pihak berperkara.
”Jangan sampai menghitamkan yang putih dan memutihkan yang hitam. Kadang kala, ada saja oknum hakim yang bermain perkara. Ada pelanggaran nyata, tetapi terselubung lewat putusan, tidak terlihat jelas, tapi bisa tercium baunya,” kata Ilian yang juga Wakil Bendahara Pusat Bantuan Hukum DPN Peradi tersebut.