Hasil jajak pendapat Populi Center menunjukkan, lebih dari 50 persen responden menilai adanya kemunduran demokrasi, di antaranya terkait partisipasi publik, kebebasan berpendapat, dan pemberantasan korupsi.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua dekade setelah reformasi, capaian demokratisasi Indonesia masih perlu terus diperbaiki. Alih-alih mengalami kemajuan, sejumlah aspek, seperti partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan, kebebasan berpendapat, serta pemberantasan korupsi, justru dinilai mengalami kemunduran. Diskusi mendalam di tengah publik harus terus dipantik untuk mencari solusi perbaikan demokrasi.
Penilaian atas demokrasi Indonesia terekam dalam jajak pendapat Populi Center pada 19-26 Mei 2022. Jajak pendapat dilakukan dengan mewawancarai 50 ahli ilmu sosial, politik, dan pemerintahan tentang isu krusial yang sering kali menjadi perdebatan. Sejumlah isu yang ditanyakan di antaranya terkait demokrasi, otonomi daerah, Ibu Kota Negara (IKN), ekonomi digital, Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN), dan desain kelembagaan pemberantasan korupsi. Hasil jajak pendapat diharapkan bisa memantik debat publik tentang isu-isu tersebut.
Peneliti Populi Center, Rafif Pamenang Imawan, mengatakan, dari 50 narasumber, 68 persen di antaranya menilai pelaksanaan demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik. Sejumlah ahli menilai, adanya sistem kepartaian yang stabil, ketersediaan ruang untuk menyampaikan pendapat, dan tingginya kepercayaan publik terhadap pemerintah merupakan indikator penilaian tersebut.
”Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan catatan untuk memperbaiki demokrasi Indonesia,” katanya dalam jumpa pers daring, Minggu (5/6/2022).
Jumpa pers juga dihadiri Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djoheramansyah Djohan dan peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ikrar Nusa Bakti.
Rafif melanjutkan, perbaikan yang dimaksud terkait dengan penilaian sejumlah kondisi kenegaraan. Mayoritas ahli menilai ada kemunduran dalam pelaksanaan kebebasan berpendapat (58 persen), pemberantasan korupsi (52 persen), partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan strategis (52 persen), serta check and balances eksekutif dan legislatif di tingkat pusat (52 persen).
”Temuan ini menjadi menarik karena ruang menyampaikan pendapat dinilai terjamin, tetapi kebebasan berpendapat terasa menurun,” katanya.
Selain itu, peran aktor politik dalam menyerap aspirasi publik juga masih minim. Dari empat aktor yang ditanyakan, yakni presiden, DPR, DPD, dan partai politik (parpol), hanya presiden yang dinilai 78 persen narasumber telah menyerap aspirasi publik dengan baik.
Mayoritas ahli menilai ada kemunduran dalam pelaksanaan kebebasan berpendapat (58 persen), pemberantasan korupsi (52 persen), partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan strategis (52 persen), serta check and balances eksekutif dan legislatif di tingkat pusat (52 persen).
Sementara itu, institusi lain justru dinilai buruk. DPR, misalnya, dinilai buruk oleh 54 persen narasumber. Begitu juga 60 persen narasumber yang menilai buruk DPD dan 70 persen narasumber yang menilai buruk parpol dalam menyerap aspirasi publik.
Menurut Rafif, hal ini menunjukkan bahwa sistem presidensial Indonesia semakin menguat. Akan tetapi, kepercayaan publik terhadap representasi politik di parlemen rendah. Hal itu akan berdampak pada mekanisme check and balances antara eksekutif dan legislatif di masa mendatang.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan mengatakan, kemunduran demokrasi memang sangat terasa dalam aspek partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan. Perumusan kebijakan dan undang-undang dinilainya tidak cukup berbasis aspirasi masyarakat. Sebab, pemerintah saat ini cenderung tergesa-gesa dalam membuat kebijakan. Padahal, pelibatan masyarakat membutuhkan waktu yang lebih lama.
”Pemerintah harus sabar untuk membuka ruang partisipasi publik. Jangan memaksa untuk menyelesaikan kebijakan dalam waktu cepat. Tentu tidak berlarut-larut, tetapi jangan juga terburu-buru,” kata Djohermansyah.
Ia menambahkan, hal yang sama juga terjadi pada ranah kebebasan berpendapat. Saat ini, umumnya, publik merasa takut menyampaikan pendapat karena bisa berujung pada intimidasi dari sejumlah pihak. Terutama jika pendapat disampaikan melalui kanal media sosial.
Djohermansyah mengingatkan agar pemerintah terus berusaha dan menjaga demokratisasi Indonesia. Terlebih, masa jabatan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin tersisa dua tahun lagi. Tahun politik sudah dimulai tahun ini. ”Komitmen untuk mengawal demokrasi Indonesia di tingkat nasional dan lokal harus kuat. Jangan sampai demokrasi yang dibangun susah payah ini mundur kembali,” ujarnya.
Mantan Duta Besar RI untuk Tunisia sekaligus peneliti senior dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ikrar Nusa Bakti, berpendapat, persoalan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan perlu digarisbawahi. Di awal reformasi, perumusan kebijakan dan undang-undang melibatkan masyarakat secara intens. Sebagai peneliti, saat itu ia bersama unsur masyarakat lainnya terlibat aktif dalam Perumusan UU Pertahanan dan UU TNI.
”Tidak seperti saat ini, (partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan) sangat melemah,” katanya.
Selain partisipasi publik, Ikrar juga menyoroti iklim kebebasan berpendapat. Menurut dia, hal ini masih sangat bermasalah. Apalagi, masih ada masyarakat yang diproses hukum karena menyampaikan pendapat di muka umum.
Persoalan demokrasi, kata Ikrar, membutuhkan perhatian khusus. Setahun lagi Indonesia sudah memasuki masa 25 tahun pasca-Reformasi 1998. Capaian demokratisasi semestinya dievaluasi, baik secara sistem maupun institusi. Dalam perjalanannya, Indonesia beranjak dari sistem pemerintahan yang otoriter ke reformasi politik, kemudian pengantar demokrasi, lalu penguatan demokrasi.
”Kalau di era penguatan demokrasi saja masih ada orang yang terganjal haknya untuk mengungkapkan pendapat di muka umum, berarti ada yang harus diperbaiki,” ujarnya.
Menurut dia, hal itu bisa dimulai dengan reformasi parpol. Sebab, di tengah sistem pemerintahan yang sudah menerapkan desentralisasi, sebagian besar parpol justru menganut sistem sentralisasi. Oleh karena itu, kedaulatan anggota atau kader parpol pun dipertanyakan karena mereka hanya mengikuti pimpinan partai. Sementara pengisian berbagai jabatan publik, termasuk presiden, berasal dari kader parpol.