Ketua MPR: Sangat Berbahaya jika Pancasila Tak Lagi Diamalkan
Hari Lahir Pancasila menjadi momentum memperkuat implementasi Pancasila pada penyelenggaraan negara. Baik dalam pemerintahan maupun penyusunan undang-undang.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seluruh pejabat penyelenggara negara diminta untuk tidak sekadar memperingati Hari Lahir Pancasila secara seremonial. Pancasila harus menjadi jalan hidup bangsa yang diterapkan dalam penyelenggaraan negara.
Ketua MPR Bambang Soesatyo seusai mengikuti upacara Hari Lahir Pancasila yang dihadiri Presiden Joko Widodo di Ende, Nusa Tenggara Timur, Rabu (1/6/2022), mengatakan, Pancasila harus menjadi jalan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dasar negara tidak boleh sekadar menjadi bahan hafalan ataupun hiasan dinding. Nilai-nilai Pancasila perlu dibumikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, tidak terkecuali oleh para pejabat.
Ia pun mengingatkan para pejabat agar tidak sekadar memperingati Hari Lahir Pancasila secara seremonial. Dirinya dan pejabat lain harus mampu menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam mengatur penyelenggaraan negara. Dengan begitu, mereka akan mampu menata kehidupan warga dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
”Sangat berbahaya jika para pejabat dan rakyat tidak lagi menghayati dan mengamalkan Pancasila,” kata Bambang yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Partai Golkar.
Menurut dia, Indonesia merupakan negara yang sangat luas dengan komposisi penduduk beragam. Tanpa dasar negara yang mempersatukan, masyarakat berpotensi terpecah belah. Di tengah konteks tersebut, Pancasila hadir sebagai fondasi yang kuat dalam menopang seluruh warga dan mengikatnya menjadi sebuah kekuatan besar.
Namun, bangsa Indonesia menghadapi tantangan berat ke depan. Segala upaya untuk merusak ideologi Pancasila harus diwaspadai. Termasuk serangan dari ideologi lain yang tidak sejalan dengan nilai kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Selain itu, kata Bambang, implementasi Pancasila di dalam negeri hendaknya tidak mundur. Berkaca pada sejarah, rumusan Pancasila pernah mengguncang dunia saat Presiden Soekarno memperkenalkannya melalui pidato di hadapan Kongres Amerika Serikat, 17 Mei 1956, serta dilanjutkan dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa XV, 30 September 1960.
Dengan Pancasila, Indonesia pernah menjadi ujung tombak dalam menstabilkan dunia yang terbelah akibat Perang Dunia II. Konsepsi Pancasila juga disambut baik oleh negara-negara Asia dan Afrika sehingga berhasil menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, Jawa Barat.
”Sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno, Pancasila sebagai ideologi, falsafah, dan pemersatu bangsa telah memberikan inspirasi dan landasan moral bagi bangsa Indonesia membuktikan diri sebagai bangsa yang berketuhanan, berperikemanusiaan, memegang teguh persatuan, mengutamakan musyawarah, dan adil dalam mewujudkan kesejahteraan,” kata Bambang.
Selain itu, Pancasila juga merepresentasikan nilai-nilai universal yang dapat diterima semua golongan serta mengakomodasi semua kepentingan. Hal itu tidak hanya mempersatukan bangsa, tetapi juga diyakini bisa diterima oleh masyarakat global.
Muliakan manusia
Secara terpisah, Ketua DPR Puan Maharani mengatakan, Hari Lahir Pancasila merupakan refleksi perjuangan untuk memuliakan manusia dan mewujudkan perdamaian dunia. Hal itu sama-sama diperlukan dalam konteks pandemi Covid-19 yang belum usai serta konflik geopolitik yang melanda dunia. ”Pandemi dan perang sama-sama memakan korban manusia. Karenanya, refleksi atas kemanusiaan yang adil dan beradab di Hari Lahir Pancasila menjadi sangat relevan,” ujarnya.
Ia mengatakan, kemanusiaan yang adil dan beradab atau sila kedua Pancasila diformulasikan Presiden Soekarno dalam pidato di Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945, dengan konsep ”internasionalisme” atau ”perikemanusiaan”. Tujuannya adalah untuk memuliakan hak asasi manusia (HAM) sekaligus memperjuangkan perdamaian dan keadilan dunia.
Selain itu, kata politisi senior PDI-P ini, prinsip tersebut juga dicetuskan Bung Karno agar bangsa Indonesia tidak menganut nasionalisme sempit atau chauvinisme. Akan tetapi, juga tidak menganut kosmopolitanisme yang antikebangsaan. Indonesia dicita-citakan sebagai bangsa yang mampu mewujudkan persaudaraan dunia.
”Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme,” kata Puan mengutip Bung Karno yang juga kakeknya.
Menurut Puan, DPR telah merealisasikan sila kedua Pancasila itu dengan mengesahkan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Melalui tugas konstitusionalnya, DPR bermaksud memuliakan serta melindungi harkat dan martabat manusia. Tidak terkecuali perempuan.
Langkah itu juga tidak akan berhenti setelah UU TPKS disahkan. Puan berjanji untuk melanjutkannya dengan produk legislasi lain. Salah satunya Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak yang saat ini sedang dibahas di Badan Legislasi DPR. ”Kami ingin negara hadir untuk menyejahterakan ibu dan anak, sejak di dalam kandungan, kelahiran, dan pasca-kelahiran. Semua ini demi memajukan dan memuliakan manusia,” ujarnya.