Pembelahan Masyarakat dan Pudarnya Semangat Pancasila
Sudah 77 tahun berlalu setelah kelahiran Pancasila, pengorbanan para pendiri bangsa dalam melahirkan Pancasila tercoreng dengan adanya polarisasi masyarakat. Keterbelahan akibat politik identitas dalam pemilu.
Lahir dari proses panjang yang melibatkan partisipasi berbagai unsur dan golongan, Pancasila merekam jiwa besar dan pengorbanan dari para pendiri bangsa untuk mempersatukan Indonesia. Namun hampir delapan dekade setelah kelahirannya, semangat Pancasila mulai tercoreng akibat politik identitas. Mampukah bangsa Indonesia kembali pada hakikat Pancasila?
Sabtu, 18 Agustus 1945. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11.00, namun anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) belum juga berkumpul di Gedung Tyuuoo Sangi In, Jakarta. Padahal, mereka diagendakan untuk mengikuti rapat penyusunan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia sejak 1,5 jam sebelumnya. Sebanyak 25 anggota PPKI yang dipimpin oleh Ketua Soekarno dan Wakil Ketua Moh Hatta baru bisa lengkap dan memulai rapat pada pukul 11.30.
Keterlambatan selama dua jam itu tercatat dalam Himpunan Risalah Sidang-sidang dari Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan PPKI yang Berhubungan dengan Penyusunan UUD 1945, terbitan Kementerian Sekretariat Negara. Tak seperti terlambat yang umumnya berkonotasi negatif, mundurnya jadwal rapat kali itu telah mengubah sejarah, dengan menunjukkan jiwa besar para pendiri bangsa untuk mempersatukan Indonesia.
Jelang rapat, suasana kebatinan anggota PPKI dipenuhi pertentangan terkait isi Piagam Jakarta yang akan disahkan menjadi Pembukaan UUD 1945. Dalam naskah Piagam Jakarta, terdapat “tujuh kata” yang dinilai mengandung perlakuan khusus bagi umat Islam. “Tujuh kata” yang dimaksud adalah sila pertama Pancasila, yaitu, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Baca juga: Dari Ende, Presiden Ajak Semua Anak Bangsa Membumikan Pancasila
Bunyi sila tersebut berbeda dengan rumusan awal Pancasila yang berasal dari pidato Soekarno pada sidang BPUPKI, 1 Juni 1945. Saat itu, Soekarno mengungkapkan substansi lima dasar negara, yakni kebangsaan Indonesia; internasionalisme atau kemanusiaan; mufakat atau demokrasi; kesejahteraan sosial; dan ketuhanan yang berkebudayaan. Bunyi sila dan urutan yang dikemukakan Soekarno kemudian diatur kembali oleh Panitia Sembilan dalam bentuk Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, yang juga dipimpin oleh Bung Karno.
Piagam Jakarta dengan “tujuh kata” bertahan hingga proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Sejumlah tokoh sempat menyatakan ketidaksetujuan karena dianggap meminggirkan kelompok di luar Islam. Bahkan, penolakan juga disampaikan oleh perwakilan dari Indonesia Timur kepada Hatta, sore hari setelah proklamasi.
Dalam autobiografinya yang berjudul Mohammad Hatta:Memoir, Bung Hatta mengakui, telah mendekati tokoh-tokoh Islam untuk menghapus “tujuh kata” dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” untuk menjaga persatuan bangsa. Pagi hari sebelum rapat PPKI dimulai, ia mengadakan rapat pendahuluan bersama dengan Teuku Hasan, Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikoesoemo, dan Kasman Singodimejo.
Dalam pertemuan sekitar 15 menit itu, tak semua tokoh langsung menerima usulan Hatta. Ki Bagus Hadikoesoemo, misalnya, harus diyakinkan oleh Teuku Hasan dan Kasman Singodimejo dengan berbagai argumentasi persuasif, hingga akhirnya legawa untuk menghapus “tujuh kata” di Piagam Jakarta.
Menurut dia, adanya “tujuh kata” dalam Pancasila yang menjadi landasan pokok bagi UUD sama saja dengan menerapkan diskriminasi pada golongan minoritas. Hal itu merupakan ancaman yang sangat serius bagi persatuan dan kesatuan bangsa. “Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia,” tulis Hatta.
Yudi Latif, dalam buku Negara Paripurna mengatakan, pencoretan “tujuh kata” tersebut memang menimbulkan kekecewaan bagi sebagian kelompok Islam, karena dianggap melanggar kompromi sebelumnya. Hal itu sekaligus menunjukkan adanya semangat politik identitas yang lebih terasosiasi dengan ingatan pedih ke belakang ketimbang visi ke depan. Namun, dalam suasana politik yang lebih lapang, terjaminnya kewajaran, kebebasan, dan keadilan dalam kehidupan publik, semangat politik identitas dengan sendirinya mereda.
Kesediaan kelompok Islam mencoret “tujuh kata” itu menunjukkan, moral gotong royong yang menjadi dasar Pancasila dan moral kekeluargaan sebagai dasar sistematik UUD telah dipenuhi. “Negara Indonesia benar-benar menjadi negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan,” tulis Yudi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Rabu (1/6/2022), mengatakan, lahirnya Pancasila merupakan rangkaian peristiwa besar. Dimulai dari 1 Juni 1945, ketika Bung Karno mengemukakan istilah Pancasila dan menyampaikan substansinya, kelahiran Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 lahir Piagam Jakarta, dan pengesahan Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila dan seluruh batang tubuh UUD 1945 pada 18 Agustus 1945.
Ia menambahkan, Pancasila adalah bukti kesepakatan luhur yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kesepakatan dalam perjanjian kolektif. “Dengan Pancasila, kita bersatu dalam titik temu, bersatu dalam keragaman,” kata Mahfud.
Pembelahan masyarakat
Namun, 77 tahun setelah kelahiran Pancasila, pengorbanan para tokoh itu tercoreng dengan adanya polarisasi masyarakat. Keterbelahan yang terjadi akibat politik identitas yang digunakan dalam kampanye politik elite pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019 masih terasa hingga saat ini, terutama di media sosial.
Hal itu terekam dalam analisis Drone Emprit terhadap percakapan di Twitter sepanjang 1 Juli 2015—16 April 2022. Dalam tujuh tahun terakhir, ditemukan lebih dari 14 juta percakapan pengguna Twitter yang menggunakan sebutan “cebong”, “kampret”, “buzzerp”, dan “kadrun”.
Setiap sebutan terasosiasi dengan calon presiden (capres) yang didukung pada dua pilpres terakhir. Misalnya, “cebong” identik dengan kelompok pendukung Joko Widodo, sedangkan “kampret” merupakan sebutan untuk pendukung Prabowo Subianto. Kemudian “buzzerp” diidentikkan pada akun-akun yang dianggap sebagai antek oligarki, sedangkan “kadrun” adalah kelompok agamis yang berseberangan dengan pemerintah.
Sejak dimulai pada 2015, tradisi penyebutan kelompok warganet ini terus berlangsung hingga saat ini. Bahkan, ada kecenderungan polarisasi masyarakat yang dilabeli dengan nama-nama tersebut seolah dipelihara agar terus berjalan. “Semakin sering panggilan-panggilan ini disebutkan, semakin polarisasi jadi besar dan terus terjaga,” kata Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit, melalui keterangan tertulis.
Pelabelan itu kerap digunakan warganet dalam menanggapi isu publik dan mengolok-olok satu sama lain, sehingga berpotensi mengakibatkan konflik horizontal. Misalnya, dalam pro kontra kasus pemecatan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Begitu juga ketika terjadi pemukulan terhadap pegiat sosial media sekaligus dosen Universitas Indonesia, Ade Armando, dalam demonstrasi mahasiswa, April lalu. Pada bulan yang sama, mantan Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany juga menjadi sasaran pelabelan setelah memutuskan mengundurkan diri dari partainya.
Baca juga: Stop Politik Identitas untuk Hentikan Spiral Kekerasan
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, sepakat, polarisasi masyarakat akibat politik identitas menunjukkan bahwa semangat Pancasila semakin meluntur di tengah masyarakat. Namun, hal itu juga dipengaruhi banyak hal lain. Mulai dari kontestasi politik, hingga disrupsi sosial ekonomi.
Menurut dia, ke depan, penggunaan politik identitas harus dicegah karena dapat menyebabkan perpecahan bangsa. “Elite politik dan aspiran jabatan publik lewat pemilu atau pilkada harus mengendalikan diri untuk tidak mengangkat atau menggunakan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Para pendukung calon masing-masing juga harus menghindari diri dari labelisasi kelompok lawan politik semacam kadrun, cebong, kampret,” kata Azra.
Dalam konteks tersebut, ia mengingatkan, elite politik hendaknya segera berhenti menjadikan Pancasila sekadar pemanis bibir belaka. Mereka harus bersungguh-sungguh melaksanakan nilai Pancasila dalam semua tindakan dan kebijakan yang dibuat. Juga menjadi teladan pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Tahan banting
Yudi Latif yang juga anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) saat dihubungi, Rabu, menambahkan, Pancasila dengan kelima silanya dapat menjangkarkan segala perbedaan pada esensi pokok kodrat manusia.
Mulai dari manusia sebagai makhluk rohani, makhluk universal yang harus mengembangkan semangat persaudaraan kemanusiaan, hingga makhluk sosial yang perlu ruang hidup konkret dan pergaulan hidup dalam kemajemukan. Selain itu, Pancasila juga meyakini kodrat manusia sebagai makhluk sosial menempuh semangat cinta kasih dalam mengambil keputusan untuk masalah bersama, serta makhluk jasmani dengan berbagai kebutuhan material serta mencintai sesama dengan berbagi kebutuhan secara adil.
Oleh karena itu, Pancasila menjadi ideologi tahan banting yang bisa tetap relevan di tengah segala arus perubahan. Tidak terkecuali di era disrupsi digital yang terjadi seiring dengan perkembangan teknologi. Berbeda dengan ideologi-ideologi dominan yang ada di dunia, seperti kapitalisme dan komunisme, yang mendasarkan sumber ketegangan sosial hanya pada relasi ekonomi, Pancasila memiliki jangkauan visi yang lebih luas.
Baca juga: Ketua MPR: Sangat Berbahaya jika Pancasila Tak Lagi Diamalkan
“Lima sila Pancasila mengantisipasi kemungkinan konflik sosial dari lima bentuk relasi sosial, yaitu relasi keagamaan, relasi internasional, relasi antaretnis atau antargolongan, relasi politik-kepartaian, dan relasi ekonomi,” kata Yudi.
Namun, Pancasila yang ideal harus didekatkan pada realitas. Keampuhannya sebagai ideologi menuntut agar Pancasila menjadi “ideologi kerja” dalam praksis pembangunan.
Artinya, ideologi Pancasila harus menjadi kerangka paradigmatik dalam pembangunan nasional. Baik dalam tata nilai dan kualitas manusia, tata kelola kelembagaan sosial politik dan kebijakan pemerintahan, tata ekonomi kesejahteraan berkeadilan dan berkemakmuran. Hal itu juga perlu didukung kedalaman penetrasi praksis ideologi Pancasila yang menyentuh keyakinan, pengetahuan, dan tindakan.
Jika Pancasila sebagai ideologi mampu bertahan pada semua arus perubahan, kini bangsa Indonesia yang harus menjawab. Mampukah kita?