Mangkir dari Dewas KPK, Dirut Pertamina Dinilai Tak Dukung Pemberantasan Korupsi
MAKI berencana melayangkan surat kepada Komisaris Utama PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama agar segera memerintahkan Dirut Pertamina Nicke Widyawati untuk memenuhi panggilan Dewan Pengawas KPK.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi menyebut Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati tidak kooperatif lantaran tidak memenuhi panggilan permintaan klarifikasi terkait kasus dugaan pelanggaran kode etik oleh Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar, yakni dugaan menerima fasilitas menonton MotoGP 2022 di Mandalika dari Pertamina. Jika Nicke tetap enggan hadir, ini bisa dianggap sebagai nihilnya komitmen Pertamina dalam mendukung pemberantasan korupsi.
Pada pertengahan April 2022, Lili Pintauli Siregar dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas dugaan menerima fasilitas, salah satunya tiket menonton MotoGP 2022 di Sirkuit Internasional Mandalika, Nusa Tenggara Barat, dari Pertamina. Bahkan, Direktur Utama (Dirut) Pertamina Nicke Widyawati seharusnya dimintai keterangan oleh Dewas pada Kamis (21/4/2022). Namun, hingga kini, Nicke tak kunjung memenuhi panggilan Dewas tersebut.
Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris melalui keterangan tertulis, Selasa (26/4/2022), mengatakan, klarifikasi terhadap Lili tertunda karena pengumpulan bahan dan keterangan dari pihak eksternal belum selesai. Klarifikasi terhadap pihak Pertamina belum tuntas karena Dirut Pertamina tidak kooperatif.
”Sudah diundang klarifikasi dan dijadwal ulang, tetapi tidak hadir. Dewas berharap Dirut Pertamina bisa bekerja sama dan bersikap kooperatif dalam mengungkap dugaan pelanggaran etik yang dilakukan ibu LPS (Lili Pintauli Siregar),” ujar Syamsuddin.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyampaikan, pihaknya akan mengirimkan surat kepada Komisaris Utama PT Pertamina Basuki Tjahaja Purnama agar segera memerintahkan Dirut Pertamina memenuhi panggilan Dewas KPK.
Berdasarkan informasi yang diperolehnya, Dirut Pertamina meminta penundaan pada panggilan pertama, tetapi hingga kini belum hadir atas permintaannya sendiri. ”Untuk itu, MAKI akan mengirim surat kepada Pak Basuki untuk memerintahkan Dirut Pertamina segera hadir ke Dewas KPK. Surat ini dimaksudkan agar pemeriksaan dugaan pelanggaran etik oleh LPS segera tuntas dan segera disidangkan,” kata Boyamin.
Lili belum membalas permintaan konfirmasi dari Kompas. Vice President Corporate Communication PT Pertamina Fajriyah Usman dan Basuki juga belum merespons pesan singkat Kompas hingga berita ini diturunkan.
Tak mendukung pemberantasan korupsi
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menyampaikan, setiap warga negara harus mendukung upaya penegakan kehidupan bernegara yang etis. Terlebih bagi penyelenggara negara, mereka memiliki kewajiban untuk ikut mendukung terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang menjunjung tinggi nilai etika.
Persidangan etik ini menjadi salah satu cara untuk menegakkan kode etik di internal KPK. Oleh karena itu, siapa pun warga negara yang dipanggil, mereka wajib memenuhi panggilan tersebut.
”Kalau kewajiban hukum, kan, kalau tidak hadir berarti akan kena konsekuensi hukum, sedangkan ini tidak ada. Jadi, ini lebih kepada kepatutan dari seorang warga negara atau badan usaha untuk mendukung upaya penegakan etik dalam kehidupan bernegara,” ucap Zaenur.
Pemenuhan panggilan ini, menurut Zaenur, menjadi bagian dari komitmen pemberantasan korupsi. Sebab, kode etik itu juga menjadi bagian penting dalam upaya menegakkan integritas dan menegakkan nilai-nilai antikorupsi.
”Dalam konteks ini, tentu, kalau Dirut Pertamina enggan untuk menghadiri panggilan dari Dewas KPK, itu menunjukkan nihilnya, tiadanya komitmen dari Pertamina untuk mendukung pemberantasan korupsi,” tutur Zaenur.
Zaenur pun menyebut, Dewas tidak memiliki kewenangan untuk menghadirkan Dirut Pertamina secara paksa ke persidangan etik. Sebab, kewenangan itu tidak diberikan oleh undang-undang.
Ia mengatakan, sikap tidak kooperatif Dirut Pertamina ini menunjukkan bahwa Dewas tidak cukup disegani. Publik melihat kinerja Dewas selama ini tidak bisa menunjukkan integritas. Misalnya, di dalam putusan-putusan terdahulu terkait Lili, Dewas dianggap sangat lembek sehingga hal ini tidak memunculkan respek dari pihak luar.
Untuk diketahui, pada akhir Agustus 2021, Lili terbukti melanggar etik karena telah menyalahgunakan pengaruh selaku unsur pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi serta berkomunikasi dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani KPK, yakni bekas Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial. Atas pelanggaran tersebut, Lili dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama satu tahun.
Selanjutnya, pada 20 April 2022, Dewas KPK menyatakan, Lili telah terbukti melakukan kebohongan dalam jumpa pers pada 30 April 2021. Saat jumpa pers itu, Lili menepis telah menjalin komunikasi dengan M Syahrial terkait penanganan perkara. Namun, Dewas memutuskan tak melanjutkan kasus itu ke tahap sidang etik karena menganggap sanksi untuk Lili telah diserap dalam kasus komunikasi dengan M Syahrial.
”Respek itu hadir kalau misalnya Dewas ini dalam melakukan kerja-kerjanya dapat menunjukkan ketegasan. Tetapi, kan, nyatanya, Dewas tidak bisa tegas. Nah, ini yang membuat Dewas tidak mendapatkan respek dari pihak luar,” ujar Zaenur.
Di tengah situasi seperti itu, Dewas tidak bisa terus bergantung pada pemeriksaan Dirut Pertamina. Dewas harus mencari alat bukti lain, seperti mencari saksi pihak lain atau memeriksa alat-alat bukti lain. “Dewas harus tetap melanjutkan meski tidak memperoleh keterangan dari Dirut Pertamina yang seharusnya dapat menjadi saksi,” kata Zaenur.
Selanjutnya, jika memang Dewas memiliki alat bukti yang sangat kuat terkait adanya gratifikasi yang diterima oleh Lili, maka Dewas perlu menindaklanjuti temuan tersebut. Dengan begitu, proses tersebut tidak sekadar berhenti di tataran etik karena sudah merupakan suatu bentuk tindak pidana.
Bahkan, jika Dewas bisa menunjukkan sikap yang serius, maka nanti Dewas bisa melaporkan pihak dari Pertamina sebagai pemberi. Tentu, hal itu harus didukung alat bukti yang kuat. ”Pertamina baru akan takut kalau levelnya ada di level penyidikan, ada di level penegakan hukum pidananya, bukan di level etiknya,” ucap Zaenur.