Gunakan Perspektif Warga Asli dalam Mengkaji Papua
Pemerintah perlu mendengar perspektif warga asli Papua guna mengetahui pendekatan yang tepat untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Bumi Cendrawasih.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Ketahanan Nasional diharapkan menggunakan pendekatan yang sesuai dengan ekspektasi dan kebutuhan orang Papua dalam melihat pendekatan kesejahteraan yang diterapkan di Bumi Cendrawasih itu. Sebab, jika kajian dilakukan dengan menggunakan sudut pandang pemerintah atau orang di luar Papua saja, hasilnya dikhawatirkan akan bias.
Sebelumnya, saat bertemu dengan Wakil Presiden Ma’ruf Amin di kediaman resmi wapres, Gubernur Lemhanas Andi Wijayanto diminta untuk melakukan kajian khusus mengenai Papua. Kajian dilakukan untuk memastikan bahwa perubahan pendekatan yang diterapkan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan Papua akan membawa dampak signifikan (Kompas, 20/4/2022).
Terkait hal itu, Kepala Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mardyanto Wahyu Tryatmoko mengatakan, sudut pandang yang tepat dalam melakukan kajian terhadap Papua akan menghasilkan rekomendasi yang sangat berarti bagi upaya mengatasi persoalan Papua. Kajian mengenai Papua pun sebenarnya sudah kerap kali dilakukan oleh banyak pihak, baik akademisi, pemerintah, maupun BRIN.
Namun, sudut pandang yang berbeda-beda dalam riset itu akan melahirkan hasil dengan kecenderungan yang berbeda pula. Misalnya, dulu ada pendekatan berorientasi pembangunan dengan meminta masyarakat Papua mengganti koteka dengan celana. Atau ada juga pembangunan perumahan seperti umumnya di Jawa di wilayah pegunungan tengah Papua. Semuanya ternyata tidak berhasil sesuai harapan.
”Kenapa orang Papua masih mengenakan koteka, itu karena merupakan bagian dari adat dan kehidupan mereka. Demikian pula dalam memahami kenapa rumah-rumah di pegunungan tengah itu akhirnya banyak tidak dihuni oleh warga Papua dan mereka lebih memilih tidur di honai, itu juga karena ada unsur adat dan relasi kehangatan keluarga yang menjadikan honai sebagai hunian orang Papua,” kata Mardyanto, Rabu (20/4/2022) di Jakarta.
Oleh karena itu, guna memberikan pendekatan yang tepat bagi Papua, upaya dialog dengan masyarakat Papua harus dilakukan. Dengan demikian, pemerintah dapat mengetahui apa yang menjadi ekspektasi dan kebutuhan masyarakat Papua. Pendekatan kesejahteraan sebagaimana dilakukan pemerintah pusat boleh jadi tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat Papua sebab pendekatan itu bersifat relatif.
Guna memberikan pendekatan yang tepat bagi Papua, upaya dialog dengan masyarakat Papua harus dilakukan. Dengan demikian, pemerintah dapat mengetahui apa yang menjadi ekspektasi dan kebutuhan masyarakat Papua.
”Dialog menjadi penting untuk memahami ekspektasi dan kebutuhan masyarakat Papua. Selama ini, beberapa studi dan kajian tentang Papua sebenarnya juga sudah menjawab persoalan mendasar di Papua,” katanya.
Setidaknya ada tiga temuan umum yang diperoleh dari berbagai kajian dan studi itu. Pertama, persoalan hak asasi manusia (HAM) dan keamanan; persoalan mengenai integrasi Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); dan kesenjangan sosial/ekonomi.
Mardyanto mengatakan, penuntasan masalah HAM setidaknya akan menyelesaikan sebagian besar persoalan di Papua. Adapun persoalan integrasi Papua ke Indonesia yang masih dipertanyakan dapat diselesaikan dengan pendekatan dialog intensif dengan masyarakat adat dan tokoh-tokoh Papua. Selain itu, kesenjangan sosial dan ekonomi dapat secara simultan diselesaikan.
Membangun kepercayaan
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam, mengatakan, salah satu yang paling penting dalam konteks penyelesaian konflik Papua ialah membangun kepercayaan (trust building). Kepercayaan ini dapat dibangun melalui berbagai Langkah. Salah satunya ialah menyelesaikan agenda-agenda keadilan, termasuk di dalamnya ialah agenda penanganan pelanggaran HAM di Papua.
”Mengenai pendekatan kesejahteraan itu semestinya tidak dipahami sepotong-sepotong. Karena, kalau hanya pendekatan kesejahteraan, apa bedanya penanganan Papua ini dengan daerah lainnya,” katanya.
Pelaksanaan semua pendekatan di Papua haruslah dilakukan untuk membangun kepercayaan. Ini menjadi fondasi dasar. ”Jalannya bisa melalui kesejahteraan, jalan pembangunan, dan sebagainya, tetapi yang paling utama adalah trust building,” ucapnya.
Sementara itu, dalam keterangan tertulisnya, Majelis Rakyat Papua (MRP) terus menyuarakan penundaan pembentukan tiga provinsi baru. Untuk kepentingan itu, MRP menemui sejumlah menteri dan pimpinan partai politik nasional. Di antaranya Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang juga merupakan Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa yang merupakan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan.
Menurut Ketua MRP Timotius Murib, pertemuan-pertemuan itu dimaksudkan untuk menyuarakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat orang asli Papua sesuai tugas dan kewenangan MRP.
”MRP telah menerima aspirasi masyarakat orang asli Papua. Sebagian besar menolak pemekaran Papua menjadi provinsi-provinsi karena dilakukan tanpa persetujuan MRP dan DPRP. Oleh karena itu, kami amat berharap adanya kebijaksanaan para pemimpin partai politik dan para menteri terkait. Minimal kebijakan DOB dapat ditunda,“ kata Timotius seusai bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di Kompleks Widya Chandra, Jakarta, Rabu.
Timotius didampingi Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait dan para anggota staf MRP Onias Wenda dan Andreas Goo, Profesor Joram Wambrauw, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.