Sebagai sebuah ideologi, Pancasila berkarakter halus dan mengutamakan keharmonisan. Hanya saja, di tataran praktik, Pancasila tidak mudah diimplementasikan. Pancasila belum menjadi karakter warga bangsa.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai sebuah ideologi, Pancasila memiliki kekhasan tersendiri, sesuai dengan tempat di mana ideologi ini tumbuh. Sayangnya, saat ini Pancasila menghadapi tantangan berat karena Pancasila cenderung jatuh di tataran idealisme semata dan belum menyatu menjadi karakter warga bangsa. Padahal, dengan nilai-nilai luhurnya, Pancasila berpotensi menjadi ideologi alternatif dunia, termasuk di negara-negara kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Pendiri Karakter Pancasila Foundation, Zaim Uchrowi, mengatakan, sebagai sebuah ideologi, Pancasila berkarakter halus dan mengutamakan keharmonisan. Oleh karena itu, sikap tenggang rasa, jujur, dan gotong royong menjadi elemen penting dalam ideologi ini. Hanya saja, di tataran praktik, Pancasila tidak mudah diimplementasikan.
Sebagai contoh, ujaran kebencian antar-anak bangsa dan kekerasan yang baru-baru ini menimpa pengajar Universitas Indonesia, Ade Armando, menurut Zaim, menunjukkan bagaimana di tataran internal Indonesia sendiri, Pancasila patut direnungkan kembali, apakah sungguh ideologi tersebut telah menjadi jalan hidup, dan yang lebih penting lagi apakah Pancasila telah menjadi karakter orang per orang warga bangsa.
”Ketika terjadi pengeroyokan Ade Armando, kekerasan fisik dan kekerasan verbal, ini bukanlah implementasi Pancasila. Ini tantangan yang tidak mudah. Karena itu, saya pribadi berpendapat bahwa apa yang dinilai ideal itu bisa kita kembangkan ke luar (ke dunia), setelah kita mengembangkan secara pada diri sendiri, yakni Pancasila sebagai suatu karakter,” katanya saat menjadi salah satu narasumber dalam webtalks Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) bertajuk ”Pancasila sebagai Alternatif Ideologi Dunia (Perspektif dari Timur Tengah dan Afrik Utara)”, Selasa (19/4/2022).
Diskusi itu menghadirkan pula wartawan Kompas yang bertugas di wilayah Timur Tengah, Musthafa Abd Rahman. Diskusi dipandu oleh Bambang Susanto, pemerhati masalah internasional.
Menurut Zaim, sebelum Pancasila ditawarkan sebagai ideologi alternatif di tengah dunia yang serba tidak pasti, tidak menentu, dan diwarnai dominannya ukuran material, warga bangsa Indonesia harus terlebih dulu mendudukkan Pancasila sebagai karakter diri. Dengan demikian, Pancasila tidak hanya menjadi nilai-nilai ideal yang tidak tergambarkan dalam kehidupan sehari-hari warga bangsa.
Jepang, misalnya, tidak memiliki satu ideologi tertentu yang dirumuskan secara konkret. Namun, ketika melihat sikap hidup orang Jepang, orang akan dengan mudah menemukan karakter-karakter baik di dalam orang Jepang. Hal itu, lanjut Zaim, menunjukkan bagaimana suatu ideologi telah diturunkan dalam tataran implementasi dan tumbuh menjadi karakter warga bangsa.
Fenomena ideologi yang ditanamkan menjadi karakter itu agaknya belum terjadi pada Pancasila. Selama ini, Pancasila hidup sebagai nilai-nilai baik yang dijunjung tinggi, tetapi acap kali gagap dalam penerapannya. Oleh karena itu, menempatkan Pancasila sebagai suatu ideologi alternatif dunia adalah mungkin saja sepanjang Pancasila terlebih dulu dibuktikan menjadi karakter bangsa Indonesia.
”Bagaimana membuat Pancasila tadi mengglobal, di situlah tantangan, karena dengan cirinya yang halus, Pancasila tidak cukup memiliki daya desak untuk membuat orang lain dengan cepat mengadopsi. Jangankan ke orang lain, ke kita sendiri juga tidak mudah untuk sungguh-sungguh mengikuti nilai-nilai ideologi itu,” kata Zaim.
Piagam Madinah
Musthafa Abd Rahman mengatakan, semangat Pancasila yang menghargai kebinekaan, sekaligus mendorong terjadinya persatuan, sejatinya adalah misi dan semangat yang sama ditorehkan oleh Piagam Madinah. Baik Piagam Madinah maupun Pancasila dirumuskan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.
”Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah, Madinah ketika itu adalah wilayah yang majemuk. Ada Muslim, Yahudi, dan kelompok lain yang masih musyrik. Nabi menyadari pluralisme masyarakat Madinah itu, dan lahirlah Piagam Madinah yang di zamannya merupakan konstitusi paling modern,” katanya.
Jika Piagam Madinah dibuat pada 622 Masehi, Pancasila yang lahir pada 1945 disadari memiliki semangat serupa. Dipisahkan waktu berabad-abad, Indonesia memiliki ideologi dengan misi dan semangat yang sama dengan era Nabi Muhammad SAW.
”Maka bisa disebut Piagam Madinah itu diterapkan di Indonesia atas nama Pancasila. Seandainya bangsa Arab ini berkomitmen menjalankan Piagam Madinah, atau dengan kata lain Piagam Madinah terus terlaksana dalam kehidupan bangsa Arab beberapa abad kemudian, niscaya kenyataan bangsa Arab akan berbeda dengan yang terjadi saat ini,” ungkap wartawan senior itu.
Musthafa melihat, kondisi bangsa Arab saat ini jauh dari apa yang dipesankan di dalam Piagam Madinah. Legitimasi kekuasaan masyarakat Arab dikuasai oleh dua sumber, yakni monarki dan diktator militer. Negara bangsa di Arab atau Timur Tengah menyadari tidak adanya ideologi yang menyatukan mereka ketika fenomena Arab Spring muncul.
Para ilmuwan Arab melihat, krisis yang terjadi di negara-negara Arab lantaran para founding fathers (pendiri bangsa) mereka tidak segera merumuskan ideologi negara, sebagaimana itu terjadi di negara lain, seperti Indonesia.
”Ketika Arab Spring muncul, sempat terjadi demokrasi. Tetapi, kemudian jatuh lagi ke tangan rezim militer. Rezim berusaha mempertahankan kekuasaannya, dan sengaja tidak merumuskan ideologi, sebaliknya justru berusaha bagaimana rakyat ini terus tunduk,” kata Musthafa.
Dengan situasi masyarakat Arab yang demikian itu, menurut dia, mereka akan sulit menerima Pancasila sebagai ideologi alternatif. Kendati Pancasila sesungguhnya memiliki misi dan semangat luhur sebagaimana Piagam Madinah dulu.
Masa depan Arab dan Timur Tengah kini adalah China. Sebab, lanjutnya, mereka melihat China dengan kepemimpinan yang diktator ternyata dapat maju sedemikian rupa dan mereka ingin meniru itu. Sulit untuk membayangkan negara Timur Tengah melahirkan atau menerapkan ideologi seperti Pancasila.