Perlindungan Hak Cipta Dibayangi Tingginya Ongkos Pencatatan hingga Problem Royalti
Pemerintah mendorong masyarakat untuk mendaftarkan kekayaan intelektual yang diciptakan sebelum diklaim pihak lain. Di sisi lain, pemerintah diharapkan memberikan pelindungan hukum kepada pemegang hak cipta.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Idris Pasaribu dengan penuh antusias mengungkapkan kepada kawannya tentang pengalamannya mendaftarkan setiap karya buku yang ia ciptakan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sebagai penulis, ia mengaku selama ini dibebani biaya pencatatan hak cipta sebesar Rp 400.000 untuk setiap karya.
”Padahal, untuk menghasilkan sebuah karya buku, penulis harus melakukan riset yang mencapai satu hingga dua tahun. Penulisannya pun bisa mencapai tiga bulan,” tuturnya.
Lain halnya di Malaysia, menurut Idris, rekannya sesama penulis bisa mendapatkan subsidi dan hak cipta penerbitan buku gratis. Ia berharap agar ada keringanan atau digratiskan untuk biaya pencatatan hak cipta dari setiap karya yang diciptakan. Jika tidak, maka akan semakin sedikit buku yang dihasilkan. Padahal, buku adalah sumber literasi yang mencerdaskan bangsa.
Sebagai penulis, Idris Pasaribu mengaku selama ini dibebani oleh biaya pencatatan hak cipta sebesar Rp 400.000 untuk setiap karya.
Kawan tempat Idris mencurahkan kegelisahan itu tak lain adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly yang sedang menyosialisasikan pendaftaran kekayaan intelektual lewat sistem pendaftaran daring di acara ”Yasonna Mendengar” di Medan, Sumatera Utara, Selasa (12/4/2022).
Mendengarkan keluhan Idris itu, Yasonna mengungkapkan, pihaknya memahami sebuah buku adalah karya yang penting. Karya dalam bidang temuan, penelitian, novel, atau karya intelektual lainnya memerlukan waktu, inspirasi, dan kontemplasi. Ia pun khawatir akibat minimnya literasi membuat orang menjadi malas membaca buku.
Yasonna kemudian berjanji bahwa Kemenkumham sebagai institusi yang dipimpinnya akan membicarakan persoalan ini dengan Kementerian Keuangan. Selain itu, perlu ada peraturan pemerintah untuk perubahan ketentuan pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Menurut laman Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kemenkumham, biaya pencatatan hak cipta secara daring untuk ciptaan nonperangkat lunak (software) sebesar Rp 200.000 bagi usaha mikro-kecil, lembaga pendidikan, dan lembaga pemerintahan dan Rp 400.000 bagi kalangan umum. Sementara untuk ciptaan perangkat lunak dikenakan biaya Rp 300.000 bagi lembaga pendidikan dan lembaga pemerintahan dan Rp 600.000 bagi kalangan umum.
Kekhawatiran direbutnya hak cipta atas lagu-lagu daerah oleh negara lain diungkapkan oleh Erucakra Mahameru, musisi dari Medan. Ia mengungkapkan kecemasannya karena banyak lagu yang belum dilindungi oleh negara. Salah satu lagu berjudul ”Rasa Sayangev yang berasal dari Maluku sempat diklaim oleh Malaysia. Ia bersyukur Indonesia dapat memenanginya.
Persoalan lain yang mendapatkan perhatian Erucakra adalah banyak kontrak musisi yang dibatalkan secara tiba-tiba dan sepihak. Selain itu, ia berharap pengusaha restoran ditertibkan karena memutar lagu tanpa memberikan royalti kepada pemilik karya tersebut.
Mendengarkan keluhan tersebut, Yasonna mengungkapkan, saat ini sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Selain itu, ia mendorong pihak swasta yang menggunakan lagu untuk membayar royalti kepada pemilik karya tersebut. Hal itu sudah menjadi tugas dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang saat ini dibina oleh Kemenkumham. Ditjen Kekayaan Intelektual sudah mengusulkan Peraturan Menkumham untuk memperbaiki LMKN.
Yasonna menegaskan, pencipta harus sadar untuk mendaftarkan hak cipta atas karyanya supaya terlindungi. Jika ada kesulitan di daerah, pemerintah akan mencoba memfasilitasi. Pencipta harus mendapatkan haknya. Kalau tidak, orang akan enggan menciptakan sebuah inovasi karya.
Wali Kota Medan Bobby A Nasution mengakui banyaknya keluhan terhadap standardisasi tarif bagi musisi. Persoalan tersebut berkaitan dengan pajak. Sebab, pajak hiburan dengan pajak restoran sangat berbeda jauh. Karena itu, ia berharap ada diskusi lebih lanjut antara pemerintah kota bersama dengan pengusaha kafe dan musisi.
Pencatatan hak cipta hanya sebatas memberikan dugaan awal bahwa seseorang dianggap sebagai pencipta atau pemegang hak cipta atas suatu karya.
Perlindungan hukum
Dihubungi secara terpisah, Advokat dan Managing Partner Sheyoputra Law Office Donny A Sheyoputra mengungkapkan, dalam melindungi para pencipta yang mengalami kerugian akibat karyanya dibajak ataupun digunakan secara komersial tanpa izin, tidak cukup dengan pencatatan hak cipta.
Menurut Donny, pencatatan hak cipta hanya sebatas memberikan dugaan awal bahwa seseorang dianggap sebagai pencipta atau pemegang hak cipta atas suatu karya. Negara mendapatkan manfaat dari pencatatan tersebut melalui peningkatan PNBP. Namun, ketika terjadi pelanggaran hak cipta, perlindungan hukum dan layanan yang diberikan terhadap pencipta masih jauh dari memadai.
Ia menjelaskan, Undang-Undang Hak Cipta mengatur bahwa penegakan hukum hak cipta hanya dapat dilakukan jika ada pengaduan dari korban selaku pencipta atau kuasa hukumnya. Jika pelanggaran hak cipta terjadi di banyak tempat, maka pemegang hak cipta kesulitan harus mengadu ke berbagai kepolisian daerah yang membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit.
Selain itu, lanjut Donny, Pasal 95 Ayat (4) menyatakan bahwa sebelum melakukan tuntutan pidana, pencipta wajib melakukan mediasi. Menurut dia, pasal ini justru sangat bertentangan dengan semangat perlindungan hak cipta.
”Ibarat ada orang masuk rumah dan sudah mencuri barang-barang kita, lalu kita diminta mediasi dulu, memintanya baik-baik untuk menghentikan perbuatannya dan keluar dari rumah. Masa dengan pencuri hak kita harus mediasi? Boro-boro diajak mediasi, dikirimi surat teguran pun belum tentu dibaca, dibalas, dan perbuatannya dihentikan kok,” ujar praktisi hukum yang fokus pada persoalan hak atas kekayaan intelektual tersebut.
Donny juga memandang definisi tentang pembajakan, yaitu penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi, itu tidak jelas. Sebab, tidak ada penjelasan pada frasa ”secara luas” untuk memperoleh keuntungan ekonomi dan penggandaan ciptaan.
Situasi diperburuk dengan kualitas layanan penegakan hukum dalam melayani korban pembajakan. Hal ini karena adanya oknum tertentu yang tidak berintegritas ataupun tidak adanya kesamaan persepsi mengenai cara dan tujuan akhir penindakan.
Oleh karena itu, ia berharap negara tidak sebatas melakukan sosialisasi dan edukasi, sedangkan pembajak masih berkeliaran. Negara juga harus memberikan perlindungan dan layanan hukum yang memadai terhadap pencipta.