Rancangan Peraturan Terbaru, Hak Kekayaan Intelektual Bisa Jadi Jaminan Pembiayaan
Peraturan pemerintah terkait Undang-undang Ekonomi Kreatif diperkirakan akan segera terbit. Peraturan itu antara lain menjamin hak kekayaan intelektual sebagai jaminan untuk memperoleh pembiayaan.
JAKARTA, KOMPAS — Selain membentuk badan layanan umum atau BLU sektor ekonomi kreatif, pemerintah berencana merilis skema pembiayaan berbasis hak kekayaan intelektual. Skema pembiayaan untuk produksi, promosi, dan pemasaran ini diharapkan dapat membantu pengembangan produk ekonomi kreatif di Tanah Air.
Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif mengamanatkan skema pembiayaan berbasis hak kekayaan intelektual. Pasal 16 UU No 24/2019 menyatakan, pemerintah memfasilitasi skema pembiayaan berbasis kekayaan intelektual bagi pelaku ekonomi kreatif.
Selain itu, pada Pasal 18 Ayat (1) UU No 24/2019, dalam pengembangan ekonomi kreatif, pemerintah atau pemerintah daerah dapat membentuk badan layanan umum. Guna menjalankan amanat tersebut, sejak UU diundangkan pemerintah berkomitmen merilis peraturan pelaksananya, yakni berupa peraturan pemerintah (PP).
Direktur Regulasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sabartua Tampubolon saat dihubungi di Jakarta, Selasa (25/1/2022), menyatakan, Rancangan PP terkait UU No 24/2019 sudah selesai dibahas dan diharmonisasi. Saat ini, rancangan PP sedang menunggu tanda tangan Presiden RI untuk ditetapkan. Harapannya, PP itu sudah bisa diundangkan dalam waktu dekat.
Inti dari rancangan peraturan pemerintah itu adalah hak kekayaan intelektual bisa jadi jaminan memperoleh pembiayaan.
”Inti dari rancangan PP itu adalah hak kekayaan intelektual bisa jadi jaminan memperoleh pembiayaan. Jadi, kelak, bukan hanya sertifikat hak kekayaan intelektual, melainkan juga kontrak kerja pelaku ekonomi kreatif yang melibatkan/berisi hak kekayaan intelektual, dan bukti hak tagih kekayaan intelektual bisa dijadikan jaminan dapat pembiayaan. Sumber pembiayaan bisa pula datang dari perbankan,” ujarnya.
Sabartua mengatakan, sejauh ini masyarakat lebih banyak mengenal profesi penilai jaminan pembiayaan untuk aset yang tampak (tangible). Padahal, profesi penilai jaminan untuk aset tak tampak (intangible), seperti hak kekayaan intelektual, ada dan sudah berkembang. Rancangan PP terkait UU No 24/2019 akan secara eksplisit memperkenalkan penilai dan panel penilai hak kekayaan intelektual.
Bagi lembaga pembiayaan, seperti bank, yang sudah punya komite penilai jaminan, kata Sabartua, mereka akan didorong untuk meningkatkan kompetensinya. Dengan demikian, lembaga pembiayaan itu bisa menilai hak kekayaan intelektual sebagai jaminan mengakses pembiayaan.
Mengenai BLU di sektor ekonomi kreatif, rancangan PP terkait UU No 24/2019 menyebutkan, BLU akan berlaku satu tahun setelah PP berlaku. Jadi, kurun waktu satu tahun itu akan dipakai menyusun kelembagaan BLU. Menurut rencana, BLU bersangkutan akan berada di bawah Kementerian Pariwisata Ekonomi Kreatif.
”Subsektor gim akan jadi pionir saat PP mulai berlaku. Bisnis gim ini sangat erat dengan hak kekayaan intelektual dan potensi ekonominya besar. Namun, hal itu tidak lantas subsektor ekonomi kreatif lain tidak dapat perhatian,” ujarnya.
Industri gim
Terkait gim, pemerintah secara pararel melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi juga menyusun peta jalan pengembangan industri gim nasional. Salah satu isi substansi peta jalannya adalah pembiayaan yang nanti diharapkan akan jadi model bisnis pertama BLU ekonomi kreatif.
Sesuai riset Newzoo (2019), pendapatan pasar gim Indonesia pada akhir 2018 mencapai 1,15 miliar dollar AS. Sebanyak 74 persen warganet laki-laki dan 70 persen warganet perempuan bermain gim seluler. Sementara di gim konsol, 62 persen warganet laki-laki dan 50 persen warganet perempuan memainkan.
Dalam konferensi pers mingguan secara virtual, Senin (24/1/2022), Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S Uno mengatakan, nilai pasar gim di Indonesia sekarang mencapai 2 miliar dollar AS. Akan tetapi, pasar itu masih didominasi produk gim dari luar. Dia berharap, ketika hak kekayaan intelektual jadi jaminan mengakses pembiayaan dan lahir BLU, produk gim buatan pelaku usaha dalam negeri bisa meraup 50 persen pasar gim nasional.
Baca juga :
Potensi Industri Gim Video Indonesia bagi Sektor Pariwisata
Faktor lain
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, pembiayaan berbasis hak kekayaan intelektual sudah berkembang di negara lain, seperti Malaysia dan Singapura. Dengan demikian, dia menilai sudah tepat apabila Pemerintah Indonesia memutuskan jadi ikut menerapkan skema pembiayaan yang sama.
Andry menjelaskan, ada beberapa syarat pelaksanaan skema pembiayaan berbasis hak kekayaan intelektual yang mesti dipenuhi. Pertama, kerangka dan metode standar yang terkait dengan perhitungan valuasi hak kekayaan intelektual. Ini menuntut lembaga sertifikasi dan valuator terakreditasi nasional dan internasional.
Syarat kedua, yaitu besaran valuasi, harus mencakup nilai dan risiko yang bisa dipakai perbankan memperkirakan estimasi besaran pendanaan yang akan disalurkan kepada pelaku ekonomi kreatif. Pendanaan tersebut juga perlu dukungan dari pemerintah dalam bentuk pembagian dana atau subsidi bunga.
”Selain itu, pemerintah juga perlu mendukung pembangunan pusat kreatif di daerah yang berfungsi sebagai bentuk fasilitasi mentoring ataupun pengembangan teknologi,” katanya.
Meski skema pembiayaan berbasis hak kekayaan intelektual akan berdampak positif bagi pelaku ekonomi kreatif, Andry menyebut masih ada pemilik usaha memiliki persepsi bahwa hak kekayaan intelektual belum terlalu efektif untuk mendukung kesuksesan usaha. Persepsi ini akan menjadi tantangan pelaksanaan skema itu.
Masih ada pemilik usaha memiliki persepsi bahwa hak kekayaan intelektual belum terlalu efektif untuk mendukung kesuksesan usaha.
Ketua Umum Asosiasi Game Indonesia (AGI) Cipto Adiguno menganggap, skema pembiayaan berbasis hak kekayaan intelektual ideal bagi pelaku usaha ekonomi kreatif, terutama bagi sektor industri gim yang seluruhnya digital dan tidak punya jaminan. Akan tetapi, teknis pelaksanaannya sulit, apalagi menyangkut proses memvaluasi nilai hak kekayaan intelektual.
”Di negara-negara lain pun, meski sudah memahami pentingnya nilai hak kekayaan intelektual, metode valuasinya masih sangat subyektif. Tidak jarang suatu hak kekayaan intelektual yang dijadikan jaminan mengakses pembiayaan, tetapi pengusaha bersangkutan malah kesulitan menemukan pembeli yang setuju dengan nilai valuasinya,” ujarnya.
Mengenai BLU ekonomi kreatif, Cipto berpendapat, keberadaannya akan lebih fleksibel dalam mengelola dana dibandingkan kementerian. Dengan demikian, BLU dapat bergerak lebih cepat dalam membentuk program dan inisiatif yang bermanfaat bagi industri. Industri ekonomi kreatif sering kali mengalami kesulitan pembiayaan ataupun pemasaran karena karakteristik bisnisnya yang berisiko tinggi.
”Idealnya, fleksibilitas pengelolaan dana BLU dapat membantu pelaku industri, seperti gim, menghasilkan dan memasarkan produk-produk baru. Keberhasilan mendapat pengembalian investasi tinggi dapat dikelola lagi oleh BLU untuk membantu semakin banyak pelaku industri lainnya. BLU mungkin (sebaiknya) di bawah Kemenparekraf,” ujar dia.
Menurut CEO GGWP.ID, Ricky Setiawan, industri gim di Tanah Air tertinggal. Sebagai gambaran, Vietnam yang sesama anggota ASEAN telah menghasilkan dua perusahaan rintisan bidang teknologi bervaluasi satu miliar dollar AS atau unicorn di sektor gim. Pada saat bersamaan, meski delapan dari 30 perusahaan rintisan berstatus unicorn berasal dari Indonesia, tidak ada satu pun yang berlatar belakang gim.
Meski delapan dari 30 perusahaan rintisan berstatus unicorn berasal dari Indonesia, tidak ada satu pun yang berlatar belakang gim.
Oleh karena itu, dia menilai skema pendanaan apa pun dari pemerintah akan berdampak positif bagi industri gim di Tanah Air, asalkan pemerintah punya kontrol yang kuat. Keberadaan BLU juga dia anggap strategis. Sebab, sebagian besar pengembang gim di Indonesia masih mengandalkan jasa alih daya atau penjualan dengan skema bisnis ke bisnis (B2B) sebagai skema pemasukan utama mereka. Hasil survei GGWP.ID ke 59 studio gim di Indonesia ditemukan, pendapatan 71 persen di antaranya sangat tergantung dari penjualan berskema B2B.
”Di situlah peran Pemerintah Indonesia jadi penting. Apalagi kebanyakan pembeli produk gim buatan pengembang Indonesia berasal dari luar negeri. Sementara studio gim di Indonesia, meski punya kemampuan teknis yang lumayan besar, bisnisnya belum sebesar itu sehingga pendanaan untuk promosi di luar negeri perlu terus didukung,” kata Ricky.
Baca juga :