Penyelesaian Konflik Lahan, Bukan Sekadar Bagi-bagi Sertifikat Tanah
Konflik tanah melibatkan berbagai pihak dengan cakupan luas. Sinergi lintas pihak dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
Sadumuk bathuk, sanyari bumi. Terkandung dalam peribahasa dari khazanah budaya Jawa ini nilai tinggi tanah. Meski hanya sadumuk atau satu sentuhan, tapi kalau yang disentuh adalah bathuk atau dahi, maka itu sangat menyinggung kehormatan diri. Demikian pula halnya meski hanya sanyari atau seukuran jari, akan menjadi masalah ketika yang dilanggar batasnya itu adalah tanah alias bumi.
Tak terbantahkan, persoalan menyangkut tanah memang sensitif dan mesti ditangani secara baik karena berkaitan langsung dengan kepentingan atau hak masyarakat. Persoalan ini pun menjadi salah satu hal yang mengemuka pada Rapat Kerja Komisi II DPR dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Senin (4/4/2022). Rapat kerja tersebut juga dihadiri mitra Komisi II DPR lainnya, yakni Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, dan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Yudian Wahyudi.
Pada kesempatan tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPR Junimart Girsang mengatakan, banyaknya laporan masyarakat yang masuk ke DPR terkait masalah pertanahan. ”Kalau ke KSP (Kantor Staf Presiden) mungkin seribu sekian (laporan), tapi kalau kami, ribuan laporan (disampaikan) ke sini dan dominan menyangkut mafia pertanahan,” katanya.
Di lapangan ada beragam praktik, salah satunya mengenai pemasangan patok-patok kawasan hutan di tanah yang sudah lama dikuasai warga. ”Banyak tanah rakyat, bahkan yang sudah punya SHM (sertifikat hak milik), bisa menjadi kawasan hutan. (Ada) 5.000 sekian sertifikat hak milik di Dumai itu sekarang kawasan hutan. Ini bagaimana ceritanya,” ujar Junimart.
Junimart pun mencontohkan pengusaha yang terkendala soal agunan gara-gara ada sebagian dari tanah hak guna usaha atau hak guna bangunan (HGB) kemudian menjadi kawasan hutan. ”Misalnya perkebunan, dia mendapat hak guna usaha atau HGB seluas 100 hektar. Ketika si pengusaha sudah mendapatkan ini, maka tentu sebagai pengusaha dia akan mengagunkan ke bank pada tahun pertama. Ketika tahun kelima, kembali dia memperpanjang agunan, terblokir. Kenapa? Dari 100 hektar, 5 hektar itu menjadi kawasan hutan. Akhirnya, agunan itu menjadi terkendala,” katanya.
Hal itu sekarang menjadi modus. ”Inilah praktik-praktik yang kami temukan di lapangan. Kasihan para pengusaha itu. Dia tidak bisa mendapatkan (perpanjangan) agunan kembali karena 5 hektar dinyatakan kawasan hutan. Tetapi, ketika diurus, Pak, (tanah yang 5 hektar) itu bisa menjadi tidak kawasan hutan. Ini masuk enggak laporannya ke KSP, Pak? Nanti kalau Pak Moeldoko mau, kita bisa ke lokasinya. Ada banyak lokasinya itu, Pak,” ujar Junimart.
Baca juga: Sulteng Bentuk Tim Penyelesaian Konflik Agraria
Terkait persoalan tanah ini, menurut Junimart, dirinya menyarankan dari dulu supaya KSP masuk dalam Satuan Tugas Antimafia Tanah. ”Jadi bukan hanya Polri, Kejaksaan, dan Kementerian ATR (Agraria dan Tata Ruang), tapi masuk juga KSP di sana. (Hal ini) karena menjadi bagian dari tugas KSP untuk bisa melaporkan kepada Presiden. Jadi, jangan Pak Presiden yang bicara soal tanah, Pak. Malu kita. Kalau KSP bisa langsung, bersinergi dengan kementerian-kementerian terkait, ya, tidak perlu Presiden berbicara tentang masalah pertanahan,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi II DPR daerah pemilihan Sumatera Barat II dari Fraksi Partai Golkar, John Kenedy Azis, menuturkan, pihak yang mematok tanah bukan hanya pemerintah. ”Kalau di daerah saya, justru yang mematok itu banyaknya adalah perusahaan-perusahaan swasta. Sehingga, sebagaimana kita ketahui, banyak viral, sangat viral, jeritan-jeritan masyarakat tentang tanahnya dicaplok-caplok,” kata John.
Senada, anggota Komisi II DPR, Riyanta, menuturkan persoalan konflik pertanahan yang bermunculan. ”Bahkan, kami sebagai Ketua Gerakan Antimafia Tanah juga banyak menerima aduan-aduan dari seluruh Tanah Air. Jadi, intinya, mohon bisa disampaikan kepada Presiden berkaitan dengan perintah Presiden kepada Kapolri tentang penuntasan kasus kejahatan pertanahan,” katanya.
Merespons hal-hal yang disampaikan para legislator tersebut, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan bahwa terkait pengelolaan isu strategis di bidang agraria, KSP bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria. ”Sebagai contoh saja hasilnya, per Desember 2021, kami telah menyelesaikan konflik di 8 lokasi dan menghasilkan 6.312 sertifikat seluas 2.579 hektar di 7 provinsi dan 8 kabupaten,” kata Moeldoko.
Sehubungan dengan koordinasi antarkementerian, Moeldoko menuturkan bahwa itu dilakukan ketika terjadi bottle neck (sumbatan) di antara kementerian. ”Itu mesti kami melakukan rapat di KSP antara kementerian, untuk menyelesaikan berbagai hal yang tidak bisa diselesaikan karena masalah koordinasi,” kata Moeldoko.
Redistribusi lahan
Sebelumnya, ketika menyerahkan Surat Keputusan (SK) Hutan Sosial dan SK Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) kepada masyarakat di Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara, pada Kamis (3/2/2022), Presiden Joko Widodo menyebut ada tiga juta hektar (ha) lahan yang SK-nya dicabut kembali oleh pemerintah karena ditelantarkan atau tidak digunakan secara produktif.
”Setelah Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara menerima SK ini, baik hutan sosial, TORA, maupun hutan adat, segera manfaatkan lahan yang ada sesegera mungkin. Jangan sudah diberikan kemudian tidak diapa-apakan,” kata Presiden Jokowi saat itu.
Kegiatan penyerahan SK tersebut juga dilakukan secara serentak di 19 provinsi lain. Sebanyak 722 SK Hutan Sosial (Hutsos) dengan luas 469.670 ha bagi 118.000 lebih keluarga diserahkan kepada 20 provinsi. Selain itu, pemerintah juga menyerahkan 12 SK penetapan hutan adat dan dua SK indikatif hutan adat dengan total luas 21.288 ha bagi 6.170 KK. Adapun SK TORA seluas 30.000 ha diserahkan kepada lima provinsi.
Setelah Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara menerima SK ini, baik hutan sosial, TORA, maupun hutan adat, segera manfaatkan lahan yang ada sesegera mungkin. Jangan sudah diberikan kemudian tidak diapa-apakan.
Berdasarkan data Kementerian LHK, capaian perhutanan sosial sampai dengan Januari 2022 sebanyak 7.479 unit SK seluas lebih 4,9 juta ha yang melibatkan sebanyak 1,05 juta KK. Untuk hutan adat yang merupakan bagian hutsos ditetapkan sebanyak 75.783 ha bagi 89 kelompok adat dengan 44.853 KK. Wilayah indikatif hutan adat yang nantinya menjadi hutan adat sebesar 1,091 juta ha.
Dari capaian tersebut, sampai saat ini telah diserahkan sebanyak 6.755 SK seluas 4,43 juta ha dengan 930.800 KK. Untuk program TORA, sampai dengan November 2021, telah mencapai luasan 2,71 juta ha. SK Pelepasan hutan sumber redistribusi lahan TORA yang telah diserahkan sebanyak 68 SK seluas 89.961 ha.
Secara terpisah, dalam beberapa kesempatan, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika telah berkali-kali meminta Presiden Jokowi memperhatikan konflik agraria dan benar-benar melakukan reforma agraria, bukan sekadar membagikan sertifikat hak atas tanah atau TORA.
Dewi menilai konflik agraria di Indonesia sudah sangat kronis. Konflik tanah ini terjadi akibat ada penerbitan HGU di lahan masyarakat, HGU PTPN, konflik dengan Perhutani, hutan tanaman industri, maupun wilayah transmigrasi yang belum sepenuhnya diserahkan kepada peserta transmigrasi.
Dalam Catatan Akhir Tahun 2021, KPA menengarai terjadi 207 konflik di 32 provinsi yang tersebar di 507 desa dan kota. Konflik melibatkan 198.895 keluarga sebagai korban terdampak dan luasan tanah berkonflik sekitar 500.000 hektar. Konflik ini terjadi di sektor perkebunan, pembangunan infrastruktur, pertambangan, properti, dan kehutanan.
Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN Surya Tjandra ketika dihubungi, Selasa (5/4/2022), menuturkan, tidak semua kasus konflik tanah dapat diselesaikan oleh BPN. Ada sebagian yang masuk kewenangan Kementerian BUMN, semisal ketika ada konflik yang melibatkan PTPN. “(Untuk kasus seperti) Itu kan BUMN harus mendukung, artinya apakah dengan pelepasan atau mekanisme penyelesaian yang lain,” katanya.
Kasus yang dijadikan, istilahnya, LPRA, lokasi prioritas reforma agraria, itu (juga) usulan dari LSM, termasuk KPA. Sudah diseleksi, mana yang prioritas satu, mana prioritas dua, dan seterusnya,
Demikian pula ketika melibatkan aparat juga menjadi tantangan sendiri. ”Kami tidak bisa mengatur BUMN, kami tidak bisa mengatur aparat. Atau, yang bersinggungan dengan (persoalan) hutan atau bukan kawasan hutan, KLHK harus mendukung. Memang tantangan terberat ada pada sinkronisasi kebijakan,” ujar Surya.
Terkait hal tersebut, Surya menuturkan, KSP memfasilitasi sehingga penanganan dapat dilakukan lintas sektor. ”Kasus yang dijadikan, istilahnya, LPRA, lokasi prioritas reforma agraria, itu (juga) usulan dari LSM, termasuk KPA. Sudah diseleksi, mana yang prioritas satu, mana prioritas dua, dan seterusnya,” katanya.
Baca juga: Gandeng Organisasi Masyarakat Sipil, Pemerintah Percepat Penyelesaian Konflik Agraria
Tenaga Ahli Kedeputian II Kantor Staf Kepresidenan Usep Setiawan menjelaskan, Presiden Jokowi sudah beberapa kali menggelar rapat dan menugaskan menteri terkait menyelesaikan konflik agraria ini secara cepat, menyeluruh, dan berkeadilan. Selama ini, konflik teridentifikasi berdasarkan lokasi dan kluster.
Tahun 2022 ini, pemerintah sedang memperkuat kebijakan reforma agraria melalui revisi Peraturan Presiden nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Di dalamnya, akan diperkuat tugas dan fungsi penyelesaian konflik agraria dan penguatan kelembagaan pelaksana reforma agraria. Selain perbaikan regulasi, strategi kolaborasi lintas kementerian/lembaga pun sedang disusun untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria.
Konflik tanah tak pelak melibatkan banyak pihak dengan cakupan yang sedemikian luas. Sinergi lintas pihak untuk menuntaskan persoalan tersebut kiranya menjadi keniscayaan. Pekerjaan raksasa tak mungkin dirampungkan sendirian.