Gandeng Organisasi Masyarakat Sipil, Pemerintah Percepat Penyelesaian Konflik Agraria
Presiden Joko Widodo menargetkan 50 persen kasus konflik agraria yang dilaporkan organisasi masyarakat sipil dapat dituntaskan tahun ini. Namun, diharapkan penyelesaian konflik dilakukan dengan mengedepankan keadilan.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melakukan terobosan dengan menggandeng empat organisasi masyarakat sipil dalam rangka mempercepat penyelesaian konflik agraria prioritas di tahun 2021. Keempat organisasi masyarakat sipil dimaksud adalah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan Gema Perhutanan Sosial (GEMA PS).
Beberapa isu yang menjadi kendala penyelesaian konflik agraria disampaikan keempat organisasi masyarakat sipil tersebut dalam rapat koordinasi Tim Bersama Reformasi Agraria yang dipimpin Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di Jakarta, Jumat (18/6/2021). Isu dimaksud, antara lain, intimidasi dan kriminalisasi di lapangan serta kebutuhan dukungan kepala daerah dalam penyelesaian konflik agraria.
”Saya sudah berkoordinasi dan bersurat kepada Panglima TNI dan Kepala Kepolisian Negara RI agar menjaga kondusifitas lokasi-lokasi yang menjadi prioritas di tahun 2021 agar tidak terjadi kriminalisasi warga. Kita sudah membuka ruang kolaborasi bagi pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat sipil untuk bekerja sama. Silakan momentum ini dimaksimalkan untuk percepatan,” kata Moeldoko melalui siaran pers bersama Kantor Staf Presiden, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kita sudah membuka ruang kolaborasi bagi pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat sipil untuk bekerja sama. Silakan momentum ini dimaksimalkan untuk percepatan.
Moeldoko menuturkan, perkembangan penanganan dan penyelesaian konflik lahan akan disampaikan secara berkala kepada Presiden Joko Widodo. Menurut target Presiden, tahun ini minimal 50 persen konflik agraria yang diajukan organisasi masyarakat sipil dapat dituntaskan.
Pada kesempatan sama, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan A Djalil juga mendukung upaya percepatan sebagaimana disampaikan oleh Moeldoko. ”Intinya, kita terus bergerak cepat sebagaimana komitmen kita pada bulan Maret 2021. Sudah banyak kemajuan yang dicapai meski beberapa ada yang belum tuntas. Kita dorong bersama penuntasannya,” kata Sofyan.
Sementara itu, KLHK juga akan mempercepat implementasi kebijakan perhutanan sosial. ”Penyelesaian semua lokasi konflik tenurial di atas permukiman akan diusulkan melalui mekanisme pelepasan sebab instrumen kebijakannya sudah tersedia dengan adanya Permen (Peraturan Menteri) LHK yang baru terbit,” kata Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto.
Sehubungan hal tersebut, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerbitkan 7 peraturan sebagai tindak lanjut Undang-Undang Cipta Kerja. Hal ini untuk memastikan pelaksanaan UU tersebut berjalan secara efektif dan memberikan keadilan sosial. Termasuk di sini adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Terkait dengan hal itu, Ketua GEMA PS Siti Fikriyah menuturkan bahwa pihaknya mengapresiasi dukungan kebijakan yang telah diterbitkan oleh Kementerian LHK pasca-pengesahan UU Cipta Kerja untuk mempercepat penyelesaian lokasi prioritas. ”Namun, mengenai permohonan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dapat berpotensi menjadi bottleneck,” ujarnya.
Permohonan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dapat berpotensi menjadi bottleneck.
Reforma agraria
Ketua Dewan Nasional KPA Iwan Nurdin mengatakan bahwa pihaknya tidak ingin penyelesaian konflik agraria tidak berkorelasi dengan keadilan. ”Penting dijaga bahwa subyek yang menerima hak adalah orang-orang yang berhak sesuai dengan Perpres No 86/2018 tentang Reforma Agraria,” ujar Iwan.
Sebagai gambaran, mengutip laman Sekretariat Kabinet RI, Perpres No 86/2018 tersebut ditandatangani Presiden Jokowi pada 24 September 2018. Perpres tersebut diterbitkan dengan pertimbangan bahwa saat ini pemerintah masih perlu mewujudkan pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.
Perpres No 86/2018 menyebutkan bahwa penyelenggaraan reforma agraria dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap tanah obyek reforma agraria (TORA) melalui tahapan perencanaan reforma agraria dan pelaksanaan reforma agraria. Perencanaan reforma agraria meliputi perencanaan penataan aset terhadap penguasaan dan pemilikan TORA serta perencanaan terhadap penataan akses dalam penggunaan dan pemanfaatan serta produksi atas TORA.
Selain itu, juga meliputi perencanaan kepastian hukum dan legalisasi atas TORA, perencanaan penanganan sengketa dan konflik agraria, serta perencanaan kegiatan lain yang mendukung reforma agraria. Adapun pelaksanaan reforma agraria, menurut Perpres No 86/2018, dilaksanakan melalui tahapan penataan aset dan penataan akses.
Tim Bersama Reforma Agraria di tahun 2021 menargetkan penyelesaian konflik agraria di 137 lokasi prioritas. Sejauh ini pemerintah telah merampungkan penyelesaian konflik di 10 daerah dan akan menyerahkan 2.950 sertifikat kepada masyarakat.
Ada enam lokasi yang sedang diselesaikan dalam waktu dekat, yakni di Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu; Kabupaten Nganjuk dan Kota Batu, Provinsi Jawa Timur; Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara; dan Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah.
Selain itu. ada enam lokasi lain yang akan selesai proses redistribusi tanahnya pada semester II-2021, yakni Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu; Kabupaten Malang, Provinsi Jatim; Kabupaten Pemalang, Provinsi Jateng, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat; dan dua usulan lain di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.