Tim penyelesaian konflik agraria diharapkan memperhatikan kepentingan rakyat terkait hal kelolanya, bukan melayani oligarki investasi.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·2 menit baca
PALU, KOMPAS — Sulawesi Tengah membentuk tim penyelesaian konflik agraria. Keberadaan tim ini diharapkan bisa bekerja komprehensif untuk menyelesaikan beragam kebuntuan masalah agraria, bukan sekadar melayani kepentingan oligarki.
Gubernur Sulteng Rusdy Mastura mengutarakan pembentukan tim penyelesaian konflik agraria dalam dialog dengan sejumlah aktivis di Palu, Sulteng, Rabu (16/2/2022). Saat ini, konflik agraria kerap menimbulkan ragam masalah di masyarakat.
”Agar ada jaminan investasi mendapatkan kepastian hukum dan tidak terjadi gesekan di masyarakat, saya membentuk tim penyelesaian konflik agraria,” kata Rusdy.
Tim ini nantinya terdiri dari orang-orang yang memiliki kompetensi dan kapasitas dalam pendampingan masyarakat. Tim bakal terjun ke masyarakat untuk menyelesaikan kebuntuan komunikasi penyelesaian masalah.
Sebelumnya, pembentukan tim penyelesaian masalah agraria mengemuka dalam dialog antara Rusdy dan Aliansi Rakyat Bersatu. Dialog itu terkait tewasnya seorang pengunjuk rasa menolak tambang di Kabupaten Parigi Moutong.
Pihak aliansi meminta Rusdy membentuk tim penyelesaian masalah agraria untuk menyelesaikan masalah yang muncul, seperti yang terjadi di Parigi Moutong dan kasus-kasus lain di Sulteng. Waktu itu, Rusdy menyebutkan, dirinya sudah punya rencana terkait itu, tetapi terkendala penanganan Covid-19.
Konsorsium Pembaruan Agraria Sulteng mencatat pada 2018-2021 ada 21 konflik agraria yang terjadi di Sulteng. Konflik tersebut terkait dengan pertambangan dan perkebunan skala besar (sawit). Luas lahan yang terkait konflik 12.933 hektar.
Berkaca pada kasus penolakan tambang yang berujung darah di Parigi Moutong, tim diharapkan melakukan evaluasi izin tambang dan perkebunan skala besar di Sulteng yang selama ini menyebabkan konflik terstruktur.
Rusdy menyatakan, Sulteng masih sangat membutuhkan investasi swasta. Selama ini, Sulteng masih bergantung pada dana transfer daerah dari pemerintah pusat.
Pendapatan asli daerah (PAD) Sulteng kini sekitar Rp 1 triliun per tahun. Sementara belanja daerah rata-rata Rp 4 triliun per tahun. PAD tersebut hanya menutup gaji aparatur sipil negara.
Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria Sulteng Doni Moidady menanggapi positif inisiatif pembentukan tim itu. Itu merupakan langkah maju yang diambil Gubernur Sulteng atas kebuntuan solusi selama ini.
“Solusinya harus berpihak kepada rakyat kecil, bukan melayani oligarki yang akan berinvestasi. Karena itu, tim harus melibatkan organisasi rakyat agar hasil yang muncul tak bias kepentingan,” ujarnya.