Muncul Kekhawatiran di Balik Lontaran Jokowi Tiga Periode dari Silaturahmi Nasional Pemerintah Desa
Lontaran gagasan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi di Silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintah Desa menimbulkan kekhawatiran dari akademisi akan adanya anasir-anasir yang ingin menggiring opini kepala desa.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kepala desa melontarkan gagasan perpanjangan masa jabatan menjadi tiga periode bagi Presiden Joko Widodo dalam Silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (29/3/2022). Namun, usulan perpanjangan itu tidak menjadi sikap resmi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia. Asosiasi memiliki usulan lain yang lebih esensial berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat desa.
Lontaran ini kembali menghangatkan ruang publik, setelah lontaran dari elite politik terkait usulan penundaan Pemilu 2024 sedikit mereda. Survei dan jajak pendapat sejumlah lembaga juga menunjukkan mayoritas masyarakat ingin Pemilu 2024 digelar sesuai rencana.
Jajak pendapat Litbang Kompas pada 7-12 Maret 2022 melibatkan 1.002 responden di 34 provinsi menunjukkan 62,3 persen responden setuju pemilu tetap digelar 14 Februari 2024. Sebanyak 66,7 persen responden menilai usulan penundaan pemilu muncul demi kepentingan politik, bukan kepentingan ekonomi.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Surtawijaya tak menampik bahwa banyak kepala desa menyuarakan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo dalam acara Silaturahmi Nasional Desa. Ia mengklaim, hal tersebut didasari perhatian Jokowi yang besar bagi pembangunan desa selama periode kepemimpinannya.
”Saya pikir (dukungan perpanjangan masa jabatan Presiden) itu manusiawi sebagai timbal balik dari sebuah kebaikan dan bentuk perhatian Presiden terhadap desa. Saya berbicara realitas saja,” ujar Surtawijaya.
Ia menyebut, gagasan itu muncul sendiri dari para kepala desa, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. Bahkan, lanjutnya, para menteri yang hadir dalam acara tersebut, baik Menteri Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan maupun Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, melarang asosiasinya untuk berteriak soal perpanjangan masa jabatan presiden tersebut.
”Itu, kan, nurani, jadi tidak ada saya menyuruh-nyuruh mereka juga untuk berteriak. Sebab, kalau iya, malah jadi berbahaya bagi saya sendiri, kan. Kalau tidak sepaham, kan, malah ribut dan marah, Kami juga enggak boleh pasang-pasang spanduk (perpanjangan masa jabatan presiden) begitu, dilarang. Semua menteri, saya dilarang untuk ngomong apa-apa, ’ya sudah kamu bicara kebijakannya saja’, begitu,” kata Surtawijaya.
Setidaknya ada dua usulan esensial yang menjadi sikap Apdesi. Pertama, peningkatan dana desa. Kedua, menginginkan agar 3 persen dari dana desa untuk operasional desa. (Munajad)
Surtawijaya menyebut, setelah Lebaran nanti, Apdesi akan menggelar acara silaturahmi nasional kembali. Ia enggan menyebutkan di mana dan kapan acara tersebut akan berlangsung. ”Di acara itu, kami akan sampaikan sikap dari para kepala desa dan dalam rangka menindaklanjuti arahan dari Presiden Jokowi,” katanya.
Kepala Desa Kembang Seri Baru, yang juga Sekretaris Jenderal Apdesi Provinsi Jambi, Munajad Sudrajad, mengaku tidak mengetahui ihwal seruan perpanjangan masa jabatan presiden. ”Kalau dengan saya, untuk kami, yang jelas belum kasih kode,” tuturnya.
Bagi Munajad, yang jelas, setidaknya ada dua usulan esensial yang menjadi sikap Apdesi. Pertama, peningkatan dana desa. Kedua, menginginkan agar 3 persen dari dana desa untuk operasional desa. ”Usulan ini lebih konkret karena kerja kami 24 jam,” ucapnya.
Manuver politik
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto, Rabu (30/3/2022), mengkhawatirkan ada pihak-pihak tertentu yang justru ingin menggiring opini kepala desa. Pihak-pihak tertentu itu seolah ingin menunjukkan dukungan perpanjangan masa jabatan presiden muncul atas kehendak rakyat, bukan elite-elite tertentu.
Untuk itu, menurut dia, peran lembaga swadaya masyarakat, akademisi, serta media massa sangat penting untuk mengawasi manuver-manuver politik itu. Hal ini krusial karena jangan sampai bangsa ini dibawa mundur ke masa Orde Baru.
”Itu, kan, anasir-anasir kekuasaan yang tidak mau berganti dan antidemokrasi. Nah, distribusi kekuasaan ini kalau sampai macet hanya pada satu orang penguasa atau presiden, akibatnya akan membuat akar. Semakin lama, akar atau kroni ini, baik itu kroni ekonomi maupun kroni politik, maka akhirnya akan menancapkan kekuasaan. Nah, ini yang berbahaya dalam perpanjangan masa jabatan presiden,” tutur Aan.
Sebagus apa pun presiden, jika memimpin lebih dari dua kali masa jabatan, menurut dia, hal itu akan lebih cenderung berbahaya. Bukan bagi presiden itu sendiri, melainkan lamanya waktu menjabat akan membuat itu semakin kuat menancap dan justru dapat menciptakan semacam raja-raja kecil.
”Raja-raja kecil ini yang berbahaya. Makanya, ini harus dibersihkan setiap selesai periode jabatan, maksimal dua periode, sehingga tidak sampai mengakar kuat. Jangka panjangnya tidak baik untuk demokrasi dan mematikan demokrasi,” katanya.
Kalau ini sampai dibawa ke ranah dukung mendukung, ini sudah keluar dari koridor penyelenggaraan pemerintahan desa, dalam konstitusi maupun Undang-Undang Desa. Ini sudah keluar dari koridor kewenangan dan penyelenggaraan pemerintahan desa. (Aan)
Menurut dia, seruan itu sangat tidak patut dan sangat tidak sesuai dengan kedudukan desa sebagai suatu kesatuan masyarakat berdasarkan asal-usul yang bersifat istimewa. Artinya, tidak ada hubungannya desa dengan perpanjangan masa jabatan presiden. Sebab, desa menjalankan otonomi asli desanya dan di dalam otonomi asli desa tidak ada sama sekali anasir perpanjangan masa jabatan presiden.
”Nah, kalau ini sampai dibawa ke ranah dukung mendukung, ini sudah keluar dari koridor penyelenggaraan pemerintahan desa, dalam konstitusi maupun Undang-Undang Desa. Ini sudah keluar dari koridor kewenangan dan penyelenggaraan pemerintahan desa,” ucap Aan.