Kritik Cenderung Tak Terdengar, Masyarakat Sipil Butuhkan Pendekatan Baru
Masyarakat sipil kini harus melihat media sosial sebagai medan pertempuran narasi. Masyarakat sipil harus mampu mengajak publik merasakan dampak langsung dari isu yang diadvokasi masyarakat sipil.
JAKARTA, KOMPAS – Hasil jajak pendapat Litbang Kompas menunjukkan adanya kecenderungan melemahnya peran pengawasan masyarakat sipil terhadap kinerja pemerintah. Salah satu hal yang menjadi penyebab ialah pecahnya fokus masyarakat dalam isu-isu tertentu sehingga memantik pro dan kontra terhadap pemerintah. Situasi ini harus direspons masyarakat sipil dengan menggunakan cara-cara baru yang lebih strategis.
Jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas pada 7-12 Maret 2022 di 34 provinsi di Indonesia menunjukkan, 37,3 persen responden menilai pengawasan masyarakat sipil dinilai melemah. Adapun 31,3 persen menilai menguat. Sebanyak 26,3 persen responden menilai pengawasan masyarakat sipil terhadap pemerintah tidak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya, atau cenderung stagnan.
Sebanyak 75,3 persen responden menilai melemahnya masyarakat sipil itu karena masyarakat terpengaruh isu di media sosial (medsos) sehingga pendapat mereka menjadi terpecah dan akhirnya masyarakat terjebak pada pemihakan politik, baik yang pro maupun kontra terhadap pemerintah.
Menanggapi hasil jajak pendapat Kompas, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan, hasil temuan itu tidak jauh berbeda dengan pembacaan kalangan masyarakat sipil terhadap situasi yang saat ini dihadapi oleh mereka. Di kalangan masyarakat sipil telah lama berkembang kekhawatiran tentang menonjolnya pendengung (buzzer) dan tokoh pemberi pengaruh (influencer) yang dikelola oleh pemerintah.
Bahkan, ada anggaran khusus yang diperuntukkan bagi kegiatan medsos di sejumlah instansi negara. Akibatnya, isu kritis yang diusung oleh masyarakat sipil kerap kali harus berbenturan dengan warganet atau akun-akun yang pro pemerintah.
”Suara masyarakat sipil yang adalah voice menjadi tertutup oleh noise (kebisingan) yang dipicu oleh buzzer atau suara-suara lain yang sebenarnya dia mewakili kepentingan tertentu,” kata Isnur, Senin (28/3/2022) di Jakarta.
Baca juga: Ujian Demokrasi Kian Berat, Masyarakat Sipil Perlu Bersinergi
Di satu sisi, Isnur mengatakan, kritik yang disampaikan masyarakat sipil menjadi kurang terdengar lantaran narasi masif di medsos. Di sisi lain, banyaknya aktivis masyarakat sipil yang bergabung dengan pemerintahan juga menjadi faktor penyumbang lain bagi kian melemahnya kekuatan masyarakat sipil.
”Mereka yang masuk ke pemerintahan juga masih banyak yang tidak mau melepaskan baju lama mereka sebagai masyarakat sipil. Akibatnya ada benturan kepentingan,” katanya.
Temuan jajak pendapat Kompas, menurut Isnur, sekaligus menjadi evaluasi bagi kelompok masyarakat sipil. Sebagai elemen penting bagi demokratisasi, penegakan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM), masyarakat sipil harus punya kemampuan berkampanye di medsos.
Namun, masyarakat juga diharapkan lebih aktif dan terlibat dalam berbagai kegiatan yang diadakan elemen masyarakat sipil. Harapannya, ketika ada permintaan donasi, gerakan advokasi, dan berbagai kegiatan masyarat sipil lainnya akan mendapatkan dukungan besar dari publik. Sebab, tujuan utama dari kelompok masyarakat sipil ialah mendorong partisipasi publik dalam berbagai pengambilan kebijakan. Tujuan ini tidak bisa tercapai hanya dengan kerja-kerja dari kelompok masyarakat sipil, atau organisasi non-pemerintahan, tetapi harus pula mendapatkan dukungan dari publik.
Gunakan pendekatan baru
Ismail Fahmi, pendiri Drone Emprit, sebuah aplikasi pemantau percapakan di medsos, mengatakan, elemen masyarakat sipil harus menggunakan pendekatan baru dalam mengampanyekan gerakan advokasi mereka serta kritisi mereka terhadap kinerja pemerintahan. Cara-cara lama dengan menggelar konferensi pers, dan memberikan tulisan melalui buletin-buletin, dinilai sebagai pendekatan lama yang berlaku satu dekade lampau.
”Mereka (masyarakat sipil) kini harus melihat media sosial sebagai medan pertempuran narasi. Mereka harus meluruskan isu-isu yang sengaja dipecahkan atau dibelokkan oleh influencer dan buzzer. Sebab, belum tentu yang disampaikan oleh influencer atau buzzer itu benar adanya. Sementara publik sebenarnya tidak paham dan muncullah diskursus yang sifatnya dangkal,” katanya.
Baca juga : Jajak Pendapat ”Kompas”: Publik Berharap Pemilu Tetap Digelar 2024
Munculnya buzzer atau influencer untuk kepentingan tertentu, menurut Fahmi, tidak terhindarkan karena setiap kepentingan itu ingin mendapatkan dukungan dan pembenaran dari publik. Oleh karena itu, kelompok kepentingan yang kerap bersuara di medsos cenderung mendapat kekuatan lebih besar dalam membangun narasi publik ketimbang mereka yang tidak menonjol dalam bersuara di medsos.
”Sekarang ada pandangan, kalau tidak ada di medsos, berarti sesuatu itu tidak terjadi atau tidak benar. Padahal, tidak begitu adanya. Banyak isu yang menjadi perdebatan akademisi dan kalangan masyarakat sipil, tetapi karena hal itu tidak muncul di medsos, suaranya menjadi tidak terdengar,” katanya.
Mereka (masyarakat sipil) kini harus melihat media sosial sebagai medan pertempuran narasi. Mereka harus meluruskan isu-isu yang sengaja dipecahkan atau dibelokkan oleh influencer dan buzzer.
Padahal, isu-isu tersebut seandainya bisa dibawa ke medsos dengan kampanye dan narasi yang memadai, dan dapat dibahasakan dengan baik agar bisa dipahami masyarakat umum, dapat memantik kesadaran masyarakat. Melihat situasi ini, menurut Fahmi, sudah seharusnya masyarakat sipil lebih getol lagi dalam membangun narasi di medsos.
Narasi itu harus ditempatkan untuk mengajak masyarakat merasakan dampak langsung terkait isu tertentu. Sebab, masyarakat harus merasakan isu itu sebagai sesuatu yang terkait dengan kehidupan mereka, atau berdampak pada kehidupan mereka langsung.
”Saya perhatikan banyak kritik terhadap pembentukan UU tidak banyak diketahui masyarakat umum atau hanya diketahui high level elite saja. Ini menunjukkan gaya perjuangan masyarakat sipil masih seperti satu dekade lalu sehingga seolah-olah tidak ada wacana yang muncul di medsos,” ucapnya.
Hasil temuan jajak pendapat Kompas, menurut Fahmi, menjadi kritik dan bahan evaluasi yang baik bagi kalangan masyarakat sipil. Utamanya saat berhadapan dengan kekuatan narasi di medsos yang harus pula didekati dengan cara baru.
Fahmi mengingatkan, di satu sisi pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya menyadari kekuatan narasi dan pembentukan opini di medsos. Dengan data-data yang mereka punyai, buzzer dan influencer memiliki kekuatan untuk membahasakan narasi mereka. Namun, bukan berarti data-data itu benar atau dipergunakan dengan benar.
Dalam beberapa isu, seperti penundaan pemilu, kelompok masyarakat sipil bersuara kencang dan mendapatkan dukungan publik. Kritikan disampaikan kalangan masyarakat sipil, terutama yang bergiat di bidang pemilu. Contoh lainnya, perubahan usia pencairan Jaminan Hari Tua yang ditentang keras oleh kelompok buruh. Penolakan kalangan buruh ini pun berbuah pada pencabutan peraturan itu.
Keterbatasan sumber daya
Peneliti senior Pusat Riset Politik pada Badan Riset dan Inovasi Nasional, Syarif Hidayat, mengatakan, melemahnya peran masyarakat sipil di dalam mengawal kinerja pemerintahan dalam dua tahun terakhir dipengaruhi pula oleh situasi pandemi. Pandemi membuat sejumlah kegiatan masyarakat sipil harus dibatasi, termasuk mengadakan pertemuan atau demonstrasi.
Baca juga: "Kekuatan Tengah" yang Terlelap
Namun, senada dengan Ismail Fahmi, dalam kontranarasi di medsos, elemen masyarakat sipil relatif tertinggal. Situasi ini tak mudah dihadapi masyarakat sipil karena untuk memenangkan narasi di medsos ini membutuhkan pula biaya.
”Ini menjadi adu kekuatan. Ketika adu kekuatan tentu pemerintah pasti akan lebih kuat dibandingkan pihak lain,” katanya.
Menurut Syarif, dalam optimalisasi medsos, pertarungannya memang menjadi tidak seimbang antara kekuatan pemerintah dan kekuatan masyarakat sipil. Sebab, di satu sisi masyarakat sipil tidak memiliki sumber daya sebesar pemerintah dalam menggerakkan narasi di medsos atau memfungsikan medsos secara optimal dengan buzzer.
Dalam pembuatan kebijakan, masyarakat sipil memang belum dilibatkan secara bermakna oleh pemerintah dan DPR. Hal itu juga ditemui di pemerintahan daerah.
”Masyarakat sipil seolah tidak ada perlawanan karena kapasitas sumber daya finansial mereka rendah dan tidak seimbang dengan pemerintah yang berkolaborasi dengan masyarakat ekonomi. Dengan demikian, apa pun alasannya, masyarakat sipil kalah dari sisi teknologi maupun finansial,” katanya.
Sementara itu, dalam pembuatan kebijakan, masyarakat sipil memang belum dilibatkan secara bermakna oleh pemerintah dan DPR. Hal itu juga ditemui di pemerintahan daerah. Kerap kali, menurut Syarif, masyarakat sipil yang diundang dalam rapat-rapat pembuatan kebijakan bukanlah mereka yang membawa suara masyarakat, tetapi diseleksi hanya kalangan tertentu yang cenderung mendukung pemerintah.
Akibatnya, pelibatan masyarakat sipil dalam pembuatan kebijakan hanya menjadi upaya memenuhi prosedur formal atau ritual politik belaka. Hal itu sekaligus dijadikan legitimasi dalam pembentukan kebijakan.