Ujian Demokrasi Kian Berat, Masyarakat Sipil Perlu Bersinergi
Praktik dan upaya yang bertentangan dengan demokrasi silih berganti, bahkan menguat, dengan munculnya wacana penundaan pemilu 2024. Masyarakat sipil perlu bersinergi untuk mengawal demokrasi.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik dan upaya yang bertentangan dengan demokrasi terus terjadi, bahkan menguat, dengan munculnya usulan penundaan Pemilu 2024. Kolaborasi dan sinergi dari berbagai elemen masyarakat sipil bersama media massa diperlukan untuk mengawal demokrasi.
Hal itu terungkap dalam diskusi sekaligus peluncuran buku bertajuk ”Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil” yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) secara daring, Minggu (20/3/2022). Pembicara dalam forum tersebut adalah Ketua Dewan Pengurus LP3ES Didik J Rachbini; Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto; Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini; Direktur Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia LP3ES Herlambang P Wiratraman; serta Editor dan Peneliti Senior LP3ES Malik Ruslan.
Menurut Didik, praktik-praktik antidemokrasi yang muncul selama setahun terakhir diumpamakan seperti kereta reformasi yang kembali menuju era otoriter. Hal itu tampak dari adanya upaya yang mendorong ke arah otoriter, seperti wacana presiden tiga periode dan penambahan masa jabatan presiden sampai tiga tahun. Didik meragukan hal itu tidak diketahui presiden.
Di sisi lain, lanjut Didik, fungsi parlemen di pengawasan tampak lemah. Sementara, rezim pemerintahan saat ini dinilai membentuk pasukan propaganda melalui pendengung yang tampak terinternalisasi di dalam institusi pemerintah.
Wijayanto juga melihat praktik yang bertentangan dengan demokrasi terus terjadi dari tahun ke tahun. Mulai dari revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, pengesahan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), termasuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di masa pandemi Covid-19. Yang terkini adalah wacana masa jabatan presiden selama tiga periode dan munculnya wacana penundaan pemilu.
”Tidak ada wacana yang awet kecuali di baliknya ada pasukan siber yang berarti ada pendanaan politik dan politisi di sana,” tambahnya.
Menurut Wijayanto, terjadi perilaku otoriter yang dapat berujung pada kematian demokrasi. Hal itu memperlihatkan penolakan atau komitmen yang lemah terhadap aturan main demokrasi sebagaimana tampak dalam wacana penundaan pemilu. Kemudian terjadi upaya penyangkalan legitimasi lawan politik, terjadi toleransi terhadap kekerasan, serta pembatasan kebebasan sipil, termasuk media.
Dalam bidang hukum dan HAM, menurut Herlambang, telah terjadi pembajakan demokrasi melalui pembentukan UU Ciptaker oleh oligarki. Demokrasi dikorbankan dengan pembentukan hukum tampak tidak terbuka, terburu-buru, bahkan ugak-ugalan semata demi kepentingan bisnis tertentu. Catatan berikutnya adalah komunikasi pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 yang tetap buruk. Lonjakan kasus, kolapsnya fasilitas kesehatan, serta banyaknya tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19 menunjukkan negara gagal melindungi warganya. Fenomena lainnya adalah siklus kekerasan terhadap warga Papua yang terus terjadi serta penanganan yang eksesif terhadap terorisme.
”Kita menyaksikan kondisi hukum dan HAM masih dipenuhi dengan realitas kekerasan, impunitas, diskriminasi, dan orientasi politik ekonomi yang menopang kepentingan oligarki,” kata Herlambang.
Terkait dengan pemilu, menurut Titi, pada 2021, publik ditunjukkan sikap pemerintah yang seolah menjadi oposan atas tawaran pilihan hari dan tanggal pemungutan suara oleh penyelenggara pemilu. Padahal, kemandirian Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu dijamin konstitusi dan Undang-Undang Pemilu.
Namun, puncak suguhan yang menyesakkan publik muncul ketika elite politik menawarkan penundaan Pemilu 2024. Di sisi lain, terdapat kecenderungan dari elit politik bahwa pemilihan langsung merupakan gangguan bagi stabilitas dan ekonomi.
Menurut Malik, sejak revisi UU KPK, terjadi pengempisan semangat antikorupsi. Politik antikorupsi pun semakin digiring ke arah pencegahan dan meninggalkan penindakan. Padahal, KPK dibentuk karena lembaga pemerintah, kepolisian dan kejaksaan tidak efektif memberantas korupsi. Hal tersebut bermuara pada kemunduran kualitas pemberantasan korupsi. ”Sekarang KPK sudah menjadi alat eksekutif. Ini problem besar,” kata Malik.
Masalah utama dalam pemberantasan korupsi, lanjut Malik, adalah sikap hukum yang lemah. Selain itu sistem antikorupsi belum kokoh. Hal itu diperparah dengan problem kelembagaan berupa sistem tidak adanya sistem yang baku, sehingga jalannya suatu lembaga tergantung dari figur pimpinan.
Ketahanan masyarakat sipil
Meski demokrasi dihadang banyak tantangan, bukan berarti tidak ada harapan. Menurut Didik, masih banyak aktivis yang mendukung demokrasi dengan cara-cara akademis. Sementara itu, meski media sosial dikuasai pendengung, masih ada media massa yang dinilai saat ini sangat kuat. Dan yang terpenting adalah masih adanya kekuatan rakyat.
Menurut Wijayanto, diperlukan solidaritas dan sinergi masyarakat sipil dari berbagai elemen yang lebih kuat. Dengan begitu, masyarakat sipil dapat membentuk ketahanan dan perlawanan.
”Karena negara tidak bisa diharapkan, masyarakat sipil perlu terus melakukan refleksi, berkumpul dan berdiskusi untuk menggagas upaya yang lebih sistematis dan masif, serta punya ketahanan untuk mengawal demokrasi kita secara terus-menerus," kata Wijayanto.
Hal senada disampaikan Titi. Upaya untuk menghadirkan proses legislasi yang demokratis harus terus diupayakan oleh masyarakat sipil. Hal itu bisa ditempuh dengan pengujian UU di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, masyarakat sipil perlu terus mendorong penyelenggara pemilu untuk mengambil terobosan yang berkeadilan serta kompetisi yang lebih setara antara peserta pemilu. ”Pilihan kita adalah tidak membiarkan reformasi dan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah makin menjauh dari tujuan awal,” ujar Titi.